Saturday 26 March 2011

Save Our Soccer

"Ternyata tulisan ini sudah dimuat di kolom oposan, ole nasional, tabloid BOLA" :)

Tanggal 8 Januari 2011 lalu menjadi ajang pembukaan Liga Primer Indonesia (LPI) antara Persema Malang melawan Solo FC di stadion Manahan Solo. LPI sendiri merupakan kompetisi sepakbola baru di Tanah Air yang digagas oleh seorang Chief Executive Officer (CEO) Medco, Arifin Panigoro. LPI yang menerapkan sistem kompetisi penuh (double round robin) dan diikuti oleh 19 klub profesional ini bertujuan untuk menciptakan citra sepakbola Indonesia yang bersih, modern, profesional dan mandiri. Setiap klub sepakbola yang bermain di LPI tidak lagi mengandalkan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) namun mendapatkan kucuran dana dari pengusaha pengusaha di dalam konsorsium LPI berkisar 15-40 miliar tiap klub dan selama 3-5 tahun klub klub harus sudah dapat mengembalikan pinjaman itu.

Kehadiran LPI tentunya dapat menjadi contoh baru bagi persepakbolaan di Indonesia. Selama ini, klub klub sepakbola di Indonesia sangat bergantung kepada Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD). Ada sekitar 10-40 miliar dana APBD yang digunakan untuk pendanaan klub klub sepakbola di Indonesia. Selama ini klub klub sepakbola Indonesia sangat bergantung kepada APBD. Sebandingkah dana miliaran rupiah yang dikeluarkan dengan keuntungan yang didapatkan pemerintah daerah dari keberadaan klub sepakbola yang didanai APBD?

Belum ada penelitian yang cukup signifikan terkait dampak ekonomi dari keberadaan klub klub sepakbola di Indonesia. Namun jika kita merujuk dengan menggunakan hitung hitungan secara sederhana untung-rugi, adakah klub sepakbola yang mendapatan kucuran APBD mencatat keuntungan dilaporan keuangannya? Artinya jika tidak untung berarti rugi. Kalaupun ada keuntungan ekonomi, itu tidak tercatat, efek dominonya tidak terlalu besar dan hanya dinikmati oleh pihak pihak tertentu, minoritas. Itupun jika sepakbola berjalan normal tanpa kerusuhan suporter yang dapat memperparah kerugian ekonomi. Namun harus diakui penggunaan APBD untuk sepakbola bisa dimanfaatkan untuk keuntungan politik, happiness dan atau kebanggan masyarakat akan daerahnya.

Save Our Soccer
Secara legal formal sebenarnya sudah ada larangan klub sepak bola mendapat dana APBD secara langsung dalam Peraturan Pemerintah No.58/2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah dan Permendagri No. 13/2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah. Selain itu, pada 2007 ada Surat Edaran Mendagri No. 903/187/SJ tentang larangan penggunaan dana APBD untuk klub sepak bola. Namun di tahun 2010 ini dicabut dengan Surat Edaran Mendagri No. 426 Tahun 2010 dimana penggunaan APBD untuk sepakbola dibolehkan asal melalui Komite Olahraga Nasional Indonesia.

Sepakbola bukan sekedar olahraga namun ia adalah alat revolusi. Kini kehadiran LPI merupakan batu loncatan, atau pengingat bagi PSSI untuk menyelamatkan sepakbola di negeri ini dan menyelamatkan penggunaan APBD di Indonesia. Sebenarnya menjadi tidak masalah  penggunaan APBD untuk sepakbola. asalkan paling tidak memenuhi beberapa kriteria. Pertama, Kepala Daerah, Walikota atau Gubernur seharusnya menjalankan skala prioritas di dalam penggunaan anggaran, para pemimpin daerah harus mengetahui sektor mana yang menjadi unggulan dan prioritas pembangunan daerah yang mampu memberikan dampak ekonomi yang luas. Skala prioritas ini penting karena pembangunan tidak pernah menunggu. Ia akan terus berjalan dan akan dilihat sejauh mana keberhasilan pemerintah daerah di dalam mensejahterakan rakyatnya. Bukankah sektor lainnya juga membutuhkan dana, termasuk cabang olahraga lainnya?

Kedua, penggunaan APBD harus bisa dipertanggungjawabkan penggunaannya kepada publik, bukan lagi dari pos dana hibah yang lebih sering tidak dipertanggungjawabkan. Tentunya kita pun berharap, bahwa managemen klub klub sepakbola diisi oleh orang orang profesional yang mampu mempertanggungjawabkan dan mengelola klub sepakbola. Terakhir, menyelamatkan sepakbola Indonesia bukan hanya sekedar perdebatan perlu atau tidaknya penggunaan APBD. Namun seluruh elemen di dalam sepakbola, mulai dari pengurus PSSI, LPI, wasit, politikus harus juga mengetahui posisi masing masing dan tidak memperburuk persepakbolaan di Indonesia. Suporter juga harus bisa berdamai satu dengan lainnya, karena kerugian ekonomi dari ulah suporter hanya akan memperburuk perekonomian dan sepakbola di Indonesia. Save our soccer!

Tuesday 15 March 2011

Belajar Singkat dari Kegagalan Pasar dan Negara

Great depression tahun 1930 dan subprime mortgage Lehman Brothers tahun 2008 menjadi pelajaran bermakna bahwa: Pertama, pada tahun-tahun tersebut terjadi pengangguran yang besar, penciutan nilai aset lembaga keuangan bahkan keruntuhan lembaga keuangan termasuk bank-bank. Di Amerika Serikat, tahun 1930 rata-rata pengangguran mencapai 18,8% sedangkan di tahun 2008 penggangguran mencapai titik 6,7% terbesar sejak 5 tahun belakangan. Kedua, krisis ini dipengaruhi oleh pandangan teori ekonomi klasik khususnya J.B Say “Supply creates its own demand”, yang mengatakan bahwa setiap produksi akan selalu menemukan permintaannya. Di kedua tahun tersebut, juga terjadi peristiwa pembangunan perumahan secara besar-besaran, namun tidak diikuti oleh kemampuan agregat demand terhadap supply perumahan tersebut.

Ketiga, peristiwa great depression maupun subprime mortgage Lehman Brothes mengajarkan pentingnya berhati-hati dalam memandang fungsi kapital khususnya dilembaga keuangan yang seringkali terjadi kapitalisasi kapital (transaksi derivatif) yang tidak diimbangi oleh pertumbuhan ekonomi di sektor riil. Hal ini sesuai apa yang dikatakan oleh Prof John Gray dari Oxford University (Karim, 2003) ‘most significantly, perhaps transactions on foreign exchange market have now reached the astonishing sum of around $1,2 trilion a day, over fifty time the world trade. Around 95% of these transaction are speculative in nature, many using complex new derivative’s financial instruments based on futures and options’.

Krisis subprime mortgage menambah daftar panjang catatan krisis ekonomi yang berawal dari sektor keuangan. Roy Davies dan Glyn Davies (2006) dalam bukunya “a history of money from ancient times to the present day” mengatakan bahwa sepanjang abad 20 telah terjadi lebih dari 20 krisis ekonomi yang kesemuanya adalah krisis keuangan. Di mulai sejak tahun 1907 dimana krisis ekonomi berawal dari krisis perbankan di New York, berlanjut di tahun 1930 great depression yang berbarengan dengan the great crash di pasar modal New York hingga krisis 1998 dan 2008. Peristiwa tersebut menggambarkan bahwa terjadimarket failure.  

Di samping itu, keruntuhan sistem ekonomi Sosialis diawali oleh revolusi Bolshevic pada tahun 1917, lalu tahun 1985 Perestroika (reformasi ekonomi) dan Glasnots (reformasi sosial) telah menjadi starting point dari keterbukaan negara Uni Soviet dan negara komunis pada umumnya terhadap percaturan dunia internasional. Peristiwa Perestroika dan Glasnots yang dipelopori oleh Mikhail Gorbachev dilakukan karena memburuknya kinerja ekonomi Uni Soviet (Kuncoro, 2006). Memburuknya kinerja ekonomi Uni Soviet berawal sejak era Khrushchev dan berlanjut hingga tahun 1980-an. Laju pertumbuhan ekonomi menurun secara terus menerus sejak tahun 1960-an, demikian juga dengan pertumbuhan produktivitas. Dengan kata lain, sistem ekonomi terpusat atau komando tidak berhasil mempertahankan kondisi perekonomian Uni Soviet dan negara-negara Eropa Timur.

Umer Chapra (2000:99) mengatakan bahwa reformasi ekonomi yang terjadi di negara sosialis tidak dibarengi dengan demokrasi politik. Kediktatoran politik dan supresi terus saja berlanjut. Defisit anggaran, inflasi, pengangguran, dan utang luar negeri, kesenjangan ekonomi yang meningkat telah membawa sistem ekonomi sosialis dan negara penganutnya melepaskan sistem tersebut. Di tahun 1990-an, Uni Soviet dengan sistem ekonomi sosialisnya dinyatakan runtuh. Grup band Scorpion dalam lirik lagunya Wind of Changejuga turut menceritakan bahwa sistem sosialis telah runtuh.

Islampun sama, pernah mengalami kemunduran yang sangat jauh. Turki Usmani menjadi catatan terakhir sejarah dinasti Islam. Tercatat dua penyebab kemunduran, yakni buruknya pemahaman dan penerapan Islam. Kehidupan istana pada waktu itu bermegah-megahan dan istimewa serta memboroskan uang terjadi pula di kerajaan turki Usmani. dari beberapa keterangan lain, Turki Usmani tidak mendorong berkembangnya ilmu pengetahuan disamping itu gaya memerintah Pemerintah Ottoman bergaya diktator membuat masyarakat enggan melakukan kontrol, meninggalkan amar ma'ruf nahi munkar, dan mengalihkan ibadah hanya sebatas ritual dan kepentingan pribadi. Singkat kisah Sultan Hamid II menyerahkan kekuasaannya kepada Mustafa Kemal Ataturk, seorang yang seringkali dianggap  bapak bangsa turki di buku buku literatur sejarah, padahal bukan. Maka lengkaplah Turki digelari julukan the sick man of europe. Mempelajari kemunduran Islam sepertinya sangat bisa diprediksi melalui delapan prinsip (kalimat hikamiyat) Ilmuan Muslim, Ibn Khaldun. 

The Ideal Sharia Economics Country

Meminjam pendapat seorang ekonom asal Inggris, Profesor Dudley Seers (1973) yang mengatakan bahwa keberhasilan pembangunan ekonomi dapat diukur melalui jawaban atas beberapa pertanyaan berikut: What has been happening to proverty? What has been happening to unemployment? What has been to inequality? Lalu setelah sistem kapitalisme dan sosialisme tidak mampu menjawab pertanyaan tersebut, mampukah sistem ekonomi syariah menjawabnya sebagai tolak ukur sebuah negara dengan perekonomian ideal?
             Sejarah pernah mencatat bahwa Adam Smith menuliskan di dalam bukunya The Wealth of Nation (1776) jilid ke lima bab pertama dimana Adam Smith membandingkan antara masyarakat Eropa yang perekonomiannya terbelakang dengan masyarakat Arab yang pada waktu itu perekonomiannya maju. Masyarakat Arab yang Adam Smith maksudkan adalah masyarakat yang dipimpin oleh Mohammet and his immediate succesors (Karim, 2001). Sejarah juga pernah mencatat bagaimana kisah pada masa Khalifah Umar bin Abdul Azis tidak ada satu pun masyarakat yang bersedia menerima zakat. Sebuah fenomena langka yang pernah terjadi beratus-ratus tahun lalu. 
            Menurut hemat penulis, ada 3 catatan (prasyarat) penting menuju negara ideal. Pertama, catatan negara ideal di dalam tataran mikro dan makro perekonomian sebuah negara. Di dalam tataran ekonomi mikro dan makro maka ada beberapa nilai bangunan negara ideal berlandaskan ekonomi syariah: tauhid (keimanan), ‘adl (keadilan), nubuwah (kenabian), khilafah (pemerintahan), dan ma’ad (imbalan/ganjaran).[1] Nilai tersebut harus didukung oleh prinsip ekonomi syariah: multiple ownership (kepemilikan multijenis), freedom to act (kebebasan bertindak), dan social justice (keadilan sosial) yang didukung prilaku Islami. Akhlak islami yang dimaksudkan adalah prilaku menghindari transaksi yang dilarang di dalam perekonomian yakni tadlis (penipuan); gharar/uncertainty seperti berjudi (maisyr) atau sistem ijon; riba dan persaingan yang tidak sehat/monopoli/penimbunan (ikhtikar) (Karim, 2004) serta melakukan transaksi sesuai syariat misalnya berzakat sebagai alat distribusi pendapatan.
Kedua, catatan gambaran ideal terkait dengan sektor fiskal, moneter dan rill. Catatan ini berangkat dari pandangan kapitalisme yang salah memandang fungsi kapital. Kapital selama ini dipandang sesuatu yang berdiri sendiri yang akan menghasilkan kapital kembali (kapitalisasi kapital). Padahal menurut Adam Smith dalam The Wealth of Nation (1776) yang memperkenalkan tentang konsep ‘kapital’ sebagai bentuk pemanfaatan pendapatan yang menghasilkan nilai tambah dengan menempatkannya pada kegiatan-kegiatan yang produktif dan bukan ditimbun didalam lemari harta atau diperam di bawah alas tidur.[2] Jauh sebelum Adam Smith, seorang ilmuan Muslim Ibn Khaldun (1332 M-1406/ 732 H-808 H) telah merumuskan superneutrality of money dengan mengatakan bahwa kekayaan suatu negara tidak ditentukan oleh banyaknya uang yang dimilikinya. Namun ia ditentukan oleh berapa besar kemampuan negara itu memproduksi barang dan jasa, serta efisiensi negara tersebut dalam memproduksi.[3]
Secara sederhana sebenarnya fungsi produksi Cobb-Dauglass telah mengajarkan bahwa kesejahteraan suatu bangsa yang tercermin dari tingkat produktifitas dalam menghasilkan produk barang dan jasa (produksi) dipengaruhi paling tidak sedikitnya 2 fungsi produksi yakni kapital (Capital) dan tenaga kerja (Labour). Artinya, kapital yang diidentikan dengan modal atau uang seharusnya bisa dipertemukan dengan tenaga kerja yang mencerminkan sektor riil untuk menghasilkan produktifitas positif bukan kapitalisasi kapital yang menimbulkan bubble economy. Sehingga kesimpulan di catatan ke dua ini adalah bahwa negara ideal yang menerapakan ekonomi syariah adalah negara yang mampu mensinergikan sektor fiskal dan moneter dengan orientasi sektor rill sebagai cerminan produktifitas masyarakat suatu negara.
Ketiga, gambaran holistik suatu negara ideal menurut Ibn Khaldun. Catatan ini dilandasi bagaimana memposisikan ekonomi syariah dalam delapan prinsip (kalimat hikamiyat) Ibn Khaldun. Konsepsi pelaksanaan ekonomi syariah sedianya harus didukung oleh kekuatan kedaulatan (al-mulk) dimana syariah tidak dapat diimplementasikan tanpanya. Kedaulatan tak akan memperoleh kekuatan kecuali bila didukung oleh sumber daya manusia (ar-rijal). Ar-rijal tidak dapat dipertahankan kecuali dengan harta benda (al-mal). Al-mal tidak dapat diperoleh kecuali dengan pembangunan (al-imarah). Al-imarah tidak dapat dicapai kecuali dengan keadilan (al-‘adl). Al-‘adl merupakan tolak ukur (al-mizan) yang dipakai Allah mengevaluasi manusia. Kedaulatan mengandung tanggung jawab untuk menegakan keadilan (Chapra, 2001:126).
Jadi, gambaran negara ideal adalah: (1) Negara yang masyarakat secara individu (mikro) maupun bernegara (makro) melaksanakan prinsip dan nilai ekonomi syariah dengan cerminan prilaku ekonominya. (2) Negara yang selalu memposisikan kapital sesuai tempatnya sehingga terjadi sinergitas antara fiskal dan moneter yang mendukung sektor rill. (3) Negara yang mentransformasikan kalimat hikamiyat Ibn Khaldun dalam kehidupan bernegara. Sehingga konsekuensi logis dari ketiga poin tersebut adalah terciptanya good government governance yang mampu menjamin kesejahteraan rakyatnya dengan mengurangi pengangguran, kemiskinan serta mampu mendistribusikan zakat serta pajak sebagai upaya meniadakan ketimpangan ekonomi dan stabilisasi perekonomian.



[1] Tauhid bermakna bahwa setiap aktifitas perekonomian dipertanggungjawabkan kepada Allah SWT; Keadilan dimaksudkan bahwa aktifitas perekonomian tidak menzalimi dan tidak pula dizalimi; Kenabian bermakna aktifitas perekonomian mengikuti sifat Nabi Muhammad sidiq, amanah, fathonah, dan tabligh; Pemerintahan menjamin bahwa perekonomian harus berjalan sesuai dengan syariah (rules of the game); Ma’ad berarti motivasi mendapatkan profit dunia dan akhirat (Karim, 2003).
[2] Hamzah, Fahri. 2010. Negara, Pasar dan Rakyat. Yayasan Faham Indonesia
[3] Karim, Adiwarman. 2006. Ekonomi Makro Islami. Edisi Kedua. Jakarta: Rajawali Pers

Monday 14 March 2011

Mubyarto dan Pengikutnya

Mengenal Lebih Dekat Pribadi Seorang Mubyarto
Mubyarto dilahirkan di Desa Demakijo, Sleman, Yogyakarta, 3 September 1938. Nama Mubyarto selain bermakna pengejawantahan rasa bersyukur karena lahir setelah lama orangtuanya menginginkan anak laki-laki, juga berarti perubahan raut wajah sebagai ekspresi kegembiraan. Ia menjalani masa kecilnya di Yogyakarta dengan penuh penderitaan, karena orangtuanya miskin. Ayahnya bekerja sebagai mantri pengairan. Pernah, untuk membayar uang sekolah, ibunya sampai menggadaikan kain batiknya.

Walau begitu, bagi orangtuanya, pendidikan sangat penting untuk bekal hidup anaknya. Beliau bersekolah dasar, SD di Demak, Jawa Tengah (1950), lalu melanjutkan ke Sekolah Menengah Pertama di SMP Negeri III, Yogyakarta (1953); dan meneruskan jenjang pendidikannya di SMA 1 BOPKRI, Yogyakarta (1956);  Setelah lulus SMA pada tahun 1956 Muby yang oleh orangtuanya dididik rajin belajar dan disiplin, masuk ke Fakultas Ekonomi Universitas Gajah Mada. Begitu meraih gelar sarjana ekonomi tahun 1959, ia memperoleh beasiswa dari Ford Foundation untuk mengambil gelar master of economic development di Vanderbilt University, Amerika Serikat dan selesai pada tahun 1962. Tiga tahun kemudian ia berhasil mendapat gelar doktor dalam bidang ekonomi pertanian dari Iowa State University, Amerika Serikat. Disertasinya berjudul: "The Elasticity of the Marketable Surplus of Rice in Indonesia : A study in Java-Madura". Ketertarikan pada ekonomi pertanian tidak lepas dari masa kecilnya yang sudah akrab dengan lingkungan pedesaan. Gelar profesor diperolehnya pada usia 40 tahun.

Muby menikah dengan Hartati pada tahun 1965, setelah melalui masa perkenalan selama tujuh tahun. Isteri tercintanya bernama lengkap Sri Hartati Widayati, dan memiliki 4 orang anak Andianto Hidayat, Tantyarini Hidayati, Satriyantono Hidayat, Dadit Gunarwanto Hidayat. Dalam kariernya Pak Muby pernah menjadi anggota Majelis Perwakilan Rakyat (MPR) pada tahun 1987. Beliau juga pernah menjadi Staf Ahli Menko Ekuin Bidang Pemerataan Pembangunan, dan Penanggulangan Kemiskinan pada tahun 1998. 

Selasa 24 Mei 2005. Kabar duka itu tersiar setelah 4 hari lamanya Muby, demikian ia akrab dipanggil, dirawat di RS Sardjito, Yogyakarta. Sosok sederhana yang memasuki usia 67 tahun itu tak kuasa melawan penyakit paru-paru basah dan serangan jantung ringan yang menggerogotinya sejak lama. Kehilangan ini begitu meyayat, semangat Muby untuk menggelorakan Ekonomi Pancasila tak akan pernah padam.

Pemikiran Ekonomi Pancasila ala Mubyarto
Sejar Orde Baru 1966, selalu terjadi masalah di bidang ekonomi. Karena menurut Mubyarto (1987) bahwa masalah ekonomi adalah merupakan masalah yang paling pokok. Mubyarto menjelaskan keadaan perekonomian Indonesia pada waktu itu menurutnya betul-betul sangat menyedihkan. Inflasi luar biasa, barang-barang tidak mencukupi, rakyat harus antri untuk beli beras, beli gula, beli minyak; transportasi jelek, jalan-jalan rusak. Kondisi bangsa Indonesia yang memprihatinkan inilah yang menjadi perhatian serius seorang Mubyarto.

Pemikiran Mubyarto dilandasi oleh keprihatinannya terhadap teori-teori yang ada di Indonesia, khususnya teori Neoklasik. Dalam bukunya, Mubyarto menjelaskan bahwa teori-teori Neoklasik banyak menggantungkan pada kekuatan pasar untuk melaksanakan alokasi sumber daya dalam masyarakat yang dianggap oleh para pengamat lebih banyak menumbuhkan golongan ekonomi kuat, dan kurang mampu meningkatkan peranan golongan ekonomi lemah.Mubyarto yang meminjam pendapat Keynes, mengatakan bahwa tujuan yang berbeda tidak dapat dicapai hanya dengan mengubah kebijakan dan strategi, tetapi harus dengan cara mengubah teorinya, yaitu teori ekonomi yang melandasi kebijaksanaan dan strategi ekonomi itu, maka dapat disimpulkan bahwa teori Ekonomi Pancasila—mau tidak mau—harus dikembangkan di Indonesia. Inilah mengapa menurut Mubyarto perlu ada sebuah teori baru yang berlandaskan Pancasila dan harus lebih berkeadilan sosial.

Teori Ekonomi Pancasila adalah teori asli yang didasarkan pada data-data induktif empiric Indonesia sendiri, yang menggambarkan ekonomi riil (real economic life). Teori ini tidak menyimpang dari teori ekonomi pasar, yang berarti bukan didasarkan pengaturan pemerintah atau komando negara, atau menjadikan ekonomi Indonesia sosialis/komunis sebagaimana dikhawatirkan pakar-pakar ekonomi arus utama (mainstream). Ekonomi Pancasila adalah ekonomi pasar yang berorientasi sepenuhnya pada ekonomi rakyat. Ekonomi Pancasila adalah ekonomi pasar yang Pancasilais, yang bermoral Ketuhanan Yang Maha Esa, bermoral kemanusiaan yang adil dan beradab, bermoral nasionalisme/kebangsaan, bermoral kerakyatan, dan semuanya diarahkan pada upaya-upaya serius menuju terwujudnya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia (Mubyarto, 2004:16).

Menurut Mubyarto, setidaknya ada lima ciri khas sistem ekonomi Pancasila sebagaimana diserap dari UUD 1945 Pasal 33, bahkan dari keseluruhan jiwa itu sendiri. Kelima ciri khas sistem Ekonomi Pancasila yang dimaksudkan Mubyarto diantaranya adalah (Mubyarto, 1987: 39):
1)    Roda kegiatan ekonomi digerakan oleh rangsangan ekonomi, sosial dan moral.
2)    Ada kehendak kuat dari warga masyarakat untuk mewujudkan kemerataan sosial, yaitu tidak membiarkan terjadinya ketimpangan ekonomi dan sosial.
3)    Dijiwai semangat nasionalisme ekonomi dan tantangannya di era globalisasi yaitu terwujudnya perekonomian nasional yang kuat, tangguh dan mandiri.
4)    Demokrasi ekonomi berdasarkan kerakyatan dan kekeluargaan. Dalam konteks ini, koperasi dan usaha kooperatif menjiwai perilaku ekonomi perorangan dan masyarakat.
5)    Adanya keseimbangan yang harmonis, efisien dan adil antara perencanaan nasional dengan otonomi yang luas, bebas dan bertanggung jawab menuju terciptanya keadilan sosial.

Mubyarto dan Para Pengikutnya
Pikiran-pikiran kritis dari para ekonom UGM ini, yang sebagian besar juga belajar ilmu ekonomi di AS mendapatkan sambutan dan hangat dari masyarakat Indonesia, tetapi disambut dingin oleh pakar-pakar ekonomi UI. Pakar-pakar ekonomi UGM yang waktu itu sangat kompak mendukung konsep Ekonomi Pancasila ini akhirnya tercerai berai setelah pidato kenegaraan presiden Ri 16 agustus 1981 yang menuduh para ekonom UGM mencari-cari atau pemikiran-pemikiran ekonominya dianggap ngawur atau ngalor ngidul.

Mubyarto tidak sendiri. Dengan beberapa pengikut (mohon maaf kalau padanan kata pengikut dirasa kurang tepat) atau rekan ia memimpin Pusat Studi Pancasila Universitas Gadjah Mada. Berikut ini nama namanya: Poppy Ismalina (dosen Feb UGM dan PD2EB FEB UGM), Dumairy (kini direktur Shariah Center FEB UGM), Edy Suandi Hamid (kini rector UII), Endang Sih Prapti (Dosen FEB UGM), Hudiyanto (mohon maaf penulis kurang mengetahui), Mardiasmo (dosen feb UGM dan pajak), revrisond baswir (dosen FEB, mantan ketua Pustek pasca Pak Muby) dan ada beberapa dosen dari luar seperti Sri Edi Swasono (UI) Dawan Rahardjo dan Bayu Krisnamurthi).

Selain pusat studi ekonomi pancasila, kini hadir ditengah tengah kita Mubyarto Institute yang diketuai oleh seorang dosen Ekonomi, Fahmy Radhi. Suatu hal yang berharga yang harus disyukuri. Karena menurut seorang dosen, ilmu pengetahuan akan berkembang ketika ada sebuah diskursus antara tesis-hipotesis dan antithesis antara satu dengan lainnya. Setidaknya pemikiran seorang Mubyarto menambah khasanah ilmu pengetahuan ekonomi diantara pro dan kontranya. Adu argumentasi ini juga lazim di manapun.Coba simak tulisan sebuah media. Edisi November 2008 dari Dar Eastern Economic Review mengangkat tema besar berjudul ‘we are all Keynesians, again!” sementara edisi 15-21 November 2008, The Economist mengangkat tema “Redesigning global finance”. Kedua majalah yang menunjukan perbedaan arus pemikiran ekonomi antara Keynesian dan neo-klasik.

Kembali ke Mubyarto. Mubyarto dan rekan juga seringkali ‘disangka’ hanya bermain pada tataran teori. Namun kita tak boleh lupa, IDT atau inspres desa tertinggal adalah produk seorang Mubyarto semenjak ia menjabat di Bapennas. Memang Ia dkk tak sekedar kata. 

Dibuku Teori Ekonomi dan Kemiskinan seorang Mubyarto berharap bahwa ada sisa-sisa idealisme para pakar ekonomi UGM agar dapat diandalkan. Mubyarto selalu ingat Sebuah syair (nyanyian) dari Brazil ketika memperjuangkan ekonomi Pancasila, yang oleh sebagian kalangan Mubyarto dituding hanya bermimpi indah dengan Ekonomi Pancasilanya “When we dream alone, It is just a dream, When we dream together, It is the dawn of reality.” Promotor dan pemikir Ekonomi Pancasila ini memang patut diteladani. Ia meyakini bahwa ilmuwan tidak seharusnya berdiam di menara gading. Baginya, ilmu merupakan sarana untuk memajukan umat manusia. Maka seorang Muby pun bertekad mendedikasikan hidupnya bagi kemajuan kemanusiaan, terutama bagi yang lemah, miskin, dan terpinggirkan. Lalu kini siapa yang melanjutkan cita-cita pak Muby? entahlah.

(Tulisan ini tidak begitu mendalam, Cuma ngeliat dari beberapa buku, belum pernah bertemu langsung dengan pak Muby, tapi pemikirannya banyak ada dimana mana, buku dan internet. Selamat membaca pemikiran pak Muby lainnya di buku dan sumber lainnya)

*Tulisan ini dari berbagai sumber. Tulisan didedikasikan karena menulis pemikiran seorang Mubyarto telah menyelamatkan nilai mata kuliah sejarah pemikiran ekonomi saya. Dari B- ke B+. lumayan. Hehe…

Saturday 12 March 2011

Pedagang Kaki Lima (PKL) di mata alumni Universitas Gadjah Mada?

Kalau Anda sedang berada di Solo, sebutlah nama Joko Widodo (Jokowi) kepada setiap pedagang kaki lima (PKL) yang Anda temui. Anda akan memperoleh jawaban lugas: Walikota Solo. Kalau Anda bertanya bagaimana dia mengenal Jokowi, jawabannya sunggung mengejutkan: Bagaimana tidak kenal, Jokowi adalah pembela PKL!

Sebelumnya, setelah menjadi walikota Solo masalah yang terbesar yang dihadapinya adalah penataan PKL, sebab sekalipun Solo hanya sebuah kota kecil, ia punya 5.817 PKL. Angka ini tergolong besar untuk ukuran sebuah kota dengan luas 44,04 km persegi. Singkat cerita, PKL terpaksa direlokasi.

“Waktu itu saya berpikir keras, memutar otak, bagaimana memindahkan mereka tanpa tindakan kekerasan. Saya tidak mau menggunakan cara-cara kasar, memanggil satpol PP kemudian mengejar-ngejar seperti penjahat serta merusak lapak-lapak mereka. Mereka itu bukan sampah, tetapi potensi kota, bukan pula musuh yang mengganggu. Saya ingin memberi mereka kesempatan mengembangkan usaha secara terhormat dan manusiawi”

Sikap Jokowi terhadap PKL tidak terlepas dengan kondisi lingkaran awal dirinya. Dia ingat bahwa dulu dia juga berangkat dari PKL. ‘Saya kan dulu juga berangkat dari masyarakat kelas bawah, pedagang kaki lima juga’. Jokowi mengumpulkan 989 pedagang yang tergabung dalam 11 paguyubabn di Banjarsari dan mengajak mereka makan bersama. “Saya ajak makan siang, makan malam bersama sampai 54 kali, itu berlangsung selama tujuh bulan. Hanya makan bersama-sama tanpa dialog. Baru pada saat makan bersama yang ke-54 kalinya saya bilang bahwa mereka akan dipindahkan. Tidak ada yang membantah waktu itu.”

Juli 2006 para PKL pindah dari Banjarsari ke pasar Klithikan, Notoharjo. Relokasi itu nyaris tanpa gejolak. Pindah dengan sukarela. Mereka merayakan kepindahan itu dalam sebuah kirap yang dikawal oleh prajurit kraton berpakaian lengkap. Pada saat relokasi itu, para PKL mengenakan pakaian adat Solo. Mereka membawa seribu tumpeng sebagai symbol kemakmuran. Mereka malah menjadikan acara itu sebagai peristiwa budaya dan sejarah sehinga masuk rekor Musium Rekor Indonesia (MURI). Tidak lama berselang, para PKL minta kios secara gratis kepada Jokowi. Permintaan ini diteruskan kepada DPRD Solo yang akhirnya disetujui ‘Para PKL tidak mengeluarkan sepeser pun untuk kios barunya. Sebagai gantinya, mereka harus membayar retribusi sebesar Rp 2.600 per hari. Dengan cara seperti itu modal pemerintah Rp 9,8 miliar bisa kembali dalam waktu 8 ½ tahun.

Jokowi juga menata 180 pedagang di depan Stadion Manahan. Jokowi membuatkan mereka shelter dan gerobak. Jokowi juga menertibkan para PKL yang menempati pasar kembang dan pasar Nusukan. Pasar tersebut sudah rapi, bersih dan menarik untuk dikunjungi. Hingga tahun 2008 52% dari 5718 PKL sudah berhasil di tata Jokowi. Para PKL ini ternyata menjadi penyumbang terbesar pendapatan asli daerah (PAD). Tahun 2008, nilai pajak dan retribusi sektor ini mencapai Rp 14,2 miliar, jauh lebih besar dibandingkan dengan hotel Rp 4 miliar atau terminal yang hanya bernilai Rp 3 miliar. Jokowi juga sudah berhasil menata 12 pasar tradisional tetapi memiliki ruang hijau terbuka. Dalam beberapa kunjungannya ke beberapa kota di Hongkong dan Cina, dia melihat bahwa pengunjung pasar tradisional lebih banyak dibandingkan dengan pengunjung mal.

Jokowi mengatakan bahwa para PKL bersedia ditata sepanjang mereka memperoleh pengertian yang benar dan informasi yang lengkap. “Bukan dengan cara yang tidak benar, dihancurkan sumber penghidupannya. Sekali kita hancurkan matapencaharian mereka, hancur semua kehidupan keluarganya.” Tambah Jokowi.

(Sumber: disarikan dengan beberapa perubahan tulisan tanpa mengubah isi dan makna, dari buku Jurus Lulusan UGM Memajukan Masyarakat, walau tulisan di buku yang diterbitin oleh humas UGM (mungkin) diambil juga dari berbagai sumber di internet, coba aja cek di mbah google, ampir mirip nih tulisan....hehe... tapi nggak tau deng yang awal yang mana... )

                                                                                                               ***
Sepertinya Jokowi sadar betul, sama seperti sadarnya Muhammad Yunus dalam tulisannya the poor as the engine of growth. Apalagi sebagai pemerintahan, selain sisi dari penerimaan PAD, Jokowi merasakan bahwa PKL membawa berkah, Jokowi di pilwakot Solo 2010 menang 90,09 persen berpasangan FX Hadi Rudiatmo. Pasangan yang diusung PDIP, PKS dan PAN mendapat 248.243 suara, jauh mengungguli pesaingnya, pasangan yang diusung Partai Demokrat dan Partai Golkar.Pasangan Edy Wirabhumi-Supradi Kertamenawi kalah telak karena hanya memperoleh  27.306 suara (9,91%).dimana partisipasi masyarakat yang cukup tinggi yaitu 71,80%. mungkin sadar atau tidak, ternyata wong cilik bisa juga sebagai the engine of victory... :)

Sebagai tambahan informasi, Jokowi selama menjabat walikota tidak pernah mengambil gaji nya (pemberitaan yang ramai dibicarakan setelah SBY menurut media meminta kenaikan gaji), wajar saja karena Jokowi yang lulusan fakultas Kehutanan UGM, Jokowi punya PT Rakabu, eksportir mebel ke mancanegara. Jokowi pernah bekerja pada BUMN di Aceh selama 2 tahun. Jokowi juga sebagai Pendiri Koperasi Pengembangan Industri Kecil Solo (1990) - Ketua Bidang Pertambangan dan Energi Kamar Dagang dan Industri Surakarta (1992-1996) - Ketua Asosiasi Permebelan dan Industri Kerajinan Indonesia Surakarta (2002-2007)-Wali Kota Surakarta (2005-2010)

Jokowi beserta FX Hadi Rudiatmo (ketua Ketua Umum Persis Solo dan Ketua Pengurus Cabang PSSI di Surakarta), juga mengijinkan perhelatan pembukaan Liga Primer Indonesia di stadion Manahan Solo. Yang pada akhirnya, Pengcab PSSI Solo dikenakan sanksi oleh Nurdin Halid dan Grandfa Nugraha Besoes. Hehe…. Pada akhirnya Jokowi mengingatkan kita dengan perkataan John Baldoni ‘So in every real sense, leadership effectiveness both for president and for anyone in a position of authority, depends to a high degree upon good communication skills’ berkomunikasi tidak perlu dengan kekerasan atau juga berorasi, menunjukan rasa empati, bertemu langsung dan mengundang makan para PKL menjadi gaya komunikasi sendiri seorang Jokowi… ^^


* Pojok perpus FEB, 7 maret 2011, 19:48 dengan berbagai sumber dan edit-an...

Tuesday 8 March 2011

Inspirasi Sudanto, Prof Koesnadi, dan Anies Baswedan! lalu Apa Kata Robert McNamara, Bibit Waluyo dan Indra Hg?

Usianya sudah lanjut, yakni 67 tahun. Namun semangatnya untuk mengabdi ke masyarakat tak pernah surut. Dialah Dokter FX Sudanto. Dan bagi warga Abepura, Papua, dia biasa disebut dengan julukan 'Dokter Rp 2000'. Lebih dari 30 tahun Sudanto mengabdikan hidupnya sebagai dokter di Abepura. Untuk berobat kepadanya, warga tak perlu mengeluarkan banyak duit. Cukup Rp 2000. Bahkan kalau memang tidak punya uang sama sekali, gratis pun jadi. Karena itulah Sudanto terkenal dengan panggilan 'Dokter Rp 2000'.

Sudanto memang sudah pensiun sejak tahun 2003. Meski demikian, dia tetap membuka praktek di rumahnya di distrik Abepura. Dia merasa, tenaganya masih dibutuhkan warga."Kalau dibilang capek, ya capek. Tapi ini pengabdian dan masyarakat di sana masih membutuhkan," kata Sudanto usai menerima penghargaan Alumni Award atau penghargaan bagi insan UGM berprestasi di Gedung Graha Sabha Pramana (GSP) Universitas Gadjah Mada (UGM) di Bulaksumur, Yogyakarta.

Menurut Sudanto, setiap harinya warga yang datang berobat sekitar 100. Jumlah itu bisa bertambah menjadi dua kali lipat bila sehabis liburan. "Jam praktek biasanya mulai jam 7 pagi hingga sore. Tapi kalau masih banyak bisa sampai malam," ujar Sudanto. Sudanto mengabdikan diri di Papua begitu lulus dari Fakultas Kedokteran Umum (FKU) UGM tahun 1976. Saat itu, FKU UGM masih di kompleks Ngasem, Kraton bukan di Bulaksumur seperti sekarang ini. Setelah lulus, Sudanto mendaftarkan diri ikut program Dokter Inpres. Dia kemudian ditempatkan di wilayah Asmat Irian Jaya (Papua). Selama 6 tahun hingga 1982 dia bertugas di Asmat dengan melayani 4 kecamatan terpencil.

Wilayah tugasnya benar-benar di pedalaman. Setiap hari Sudanto harus berjalan kaki keluar masuk hutan dan rawa untuk menjangkau satu desa ke desa lainnya. Pasiennya banyak yang tak mampu membayar jasanya dengan uang. Mereka hanya membayar dengan sagu, rempah-rempah atau kayu bakar dari hutan."Pasien paling banyak menderita malaria akut, infeksi saluran pernafasan, serta kurang gizi," kata pria kelahiran Karanganyar, Kebumen, Jawa tengah, 5 Desember 1942 itu.

Sudanto menjadi dokter Inpres sampai tahun 1982. Selanjutnya dia bertugas di Rumah Sakit Jiwa (RSJ) Abepura hingga pensiun pada tahun 2003.Setelah pensiun, ayah lima anak ini membuka praktek pengobatan di rumahnya di Abepura. Dia juga mengajar di Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) Universitas Cenderawasih (Uncen) Jayapura hingga sekarang. Termasuk juga mengajar di program studi Pendidikan Jasmi dan Kesehatan (Penjaskes) FKIP Uncen serta beberapa perguruan tinggi swasta di Jayapura.

Sudanto praktik mulai pukul 07.00 WIT hingga 12.00 WIT. Pasien hanya membayar biaya periksa. Sedang obat-obatan, alat suntik dibeli pasien di apotek yang terletak didekat tempat prakteknya."Hanya memeriksa kondisi pasien saja. Banyak pasien yang merasa sudah sembuh setelah diperiksa. Semua obat yang ada adalah obat generik," pungkas suami dari Elisabeth S, perempuan keturunan Ambon-Manado.Penghargaan terhadap Sudanto diberikan dalam rangka Dies Natalis ke-60 UGM. Dalam kesempatan itu, UGM memberikan penghargaan terhadap 90 orang berprestasi. 5 Di antaranya adalah pengabdi di daerah miskin dan terpencil.

                                                                                                 ***
Kisah inspirasi luar biasa. sama seperti kisah Prof Dr Koesnadi Hardjasoemantri, yang dikenal pelopor program KKN (dulunamanya Pengerahan Tenaga Mahasiswa, PTM, PTM juga dikisahkan bisa mendirikan SMA) dan Beliau mendirikan gelanggang mahasiswa UGM (makannya ampir tiap tahun dia dikenang oleh anak anak gelanggang). Beliau dikisahkan juga pernah beberapa tahun mengajar di daerah Kupang tahun 1950an dengan 8 orang angkatan pertama PTM, (sambil membayangkan Kupang di tahun 1950an). Habis dari sana, Beliau bawa 3 orang paling cerdas ke UGM. salahsatunya Adrianus Mooy, yg akhirnya jadi salahsatu Gubernur Bank Indonesia. Kisah yang akhirnya menginspirasi Anies Baswedan--lulusan FEB UGM yang dalam beberapa kesempatan lulusnya lama dan tidak cumlaude (kalo nggak salah...hehe_--. Dia buat Indonesia Mengajar, 51 orang sarjana terbaik dah berangkat, selama 1 tahun hidup disana (sambil membayangkan susahnya).

Nasihat Robert McNamara (1984), mantan president World Bank, sebanyak apapun skala ekonomi yang diciptakan di kota, akan terlihat kerdil dari biaya sosial yang besar kayak kemacetan, dan masalah sosial yang lain... "bali ndeso, mbangun deso" begitu kata Bibit Waluyo saat janji kampanye nya... hehehe


*banyak juga cerita inspirasi, kisah yang inspiratif yang bisa dijadikan buku dan semangat lulusan-lulusannya. agar tak melulu mau ke kota. walau tidak salah. hehe... bayangkanlah kehidupan di desa, seperti cerita cerita FTV, sejuk, adem, tenang, damai, dingin, ada gunung, banyak pohon, dikit polusi, aer bersih, g banyak nyamuk... (walau kata temen saya, cerita FTV itu menjual mimpi.... hehehe... walau ditonton juga....)


dikumpul dari berbagai sumber...

Wednesday 2 March 2011

Kuning, Merah dan Biru di PSSI

Hanya segelintir orang pernah mendengar nama perusahaan Titanium Metals (TIMET). Perusahaan ini didirikan pada tahun 1950, terutama bergerak dibidang produksi logam titanium untuk bahan pesawat udara, kapal selam, roket dan peluru kendali yang dibutuhkan AS dalam perang dingin TIMET kini terutama memasok industri pesawat udara. Bisnis ini tidak gemerlap dan TIMET pun bukan sebuah perusahaan yang gemerlap. Timet merupakan perusahaan terkecil di antara 500 perusahaan public Amerika yang terdaftar di dalam indeks S&P 500. Pada tahun 2008, perusahaan ini menghasilkan pendapatan kotor US$ 1,15 miliar dan laba operasional US$ 220 juta. TIMET yang bermarkas di LBJ Freeway di kota Dallas, bukan sebuah bisnis besar. Sebagai perbandingan pada tahun 2008, perusahaan terbesar di dalam S&P 500, raksasa minyak Exxon membukukan pendapatan kotor 400 kali lebih besar dari TIMET. Tetapi dibandingkan dengan klub sepakbola manapun, si TIMET begitu tampak kolosal. Bandingkan dengan Real Madrid (Klub terkaya dimuka bumi 2009) yang pendapatan kotornya US$ 475 juta. Tidak sampai setengah pendapatan TIMET dan kurang dari seperibu pendapatan Exxon. Bagaimanapun cara anda mengukurnya, tak ada klub sepakbola yang dapat dikatakan bisnis besar? Jika anda tidak percaya, Penulis buku itu mengajak anda untuk mengunjungi markas besar UEFA DI kota Nyon Swiss, markas yang hanya seukuran perusahaan asuransi kecil. Ternyata sepakbola adalah bisnis kecil.

Semua itu cerita diatas ada di buku yang menarik, judul besarnya Soccernomics dibagian ke IV ‘Bisnis terburuk di dunia: mengapa klub klub sepakbola tidak (dan seharusnya tidak) menghasilkan uang’. Buku itu dikarang oleh 2 orang: Stefan szymanski dan simon kuper. Szymanski itu profesor ekonomi, dia ketua program MBA di Cass Business School London.  Simon Kuper seorang wartawan, dia tinggal di Paris. Buku  ini dibuat setelah mereka berdua bertemu disebuah seminar ulang tahun ke-100 klub fenerbahce Turki ‘100th year sports and science congress’. Seminar yang kayak gini yg ampir g pernah diselenggarakan ama PSSI apalagi ama klub sepakbola?

Lalu bagaimana dengan Indonesia? Apalagi Indonesia. Hehe… coba liat klub-klub sepakbolanya saja masih mengandalkan APBD. Dikasih dana, namanya dana hibah. Dana hibah mana ada yang untung? Dana hibah itu dari sananya harus habis. Malah bingung kalo dana itu gak habis. Mirip kayak dana APBN atau APBD yang gak habis, bingung, lalu polanya dibuat program ini dan itu yang kadang g jelas. Sekarang nih kita ngomongin untung-rugi. Bukan dampak ekonomi. Kalo ttg dampak ekonomi sepakbola silakan baca tulisan sebelumnya. Kalopun berdampak, maka dampaknya mikro, kecil: karena dana miliaran APBD yang dikeluarin g ada apa-apanya kalo dibandingkan dengan Pendapatan Daerah atau nasional yang ampe seribuan triliun (nasional) atau triliun (daerah). Makannya g usah mempertanyakan dana APBD sepakbola untuk apa, gmana, apa hasilnya? Hehe… #canda#

Lalu gimana dengan klub di Liga Primer Indonesia gagasan Arifin Panigoro yang menggunakan dana sponsor. Di LPI setiap klub dapat dana pinjaman, 15-40 miliar dan dalam 3-5 tahun harus dikembalikan. Saya kok ragu, klub-klub LPI bisa mengemblikan duitnya, walaupun harus dibuktikan 3-5 tahun mendatang. Kalo diliat skrg tambah ragu, dapat untung darimana klub sepakbola LPI? Penonton? Meragukan. Paling Cuma persebaya 1927 (Bonek), Persibo Bojonegoro (Boromania), Bali Dewata (mungkin), SOLO FC (Pasoepati), yang selalu disaksikan oleh puluhan ribu penonton. Klub yang lain? Penontonnya aja sedikit, coz daerahnya itu punya dua atau lebih klub sepakbola yang berlaga di PSSI dan jg LPI. Abis dah tuh duit buat Cuma nonton bola. Dari sponsor ama hak siar? Mungkin juga sih, tapi saya masih ragu kalo klub bisa untung dan balikan pinjaman. Cos duitnya abis buat bayar gaji semacam Irfan Bachdim (Persema Malang), Fortes (Semarang United), Lee Hendrie (Bandung FC) yang (mungkin) nyentuh angka 1 miliar lebih per musim.

Trus kok bisa skrg sepakbola jadi ajang yang bgtu menarik bagi beberapa orang? Nurdin Halid, Nirwan Bakrie, George Toisutta, dan Arifin Panigoro siap jadi ketua PSSI. Jelas dalam hal ini dorongan motif ekonomi kecil buat Nirwan Bakrie yang mending ngurus bisnis keluarga yang lebih menguntungkan, jg Arifin Panigoro juga mungkin rela g digaji di PSSI, gaji George mungkin jg lebih bsar di KSAD dan NH mending jadi anggota dewan gajinya jelas gede belum fasilitas (Tapi boleh jadi kalo buat Pengda PSSI di daerah, jadi pengurus PSSI juga didorong motif ekonomi, dapat gaji, happy, nonton gratis… huuu… #ngiri…hahaha#). Trus Kok bisa keluarga Bakrie nyumbang 25 hektare di jonggol buat lapangan latihan timnas, trus biayai tiap bulan program pemain di Uruguay yg dikirim PSSI? Padahal sepakbola bukan bisnis yang menguntungkan.

Whateverlah….. yang pasti….  Nih orang-orang yang terlibat di massa menjelang Kongres PSSI:

Golkar: Nurdin Halid, Keluarga Bakrie, Nugraha Besoes
PDIP: Syarif Bastaman, Trimedia Pandjaitan (Tim komisi pemilihan ketum PSSI yang akhirnya menggugurkan George Tuisutta dan Arifin Panigoro) dan Prof Gayus Lumbun (anggota komisi banding yang menggugurkan NH dan Nirwan Bakrie, dan menolak banding GT dan AP)
Demokrat: Achsanul Qosasi (Bendahara), Hinca Pandjaitan dan alm. Adjie Masaid (mantan manager timnas u-23)
Nah, ternyata di PSSI ada Kuning, Merah, Biru…………… ada lagi? Hehe…


Tuesday 1 March 2011

Jose Mourinho, Fahri Hamzah, Sri Mulyani dan Nurdin Halid.

Jose Mourinho, seorang pelatih terkenal dengan sederet prestasi selama menjadi pelatih namun dengan rekor sederhana selama menjadi pemain. The Special One, Jose Mourinho berkata “saya pikir tidak ada hubungannya. Dokter gigi saya adalah yang terbaik di dunia, dan setahu saya itu bukan karena dia pernah menderita sakit gigi yang luar biasa dahulunya.” Seperti kita ketahui bersama, Mou mendapatkan beberapa gelar juara liga champions eropa bersama FC Porto dan Inter Milan, gelar liga bersama Chealsea dan kini ia melatih klub Real Madrid.

Kisah yang hampir mirip dengan seorang Fahri Hamzah. Politisi DPR RI lulusan akuntansi Universitas Indonesia yang membuat buku tahun 2010 ‘Negara, Pasar dan Rakyat: Pencarian Makna, Relevansi dan Tujuan’ dan buku tahun 2007 ‘Negara, BUMN dan Kesejahteraan Rakyat’. Semua buku yang seharusnya lebih ‘berhak’ ditulis oleh sarjana-sarjana Ilmu Ekonomi/Studi Pembangunan. Apalagi jika melihat seorang Fahri Hamzah yang duduk di komisi 3 DPR RI bidang hukum, bukan bidang ekonomi yang seharusnya lebih mendekati.

Tapi bukan disana problem utamanya. Problem utamanya adalah diri kita yang kadang tidak mau tahu apa yang dikatakan, disampaikan dan dilakukan oleh orang lain. Sama halnya ketika kita langsung menstempelkan cap neolib kepada Sri Mulyani tanpa pernah mau tahu pemikirannya atau membaca tulisan-tulisannya? Atau kita yang tak pernah mau mengetahui isi tulisan ‘Cacing dan Kotoran Kesayangannya’ karangan Ajahn Brahm yang dianggap berbeda walaupun ada nilai universal di dalamnya? Kadang kita memang tak adil dalam menilai seseorang atau mungkin memang tak mungkin bisa adil. Dan atau mungkin memang tak akan ada kata netral di dalam hidup ini.

Pun sama halnya sikap kita yang (mungkin) membenci Nurdin Halid. Tak harus mengurangi rasa keadilan kita dalam bersikap terhadapnya, terutama mendengarkan apa katanya, setelah itu Anda mengambil sikap tidak suka dan membencinya itu jauh lebih baik ketimbang membenci tanpa tahu perkaranya.

Tulisan ini sedang tidak ingin membela Jose Mourinho, Fahri Hamzah, Sri Mulyani dan Nurdin Halid. Saya hanya ingin tulisan ini mengingatkan kembali setidaknya diri ini seharusnya senantiasa mencari tahu informasi walaupun mungkin informasi selalu berwujud asymmetric. Toh ini jauh lebih elegan…