Thursday 16 January 2014

State Capture Corruption

Boleh saja ekonom berbeda pandangan terkait masalah sistemik ataupun tidaknya bank century jika tidak diberikan dana talangan (bailout) sebesar Rp 6,7 triliun. Perbedaan pandangan ini tidak akan pernah benar-benar mencapai sebuah titik kesepakatan diantara para ekonom itu sendiri. Setidaknya ada dua alasan yang mendasar mengapa ekonom berbeda pandangan. Pertama, perbedaan-perbedaan dalam penilaian ilmiah dimana berbeda mengenai keabsahan teori atau mengenai ukuran parameter-parameter penting. Kedua, perbedaan-perbedaan dalam nilai dimana memiliki pandangan normatif berbeda mengenai kebijakan yang seharusnya dilakukan. Namun yang pasti, penyelamatan bank century telah menimbulkan polemik dan tanda tanya besar di tengah masyarakat. 

Tanda tanya itu adalah misalnya terkait dugaan bahwa alokasi dana talangan century tidak sepenuhnya dialokasikan untuk membayar kewajiban dan menyuntik modal sehingga persyaratan permodalan minimal suatu bank terpenuhi? Atau pertanyaan-pertanyaan lain terkait pengawasan Bank Indonesia dan BAPEPAM-LK yang lemah terhadap aktifitas bank century sebelum bailout? Apakah ada peraturan-peraturan yang dilanggar dalam proses penyelamatan century? Lalu terkait laporan BPK dan PPATK terkait dengan aliran dana dan transaksi yang mencurigakan? Dan juga yang tak boleh dilupakan adalah pertanyaan publik terkait bukti rekaman percakapan Budi Sampoerna—pemilik dana pihak ketiga terbesar Bank Century, sekitar Rp 2 triliun—dan mantan Kabareskrim POLRI, Komjen Susno Duadji? Semua pertanyaan ini harus segera dijelaskan dan dipertanggungjawabkan kepada publik agar tak timbul efek bola salju yang pada akhirnya akan mendeligitimasi pemerintahan SBY-Boediono yang baru berjalan seumur jagung. 

Tiga skenario kekhawatiran Ada tiga skenario kekhawatiran yang sangat mendasar dari kasus bailout Bank Century ini. Pertama, pemerintah SBY-Boediono lamban merespon pertanyaan-pertanyaan publik mengenai bailout Century dan membongkar kasus ini, hal ini ditandai salahsatunya oleh lambanya PPATK mengungkap aliran dana. Kedua, panitia angket Century yang sudah terbentuk di DPR RI akan sama nasibnya dengan panitia-panitia angket sebelumnya yang tak jelas hasilnya, sehingga kasus ini akan mengulangi tragedi BLBI tahun 1998. Ketiga, seandainya saja memang terbukti ada penumpang-penumpang gelap (free riders) yang menikmati dana talangan (bailout) Century, maka kekhawatiran selanjutnya adalah kasus ini akan mandeg tanpa kejelasan di lembaga penegak hukum seperti kepolisian, kejaksaan atau bahkan KPK.
Kesimpulannya adalah jika kasus Century ini akhirnya sesuai dengan tiga skenario kekhawatiran di atas, maka benarlah bahwa hari ini korupsi telah menyandera negara (state capture corruption). 

Menurut Transparasi Internasional, korupsi adalah perilaku pejabat publik, baik politisi maupun pegawai negeri, yang secara tidak wajar dan tidak legal memperkaya diri atau memperkaya mereka yang dekat dengannya, dengan menyalahgunakank kekuasaan publik yang dipercayakan kepada mereka. Amien Rais (2008) menjelaskan bahwa korupsi yang paling berbahaya adalah state capture corruption atau state-hijacked corruption yakni korupsi yang menyandera negara. Kekuasaan negara yang terdiri dari eksekutif, legislatif dan yudikatif secara sadar dan tidak, telah melakukan korupsi yang paling besar dan paling berbahaya karena yang dipertaruhkan adalah kedaulatan ekonomi, politik, bahkan kedaulatan pertahanan keamanan bangsa Indonesia. 

http://agoratelegraph.com/
Komitmen Presiden dan ‘social movement’ Ada sebuah harapan dan mimpi besar bahwa pemimpin negeri ini benar-benar berkomitmen untuk memberantas seluruh kasus korupsi di Indonesia. Presiden SBY harus benar-benar membuktikan seminimal-minimalnya terhadap 60-an persen pemilihnya bahwa pemerintahan dibawah kendalinya benar-benar berkomitmen terhadap pemberantasan korupsi dan penegakan hukum yang adil. Strong and clean leadership Presiden menjadi penentu arah penyelesaian kasus Century dan korupsi lainnya di Indonesia. 

Berharap keadilan hukum benar–benar ditegakan adalah harga mati dalam penyelesaian kasus Century dan kasus-kasus korupsi lainnya. Jangan sampai hukum seperti sebuah pisau yang lancip ke bawah tumpul ke atas dimana hukum benar-benar ditegakan untuk rakyat miskin biasa yang melakukan kesalahan dan sebaliknya tidak benar-benar ditegakan untuk para pemegang modal dan para penguasa yang masih terus berkuasa di hadapan hukum.  Lalu dimanakah peranan masyarakakat diluar lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif? Pengawasan seluruh elemen masyarakat baik dari seluruh mahasiswa, akademisi, media massa, termasuk sebenarnya pihak tertinggi perguruan tinggi juga mesti turut bersuara untuk menunjukan bahwa elemen diluar lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif bisa menjadi sebuah gerakan sosial yang berdaulat dalam mengawasi jalannya proses penegakan hukum terkait masalah Century dan kasus-kasus korupsi lainnya. Lalu, jika kasus Century dan kasus korupsi lainnya tidak terbongkar atau bahkan tak jelas penyelesaiannya maka gerakan sosial bisa saja mengulangi sejarah turunnya Presiden Soeharto pada 1998 silam. Wallahua’lam. (Republika Yogyakarta, April 2010)

No comments:

Post a Comment