Saturday 3 September 2011

Lehman Brothers In Memoriam

Sumber foto: crooksandliars.com
Krisis finansial global yang bersumber dari kredit macet perumahan (subprime mortgage) Amerika telah memberikan dampak negatifnya bagi dunia. Krisis yang menurut sebagian pengamat seperti Warren Buffet dan George Soros dampaknya lebih hebat dan kompleks penyelesaianya dibanding great depression selain menyerang sektor keuangan, akhir-akhir ini mulai dirasakan dampaknya pada sektor riil. International Monetary Fund (IMF) pun mengatakan bahwa krisis global saat ini merupakan shock terbesar sejak great depression.[1] 
Krisis global telah menyebabkan terjadinya penciutan nilai aset beberapa lembaga keuangan dunia. Disamping itu, salah satu yang paling ditakuti dari krisis finansial global adalah pemutusan hubungan kerja (PHK) yang dilakukan perusahaan-perusahaan besar. Gelombang PHK semakin meluas, mulai dari sektor perbankan dan keuangan hingga sektor perindustrian, manufaktur, insfrastruktur, jasa, dan sebagainya. Di Amerika Serikat gelombang pengangguran telah mencapai titik tertinggi sejak 5 tahun terakhir, yaitu 6.7%. Akibat krisis ini pula, neraca keuangan Amerika Serikat mengalami defisit sebesar 1,752 milyar dollar. Di Inggris, pengangguran mencapai 1,92 juta jiwa sedangkan di Spanyol naik dari 13% menjadi 16%. PHK besar-besaran terjadi dibeberapa perusahaan besar dunia, diantaranya adalah Citigroup yang mengurangi 52.000 pegawai, Bank of America mengurangi 35.000 pegawainya, Nissan Motor Inggris mengurangi sekitar 1.200 pegawai, Microsoft mengurangi sekitar 5.000 pegawai.
Awalnya, banyak pengamat dan ekonom berpendapat bahwa krisis tersebut hanya akan berdampak pada sektor keuangan saja, namun kenyataannya, kita tidak dapat memisahkan sektor riil dan moneter. Sehingga, apa yang terjadi pada sektor moneter, khususnya sektor keuangan pada saat ini, berdampak pada sektor riil. Hal tersebut mematahkan mitos ekonomi terpisah (decoupling) antara perekonomian Amerika Serikat dengan perekonomian Negara-negara Asia, atau secara spesifik Indonesia. Terlihat dari data menunjukkan bahwa ekspor Non Migas Indonesia (2007) masih didominasi ke Jepang US$13,287 juta, AS US$11,111 juta, Singapura US$8,860 juta dan China US$8,507 juta.
Dapat kita rasakan sendiri, di awal kuartal tahun 2009 ekonomi mengalami perlambatan pertumbuhan. Ditandai pula dengan terus bergeraknya nilai tukar rupiah dengan volatilitas tinggi dan nilai ekspor Indonesia yang  terus menerus mengalami tren penurunan ke Negara-negara tujuan ekspor utama. Sebagai gambaran, nilai ekspor Indonesia hingga November 2008 telah menurun sebesar 9.8%[2] (YoY), kemudian pada bulan Desember ekspor turun sebesar 9,57%, dan pada bulan Januari ekspor Migas dan nonmigas Indonesia mengalami penurunan sebesar 17,70 persen dibanding Desember 2008 yaitu dari US$ 8.691,8 juta menjadi US$ 7.153,3 juta. Sementara bila dibandingkan  dengan Januari 2008, ekspor juga mengalami penurunan sebesar 36,08 persen. Belum lagi fluktuasi nilai rupiah yang sempat menyentuh level Rp. 11.900/$ walaupun akhir-akhir ini kembali ke level aman pada Rp. 10.500/$.[3]
Krisis keuangan global yang diawali oleh subprime mortgage perusahaan Lehman Brothers yang telah berdiri lebih dari 1,5 abad menambah keyakinan akan sebuah kebenaran bahwa krisis ekonomi di dunia selalu diawali oleh krisis di sektor keuangan. Roy Davies dan Glyn Davies (2006) dalam bukunya “a history of money from ancient times to the present daymengatakan bahwa sepanjang abad 20 telah terjadi lebih dari 20 krisis ekonomi yang kesemuanya adalah krisis keuangan. Di mulai sejak tahun 1907 dimana krisis ekonomi berawal dari krisis perbankan di New York, berlanjut di tahun 1930 yang terkenal dengan istilah great depression di Amerika Serikat yang berbarengan dengan the great crash di pasar modal New York sehingga berimplikasi pada net national product AS yang berkurang setengahnya, hingga tahun krisis keungan 1998 dan 2008 yang berimplikasi pada perekonomian dunia.
Krisis keuangan selama ini sekiranya perlu dikoreksi terutama kaitannya dengan kekeliruan memandang fungsi kapital. Kapital selama ini dipandang sesuatu yang berdiri sendiri yang akan menghasilkan kapital kembali (kapitalisasi kapital). Padahal seperti yang diungkapkan oleh Adam Smith di dalam bukunya The Wealth of Nation (1776) kemakmuran suatu bangsa tidak diukur dari banyaknya logam mulia yang dimiliki oleh bangsa tersebut, tetapi dari kemampuan bangsa itu untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhannya secara layak. Fahri Hamzah (2010:329) mengatakan bahwa Adam Smith memperkenalkan tentang konsep ‘kapital’ sebagai bentuk pemanfaatan pendapatan yang menghasilkan nilai tambah dengan menempatkannya pada kegiatan-kegiatan yang produktif dan bukan ditimbun didalam lemari harta atau diperam di bawah alas tidur.
Secara sederhana sebenarnya teori ekonomi Klasik (fungsi produksi Cobb-Dauglass) mengatakan bahwa kesejahteraan suatu bangsa yang tercermin dari tingkat produktifitas dalam menghasilkan produk barang dan jasa (produksi) dipengaruhi paling tidak sedikitnya 2 fungsi produksi yakni kapital (Capital) dan tenaga kerja (Labour). Artinya, kapital yang diidentikan dengan modal atau uang seharusnya bisa dipertemukan dengan tenaga kerja yang mencerminkan sektor riil untuk menghasilkan produktifitas positif .
Jika kapital tidak mampu dipertemukan dengan tenaga kerja maka sama halnya dengan moneter yang berjalan sendiri tanpa dibersamai oleh berkembangnya sektor rill yang pada akhirnya melahirkan istilah bubble economy. Hal ini dengan sederhana dapat dipahami dengan menggunakan persamaan ekonom Irving Fisher dimana MV=PT, votalitas atau kecepatan uang beredar (V) jika tidak bisa diikuti oleh transaksi yang beriringan (T) dalam sektor riil maka akan berakibat semakin tingginya tingkat harga (P) dimana inflasi tinggi sehingga akan menyebabkan menurunnya daya beli masyarakat. Situasi ini akan semakin diperparah ketika para investor yang memiliki modal tersebut menuntut tingkat keuntungan yang lebih tinggi yang secara otomatis akan menaikan tingkat biaya modal disatu sisi akan menurunkan tingkat investasi dimana penurunan investasi akan berdampak akan lesunya sektor riil.