Boleh
saja ekonom berbeda pandangan terkait masalah sistemik ataupun tidaknya bank
century jika tidak diberikan dana talangan (bailout) sebesar Rp 6,7 triliun.
Perbedaan pandangan ini tidak akan pernah benar-benar mencapai sebuah titik
kesepakatan diantara para ekonom itu sendiri. Setidaknya ada dua alasan yang
mendasar mengapa ekonom berbeda pandangan. Pertama, perbedaan-perbedaan dalam
penilaian ilmiah dimana berbeda mengenai keabsahan teori atau mengenai ukuran
parameter-parameter penting. Kedua, perbedaan-perbedaan dalam nilai dimana
memiliki pandangan normatif berbeda mengenai kebijakan yang seharusnya
dilakukan. Namun yang pasti, penyelamatan bank century telah menimbulkan
polemik dan tanda tanya besar di tengah masyarakat.
Tanda
tanya itu adalah misalnya terkait dugaan bahwa alokasi dana talangan century
tidak sepenuhnya dialokasikan untuk membayar kewajiban dan menyuntik modal
sehingga persyaratan permodalan minimal suatu bank terpenuhi? Atau
pertanyaan-pertanyaan lain terkait pengawasan Bank Indonesia dan BAPEPAM-LK
yang lemah terhadap aktifitas bank century sebelum bailout? Apakah ada
peraturan-peraturan yang dilanggar dalam proses penyelamatan century? Lalu
terkait laporan BPK dan PPATK terkait dengan aliran dana dan transaksi yang
mencurigakan? Dan juga yang tak boleh dilupakan adalah pertanyaan publik
terkait bukti rekaman percakapan Budi Sampoerna—pemilik dana pihak ketiga
terbesar Bank Century, sekitar Rp 2 triliun—dan mantan Kabareskrim POLRI,
Komjen Susno Duadji? Semua pertanyaan ini harus segera dijelaskan dan
dipertanggungjawabkan kepada publik agar tak timbul efek bola salju yang pada
akhirnya akan mendeligitimasi pemerintahan SBY-Boediono yang baru berjalan
seumur jagung.
Tiga
skenario kekhawatiran Ada tiga skenario kekhawatiran yang sangat mendasar
dari kasus bailout Bank Century ini. Pertama, pemerintah SBY-Boediono lamban
merespon pertanyaan-pertanyaan publik mengenai bailout Century dan membongkar
kasus ini, hal ini ditandai salahsatunya oleh lambanya PPATK mengungkap aliran
dana. Kedua, panitia angket Century yang sudah terbentuk di DPR RI akan sama
nasibnya dengan panitia-panitia angket sebelumnya yang tak jelas hasilnya,
sehingga kasus ini akan mengulangi tragedi BLBI tahun 1998. Ketiga, seandainya
saja memang terbukti ada penumpang-penumpang gelap (free riders) yang menikmati
dana talangan (bailout) Century, maka kekhawatiran selanjutnya adalah kasus ini
akan mandeg tanpa kejelasan di lembaga penegak hukum seperti kepolisian,
kejaksaan atau bahkan KPK.
Kesimpulannya
adalah jika kasus Century ini akhirnya sesuai dengan tiga skenario kekhawatiran
di atas, maka benarlah bahwa hari ini korupsi telah menyandera negara (state
capture corruption).
Menurut
Transparasi Internasional, korupsi adalah perilaku pejabat publik, baik
politisi maupun pegawai negeri, yang secara tidak wajar dan tidak legal
memperkaya diri atau memperkaya mereka yang dekat dengannya, dengan
menyalahgunakank kekuasaan publik yang dipercayakan kepada mereka. Amien Rais
(2008) menjelaskan bahwa korupsi yang paling berbahaya adalah state capture
corruption atau state-hijacked corruption yakni korupsi yang menyandera negara.
Kekuasaan negara yang terdiri dari eksekutif, legislatif dan yudikatif secara
sadar dan tidak, telah melakukan korupsi yang paling besar dan paling berbahaya
karena yang dipertaruhkan adalah kedaulatan ekonomi, politik, bahkan kedaulatan
pertahanan keamanan bangsa Indonesia.
http://agoratelegraph.com/ |
Komitmen
Presiden dan ‘social movement’ Ada sebuah harapan dan mimpi besar bahwa pemimpin
negeri ini benar-benar berkomitmen untuk memberantas seluruh kasus korupsi di
Indonesia. Presiden SBY harus benar-benar membuktikan seminimal-minimalnya
terhadap 60-an persen pemilihnya bahwa pemerintahan dibawah kendalinya
benar-benar berkomitmen terhadap pemberantasan korupsi dan penegakan hukum yang
adil. Strong and clean leadership Presiden menjadi penentu arah penyelesaian
kasus Century dan korupsi lainnya di Indonesia.
Berharap
keadilan hukum benar–benar ditegakan adalah harga mati dalam penyelesaian kasus
Century dan kasus-kasus korupsi lainnya. Jangan sampai hukum seperti sebuah
pisau yang lancip ke bawah tumpul ke atas dimana hukum benar-benar ditegakan
untuk rakyat miskin biasa yang melakukan kesalahan dan sebaliknya tidak
benar-benar ditegakan untuk para pemegang modal dan para penguasa yang masih
terus berkuasa di hadapan hukum. Lalu dimanakah peranan
masyarakakat diluar lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif? Pengawasan
seluruh elemen masyarakat baik dari seluruh mahasiswa, akademisi, media massa,
termasuk sebenarnya pihak tertinggi perguruan tinggi juga mesti turut bersuara
untuk menunjukan bahwa elemen diluar lembaga eksekutif, legislatif dan
yudikatif bisa menjadi sebuah gerakan sosial yang berdaulat dalam mengawasi
jalannya proses penegakan hukum terkait masalah Century dan kasus-kasus korupsi
lainnya. Lalu, jika kasus Century dan kasus korupsi lainnya tidak terbongkar
atau bahkan tak jelas penyelesaiannya maka gerakan sosial bisa saja mengulangi
sejarah turunnya Presiden Soeharto pada 1998 silam. Wallahua’lam. (Republika Yogyakarta, April 2010)
No comments:
Post a Comment