Oleh Rizky Febriana
(Tulisan ini menjadi juara 3 di blog competition Pertamina-Kompasiana)
PT Pertamina (Persero) per 10 September 2014 kembali menyesuaikan harga liquified petroleum gas (LPG), elpiji nonsubsidi kemasan 12 kg sebesar Rp1500 per kg (net pertamina) naik dari sebelumnya Rp6.069 per kg menjadi Rp 7.569 per kg. Apabila ditambahkan dengan komponen biaya lainnya, seperti transport, filing fee, margin agen dan PPN, maka harga jual di agen diprakirakan menjadi Rp9.519 per kg atau Rp114.300 per tabung atau sekitar Rp120.000 untuk harga konsumen (end users). Kenaikan ini bukan yang pertama kalinya, namun selalu menimbulkan polemik setiap kali Pertamina melakukan penyesuaian harga. Oleh karena itu ada beberapa hal sebenarnya yang harus Kita ketahui bersama untuk menghindari polemik ini.
1. Kita Impor LPG
Hal yang perlu Kita sadari sedari awal adalah Kita adalah importir LPG. Hal ini tidak terlepas dari kebutuhan LPG nasional yang diperkirakan akan terus meningkat salah satunya didorong oleh adanya program konversi minyak tanah ke LPG di 2004 silam dan juga adanya pertumbuhan jumlah penduduk Indonesia yang meningkat 1,49% per tahun. Menurut Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), kebutuhan LPG diperkirakan akan terus meningkat hingga 9 juta ton pada tahun 2030 yang didominasi oleh penggunaan rumah tangga (90%) sehingga diprediksi jumlah impor LPG akan mencapai 58% pada tahun 2030.
Sumber: BPPT (2013) |
Kebutuhan untuk impor tidak terlepas dari jumlah konsumsi LPG masyarakat Indonesia yang melebihi jumlah produksinya sehingga mau tidak mau Kita harus impor untuk memenuhi kebutuhan LPG dalam negeri. Data Kementerian ESDM seperti yang dilansir oleh BPPT mencatat penggunaan LPG di dalam negeri terus melonjak dari 1,08 juta ton pada tahun 2004, 1,37 juta ton di 2007, lalu menjadi 4,35 juta ton pada tahun 2011 dan diprakirakan kembali meningkat di 2014 menjadi 5,78 juta ton.
Sumber: PT Pertamina (Persero) |
Lalu bagaimana dengan kondisi produksi LPG Kita? Di tahun 2004 jumlah produksi LPG nasional mencapai 2,03 juta ton dimana 1,13 juta ton dihasilkan oleh kilang gas dan 0,89 juta ton dihasilkan oleh kilang minyak. Produksi pada tahun tersebut masih melebihi konsumsi LPG dalam negeri, maka Kita juga melakukan ekspor. Tahun tersebut hingga tahun 2009 Kita masih bisa ekspor LPG ke Luar Negeri, namun di tahun 2010 Kita tidak lagi ekspor, produksi LPG oleh PT Pertamina (Persero) semua digunakan untuk konsumsi LPG di dalam negeri. Catatan Kementerian ESDM mengemukakan fakta bahwa Kita tidak lagi melakukan ekspor karena konsumsi LPG dalam negeri sudah melebihi produksinya, terjadilah excess demand LPG di Indonesia. Walaupun produksi LPG dari kilang domestik diperkirakan akan mengalami peningkatan hingga mencapai 3.8 juta ton per tahun seiring dengan penambahan kapasitas kilang, namun demikian tingkat konsumsi yang lebih tinggi menjadi alasan utama untuk Kita masih harus impor LPG.
2. Elpiji 12 KG, Elpiji Non Subsidi
Sumber data: Pertamina, diolah; Sumber gambar: Jakarta Post, diolah |
Elpiji 12 KG sebenarnya bukan hanya kali ini saja mengalami kenaikan. Tercatat sejak Maret 2004 ketika pemerintah menggalakan program konversi minyak tanah (kerosene) ke LPG, PT Pertamina (Persero) pernah melakukan penyesuain harga menjadi Rp3.000 per Kg atau sekitar Rp38 ribu per tabung. Penyesuain dilakukan kembali di Desember 2004 menjadi Rp4.250 per Kg atau sekitar Rp51 ribu per tabung. Penyesuain kembali dilakukan di Juli 2008 menjadi Rp5.250 per Kg atau sekitar Rp63 ribu per tabungnya.
Kenapa PT Pertamina tidak melakukan penyesuaian harga di tahun 2005 hingga 2007? Banyak faktor yang mempengaruhi namun salah satunya disebabkan harga LPG di pasaran dunia pada tahun tersebut masih dianggap mendekati harga Elpiji PT Pertamina yang beredar di pasaran domestik. Sehingga jika Kita mengambil kesimpulan sederhana untuk menggaris bawahi harga LPG juga bisa saja bertahan atau malah turun mengikuti harga dunia seperti yang pernah terjadi pada beberapa periode (lihat gambar di bawah, perbandingan harga Elpiji PT Pertamina terhadap Bahan Baku Impor). Nanti tergantung hukum ekonomi dan hukum pasar kata para ekonom, Supply over Demand (harga turun) atau Demand over Supply (harga naik).
Hal lainnya yang juga perlu digaris bawahi selanjutnya adalah, elpiji 12 KG adalah elpiji non subsidi. Hal ini sesuai dengan Peraturan Menteri ESDM No. 26/2009 tentang regulasi bisnis LPG di Indonesia. Dalam pasal 25 ayat 1-2, elpiji 12 Kg (juga 50 Kg dan LPG curah/bulk) termasuk ke dalam kategori LPG Umum yang harga jualnya ditetapkan oleh badan usaha, termasuk oleh PT Pertamina (Persero) yang mengikuti harga patokan LPG, kesinambungan penyediaan dan pendistribusian serta kemampuan daya beli konsumen dalam negeri.
Menarik untuk Kita bahas satu per satu. Pertama, harga jual yang mengikuti harga patokan LPG. Seperti yang penulis kemukakan di awal, Kita adalah importir LPG, Kita tidak bisa menentukan harga sendiri karena Kita pembeli, harga LPG impor naik maka harga LPG nasional juga naik karena Kita impor, harga pasar yang saat ini berlaku bisa mencapai Rp175-185 per tabung 12 Kg, jika saat ini Elpiji 12 Kg baru berada di angka Rp120 ribu maka ada selisih yang harus ditanggung, inilah yang selama ini ditanggung PT Pertamina (Persero) dan tercatat disisi akuntansi laporan keuangan perusahaan sebagai kerugian sebuah entitas bisnis yang mencapai triliunan rupiah, ini juga yang menjadi catatan BPK dalam LHP No 06/Auditama VII/Kinerja/02/2012 tanggal 5 Februari 2013.
Sumber: Bloomberg, Nur Farida Ahniar dalam Iwan Hermawan (2014) |
Untuk itulah Kita harus menyesuaikan dengan harga LPG dunia? Menurut PT Pertamina (Persero) jika Kita menyesuaikan dengan harga impor (harga keekonomian), berdasarkan harga rata-rata CP Aramco per Juni 2014 lalu yang mencapai USD891,78 per metric ton dengan kurs saat itu sebesar Rp11.453 per USD, harga LPG 12 kg saat ini seharusnya mencapai Rp15.110 per kg atau sekitar Rp 175 ribu hingga 185 ribu per tabung. Nah selama ini, harga LPG di Indonesia masih terus disubsidi oleh Pemerintah melalui PT Pertamina (Persero). Menurut BPK, PT Pertamina (Persero) menanggung kerugian atas bisnis LPG 12 dan 50 Kg selama 2011 hingga Oktober 2012 sebesar Rp7,73 Triliun. Sementara itu menurut Pertamina sendiri kerugian sudah dialami sejak tahun 2009-2013 yang mencapai sekitar Rp17 Triliun.
Sumber: Saudi Aramco, diakses dari www.gasenergyaustrali.asn.au |
Kedua, harga jual yang melihat kesinambungan penyediaan dan pendistribusian. Berdasarkan data PT Pertamina (Persero), perkembangan infrastruktur LPG juga terus mengalami peningkatan. Sebagai contoh storage (tempat penyimpanan LPG) juga terus mengalami peningkatan kapasitas dari 136 ribu Mton sebelum tahun 2007 menjadi 345 ribu Mton setelah 2010. Insfrastruktur lainnya juga terus mengalami peningkatan, seperti vessel, filling station dan skid tank. Sehingga menurut BPPT, diprediksi total produksi LPG diprakirakan terus meningkat dan mampu mencapai 3.8 juta ton per tahun. Namun demikian jumlah konsumsi yang melebihi kapasitas produksi menyebabkan PT Pertamina (Persero) melakukan impor LPG. Hal ini semata-mata untuk memenuhi kebutuhan LPG dalam negeri. Upaya menjaga kesinambungan supply LPG untuk konsumsi domestik inilah yang harus dilakukan oleh PT Pertamina (Persero). Untuk itu, khusus elpiji non subsidi perlu dilakukan penyesuaian harga berdasarkan harga keekonomian bahan bakunya.
Sumber: PT Pertamina (Persero) |
Untuk pendistribusian LPG, PT Pertamina (Persero) sudah berpengalaman dalam melakukan distribusi LPG di Indonesia mulai dari sumber supply LPG, pengangkutan LPG ke depot/terminal hingga penjualan produk ke agen yang memilik standar tersendiri. Seperti yang diberitakan buletin Energia Pertamina No. 8 Tahun 2014, saat ini PT Pertamina (Persero) juga menambah kapal Very Large Gas Carrier (VLGC) dengan VLGC Pertamina Gas I dan II. VLGC Pertamina Gas I mulai beroperasi sejak diserahterimakan 17 September 2013 sedangkan VLGC Pertamina Gas II sekitar Mei 2014. VLGC ini akan memperkuat armada kapal Pertamina yang sudah ada terlebih dahulu, termasuk akan memperkuat posisi tawar Pertamana diantara para ship owners. Yang lebih utama dari fungsi VLGC adalah sebagai mother vessel dan floating storage and offloading (FSO) yang melayani kapal-kapal Pertamina yang lebih kecil termasuk memungkinkan Pertamina melakukan efisiensi dalam pendistribusian LPG kepada masyarakat.
Sumber: PT Pertamina (Persero) |
Sumber: PT Pertamina (Persero) dalam Kompasiana (2014) |
Ketiga, harga jual LPG yang harus disesuaikan dengan kemampuan daya beli konsumen dalam negeri. Perlu untuk diketahui oleh Kita bersama, berdasarkan data PT Pertamina (Persero) konsumsi elpiji 12 Kg hanya sekitar 17% dari konsumsi LPG total. Sementara untuk elpiji 50 Kg/Bulk hanya 3,5%. Konsumsi Elpiji terbesar masih terjadi di elpiji 3 Kg yang disubsidi dan dikhususkan untuk kalangan tertentu.
Sumber: Pertamina dalam Kompasiana (2014) |
Sementara itu berdasarkan survei AC Nielsen pada tahun 2013, dari 7000 panel rumah tangga yang disurvei, pengguna elpiji 12 Kg digunakan oleh 16% rumah tangga di perkotaan dan 4% di pedesaan. Survei tersebut menyajikan informasi bahwa dari 70% pengguna Elpiji 12 Kg adalah kelompok atas (upper class) yang memiliki pendidikan lebih tinggi (SMA hingga S2) yang menggunakan perangkat komputer di rumah, memiliki lemari pendingin dan sumber air minum isi ulang bermerk tertentu. Hal ini tidak terlepas dari kondisi pengguna elpiji 12 Kg yang memang datang dari kalangan kelas menengah atas yang memiliki pengeluaran bulanan Rp2,3 juta ke atas setiap bulannya. Jika disimpulkan dengan sederhana, orang-orang kelas menengah atas tersebut masih lebih banyak mengeluarkan biaya untuk hiburan/rekreasi dibandingkan untuk konsumsi LPG.
Sumber: Ac Nielsen dan Pertamina dalam Kompasiana (2014) |
Disamping itu, harga LPG non subsidi di Indonesia masih lebih rendah dibandingkan beberapa negara tetangga seperti India yang harganya sudah mencapai Rp12.600 per kg, Jepang Rp20.000 per kg dan China Rp17-21 ribu per kg.
Sumber: Pertamina dalam Kompasiana (2014) |
3. Elpiji 3 Kg untuk Kalangan Bawah
Sumber: Google |
Masih ingat perjalanan konversi energi dari minyak tanah ke LPG? Konversi energi dari minyak tanah (kerosene) ke LPG tidak terlepas dari beban subsidi BBM (minyak tanah, premium, solar) yang dilakukan pemerintah khususnya sejak tahun 2004 yang mencapai Rp70 triliun. Dari ketiga jenis bahan bakar yang disubsidi, minyak tanah mendapat porsi terbesar sekitar 50%. Dari tahun ke tahun anggaran pemerintah semakin tinggi sementara harga minyak dunia terus naik, inilah yang menjadi latar belakang kebijakan konversi minyak tanah ke LPG.
Sumber: Kementerian ESDM dalam Astari Adiyawati (2008) |
Berdasarkan perhitungan oleh Kementerian ESDM (Adiyawati, 2008), pemakaian 1 liter minyak tanah setara dengan pemakaian 0,57 Kg LPG. Dengan menghitung harga keekonomian minyak tanah dan LPG, subsidi yang diberikan untuk pemakaian 0,57 Kg LPG akan lebih kecil jika dibandingkan subsidi untuk 1 liter minyak tanah. Penggunaan LPG juga dipandang memiliki tingkat efisiensi yang cukup besar karena nilai kalor efektif yang lebih tinggi dibandingkan minyak tanah termasuk memiliki gas buang yang lebih bersih dan ramah lingkungan.
Sumber: PT Pertamina (Persero), 2009 |
Program konversi energi dari minyak tanah ke PT Pertamina (Persero) terbilang cukup berhasil. Hal ini dilihat dari jumlah penggunaan minyak tanah yang terus menurun sementara konsumsi LPG cenderung mengalami peningkatan. Secara umum, menuruut PT Pertamina (Persero) konversi minyak tanah ke LPG juga memiliki beberapa keuntungan diantaranya bagi menghemat pengeluaran pemerintah Indonesia sekitar USD 884 Million (net saving), menciptakan iklim investasi sekitar USD 1,4 Billion, bagi konsumen bisa menghemat sekitar 42% pengeluaran atau sekitar USD 4 setiap bulannya termasuk menurunkan efek CO2 sebesar 46,6 milion sehingga dipastikan lebih ramah lingkungan.
Sumber: PT Pertamina (Persero), 2009 |
Ada satu hal lagi yang semestinya menjadi catatan penting bahwa konversi dari minyak tanah ke LPG 3 Kg memang dikhususkan bagi kalangan tertentu, bagi mereka yang tidak memiliki kemampuan daya beli yang baik.
Kenapa subsidi hanya untuk kalangan tertentu? Ilustrasi sederhana misalnya saja dikeluarga Kita. Ayah Kita punya pendapatan Rp3 juta per bulan. Ia punya Istri dan 2 orang anak. Selama ini Ia menanggung kehidupan istri dan anaknya. Lalu lahir anak ke-3, beban si Ayah bertambah besar, uang Rp3 juta per bulan yang tadinya dibagi untuk 4 kepala sekarang dibagi untuk 5 kepala. Bagaimana si Ayah menyiasati ini agar uang bulanan yang dihasilkan masih bisa dirasakan sama manfaatnya ketika hanya dirasakan oleh 4 kepala, sebelum anak ke 3 lahir? Si Ayah menyetop subsidi untuk anak pertama, karena kebetulan anak pertama sudah mulai bekerja dan memiliki penghasilan sendiri.
Begitu juga dengan Pemerintah melalui PT Pertamina (Persero). Barang-barang yang disubsidi dikhususkan hanya bagi kalangan bawah yang daya belinya rendah. Kenapa hanya untuk kalangan bawah? Logikanya sederhana, pemerintah melalui PT Pertamina (Persero) memiliki budget constraint/keterbatasan biaya seperti halnya si Ayah yang hanya punya pemasukan Rp3 juta per bulan. Disamping itu selain untuk subsidi kepada kalangan yang daya belinya rendah, ada pos pos pengeluaran pemerintah yang juga harus diperhatikan seperti kualitas pendidikan, kesehatan jalan dan lain-lain. Apalagi pemerintah tidak hanya mengurusi 1 atau 2 kepala, ada 28,28 juta orang yang masih hidup di bawah garis kemiskinan (BPS, Maret 2014) yang memang harus diprioritaskan.
Sumber: PT Pertamina (Persero) dalam Kompasiana (2014) |
4. Menjaga Inflasi, Menjaga Daya Beli
Harus diakui secara jujur, kenaikan elpiji 12 Kg memiliki dampak terhadap kenaikan harga secara umum (inflasi). Seperti yang terjadi pada Januari 2014 silam ketika PT Pertamina (Persero) menaikan harga elpiji 12 Kg sekitar Rp4 ribu per Kg. Menurut analisis inflasi edisi 4 Februari 2014 oleh TPI dan Pokjanas TPID yang beranggotakan Bank Indonesia, Kemenkeu RI dan Kemendagri mengungkapkan Kenaikan harga LPG 12 Kg (BBRT) mendorong peningkatan inflasi administered prices (Inflasi yang dominan dipengaruhi oleh shocks/kejutan berupa kebijakan harga Pemerintah, seperti harga BBM bersubsidi, LPG, tarif listrik, tarif angkutan, dll) sehingga menyebabkan Bahan Bakar Rumah Tangga (BBRT) menyumbang inflasi sebesar 0,17% (mtm) akibat adanya price rigidity dari kenaikan harga LPG.
Meski begitu, angka inflasi akibat kenaikan harga elpiji 12 Kg tidak lebih tinggi dari tekanan inflasi inti dari pelemahan rupiah dan tekanan harga pada makanan jadi dan minuman dimana Inflasi IHK (Indeks Harga Konsumen) bulan Januari 2014 yang mencapai 1,07% (mtm) atau 8,22% (yoy) lebih didorong dari kelompok volatile food yang mencatat inflasi sebesar 2,89% (mtm), akibat pola penurunan produksi beberapa komoditas di awal tahun yang diperburuk dengan bencana alam dan banjir. Inflasi yang lebih terjaga dari dampak kenaikan LPG juga sejalan dengan apa yang disampaikan Menteri Keuangan, Chatib Basri, dalam beberapa kesempatan ketika ditanyakan komentarnya mengenai kenaikan LPG 12 Kg per 10 September 2014 lalu. Chatib Basri memperkirakan angka inflasi yang ditimbulkan oleh kenaikan harga elpiji hanya sekitar 0,1%.
Sumber: data diolah dari harga Elpiji PT Pertamina (Persero) per 1 Januari 2014 disesuaikan dengan kenaikan harga Elpiji per 10 September 2014 sebesar 24,72% |
Sumber: TPI dan Pokjanas TPID (Januari 2014) |
Namun demikian, PT Pertamina (Persero) tetap melakukan langkah antisipasi untuk mengamankan pasokan dan distribusi LPG di Indonesia hal ini dilakukan untuk menjaga dampak inflasi pasca kenaikan harga Elpiji 12 Kg. Disamping itu, Pertamina juga melakukan antisipasi pengguna LPG 12 Kg yang diprakirakan akan migrasi menggunakan LPG 3 Kg bersubsidi dengan Sistem Monitoring Elpiji 3 Kg (SIMOL3K) yang diperkenalkan sekitar akhir Mei dan Juni 2014.
Melalui Simol3k, Pertamina menyediakan teknologi yang terintegrasi di setiap pangkalan elpiji hingga ke agen. Perangkat yang digunakan semacam global positioning system (GPS) yang bisa mendata elpiji 3 kg termasuk mengetahui dimana terjadi kelangkaan LPG, sejauh mana ketersediaan stok di pangkalan dan kebutuhan di agen. Sistem ini juga diawasi oleh Direktorat Jenderal Minyak dan Gas Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral. Hal ini bertujuan agar subsidi yang diberikan pemerintah untuk Elpiji 3 Kg melalui public service obligation sekitar Rp8 ribu per Kg benar-benar tepat sasaran untuk kalangan tertentu yang daya belinya perlu dibantu.
5. Subdisi untuk Siapa?
Di atas Kita sudah membicarakan banyak hal mulai dari pendapatan negara yang terbatas (budget constraint), fakta pengguna LPG 12 Kg yang memang berasal dari kalangan kelas atas (upper class), realita bahwa Kita adalah importir LPG yang harga bahan bakunya tidak bisa Kita tentukan sendiri pricingnya/berapa harganya hingga prioritas subsidi yang memang ditujukan untuk kalangan tertentu.
Menarik memang untuk selalu membincangkan subsidi untuk siapa? Pasalnya banyak juga pendapat bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan pelayanan dari pemerintahnya sebab mereka sudah memberikan jasanya dalam bentuk pajak dan lainnya. Namun senantiasa juga ada pertanyaan menarik apakah pendapatan pemerintah dari pajak dan pos lainnya yang diterima lalu dihitung sebagai kas negara sanggup untuk memberikan pelayanan yang sama kepada semua warga negara?
Wacana menarik lainnya adalah mana yang lebih baik subsidi dalam bentuk barang atau subsidi langsung by name by adress? Semua sudah dilakukan oleh pemerintah hingga saat ini baik subsidi dalam bentuk barang yang bisa dinikmati bahkan oleh kalangan mampu seperti subsidi LPG 3 Kg maupun subsidi langsung yang menggunakan basis data terpadu berbasis sistem data elektronik yang memuat informasi sosial, ekonomi dan geografi para penerima manfaatnya seperti yang dilakukan oleh TNP2K (Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan) yang berada di bawah kordinasi Wapres melalui program jaminan sosial (BLT, BSLM, PKH dll). Mana yang lebih tepat sasaran? Mungkin Anda bisa membantu Saya untuk menjawabnya.
Ke depan, Kita sudah memahami realita yang ada, Elpiji 12 Kg adalah Elpiji non subsidi sementara Elpiji 3 Kg adalah Elpiji subsidi yang dikhususkan untuk kalangan tertentu. Maka sudah seharusnya disamping menggunakan Sistem Monitoring Elpiji 3 Kg (SIMOL3K), pemerintah Indonesia termasuk PT Pertamina untuk menggunakan kartu pembelian tertentu yang memuat informasi data terpadu, termasuk pendapatan si calon pembeli. Hal ini barangkali akan bagus jika diintegrasikan dengan E-KTP sehingga E-KTP tidak hanya sebagai identitas Kartu Tanda Penduduk melainkan juga dengan chip yang ada memuat informasi sebagai Kartu Tanda Pendapatan. Untuk itu, pemerintah baik Kemendagri (E-KTP), Kemenkeu (NPWP, informasi terkait pendapatan setiap warga negara), TNP2K dan Pertamina perlu untuk terus menerus berkordinasi. Hal ini dilakukan agar subsidi yang diberikan benar-benar tepat sasaran.
Bank Indonesia, Kemenkeu RI, Kemendagri RI. 2014. Analisis Inflasi Januari 2014.
BPPT. 2013. Indonesia Energy Outlook
Hermawan, Iwan. 2014. Dasar Penetapan Harga Elpiji 12 Kg dan Dampaknya Terhadap Perekonomian Indonesia. Info Singkat Ekonomi dan Kebijakan Publik Vol VI No. 01/I/P3DI/Januari/2014
Tri Sambodo, Maxensius. 2014. LPG Price Adjustemnts in Indonesia: An Unfinished Reform. ISEAS Perspective
Pertamina. 2009. Switching from Kerosene to LP Gas: Lessons from Indonesia. Slide Presentasi
Pertamina. 2014. Penjelasan Penyesuaian Berkala Harga Elpiji 12 Kg. Slide Presentasi
Pusdatin Kementerian ESDM. 2012. Handbook of Energy and Economic Statistic of Indonesia
Pusdatin Kementerian ESDM. 2013. Handbook of Energy and Economic Statistic of Indonesia
Melalui Simol3k, Pertamina menyediakan teknologi yang terintegrasi di setiap pangkalan elpiji hingga ke agen. Perangkat yang digunakan semacam global positioning system (GPS) yang bisa mendata elpiji 3 kg termasuk mengetahui dimana terjadi kelangkaan LPG, sejauh mana ketersediaan stok di pangkalan dan kebutuhan di agen. Sistem ini juga diawasi oleh Direktorat Jenderal Minyak dan Gas Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral. Hal ini bertujuan agar subsidi yang diberikan pemerintah untuk Elpiji 3 Kg melalui public service obligation sekitar Rp8 ribu per Kg benar-benar tepat sasaran untuk kalangan tertentu yang daya belinya perlu dibantu.
5. Subdisi untuk Siapa?
Di atas Kita sudah membicarakan banyak hal mulai dari pendapatan negara yang terbatas (budget constraint), fakta pengguna LPG 12 Kg yang memang berasal dari kalangan kelas atas (upper class), realita bahwa Kita adalah importir LPG yang harga bahan bakunya tidak bisa Kita tentukan sendiri pricingnya/berapa harganya hingga prioritas subsidi yang memang ditujukan untuk kalangan tertentu.
Menarik memang untuk selalu membincangkan subsidi untuk siapa? Pasalnya banyak juga pendapat bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan pelayanan dari pemerintahnya sebab mereka sudah memberikan jasanya dalam bentuk pajak dan lainnya. Namun senantiasa juga ada pertanyaan menarik apakah pendapatan pemerintah dari pajak dan pos lainnya yang diterima lalu dihitung sebagai kas negara sanggup untuk memberikan pelayanan yang sama kepada semua warga negara?
Ke depan, Kita sudah memahami realita yang ada, Elpiji 12 Kg adalah Elpiji non subsidi sementara Elpiji 3 Kg adalah Elpiji subsidi yang dikhususkan untuk kalangan tertentu. Maka sudah seharusnya disamping menggunakan Sistem Monitoring Elpiji 3 Kg (SIMOL3K), pemerintah Indonesia termasuk PT Pertamina untuk menggunakan kartu pembelian tertentu yang memuat informasi data terpadu, termasuk pendapatan si calon pembeli. Hal ini barangkali akan bagus jika diintegrasikan dengan E-KTP sehingga E-KTP tidak hanya sebagai identitas Kartu Tanda Penduduk melainkan juga dengan chip yang ada memuat informasi sebagai Kartu Tanda Pendapatan. Untuk itu, pemerintah baik Kemendagri (E-KTP), Kemenkeu (NPWP, informasi terkait pendapatan setiap warga negara), TNP2K dan Pertamina perlu untuk terus menerus berkordinasi. Hal ini dilakukan agar subsidi yang diberikan benar-benar tepat sasaran.
Sumber Inspirasi
Adiyawati, Astari. 2008. Analisa Jumlah Permintaan Minyak Tanah Berkaitan dengan Kebijakan Pemerintah dalam Penghematan APBN melalui Kebijakan Konversi Penggunaan Minyak Tanah ke LPG. Depok: Universitas IndonesiaBank Indonesia, Kemenkeu RI, Kemendagri RI. 2014. Analisis Inflasi Januari 2014.
BPPT. 2013. Indonesia Energy Outlook
Hermawan, Iwan. 2014. Dasar Penetapan Harga Elpiji 12 Kg dan Dampaknya Terhadap Perekonomian Indonesia. Info Singkat Ekonomi dan Kebijakan Publik Vol VI No. 01/I/P3DI/Januari/2014
Tri Sambodo, Maxensius. 2014. LPG Price Adjustemnts in Indonesia: An Unfinished Reform. ISEAS Perspective
Pertamina. 2009. Switching from Kerosene to LP Gas: Lessons from Indonesia. Slide Presentasi
Pertamina. 2014. Penjelasan Penyesuaian Berkala Harga Elpiji 12 Kg. Slide Presentasi
Pusdatin Kementerian ESDM. 2012. Handbook of Energy and Economic Statistic of Indonesia
Pusdatin Kementerian ESDM. 2013. Handbook of Energy and Economic Statistic of Indonesia
No comments:
Post a Comment