"Ternyata tulisan ini sudah dimuat di kolom oposan, ole nasional, tabloid BOLA" :)
Tanggal 8 Januari 2011 lalu menjadi ajang pembukaan Liga Primer Indonesia (LPI) antara Persema Malang melawan Solo FC di stadion Manahan Solo. LPI sendiri merupakan kompetisi sepakbola baru di Tanah Air yang digagas oleh seorang Chief Executive Officer (CEO) Medco, Arifin Panigoro. LPI yang menerapkan sistem kompetisi penuh (double round robin) dan diikuti oleh 19 klub profesional ini bertujuan untuk menciptakan citra sepakbola Indonesia yang bersih, modern, profesional dan mandiri. Setiap klub sepakbola yang bermain di LPI tidak lagi mengandalkan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) namun mendapatkan kucuran dana dari pengusaha pengusaha di dalam konsorsium LPI berkisar 15-40 miliar tiap klub dan selama 3-5 tahun klub klub harus sudah dapat mengembalikan pinjaman itu.
Kehadiran LPI tentunya dapat menjadi contoh baru bagi persepakbolaan di Indonesia. Selama ini, klub klub sepakbola di Indonesia sangat bergantung kepada Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD). Ada sekitar 10-40 miliar dana APBD yang digunakan untuk pendanaan klub klub sepakbola di Indonesia. Selama ini klub klub sepakbola Indonesia sangat bergantung kepada APBD. Sebandingkah dana miliaran rupiah yang dikeluarkan dengan keuntungan yang didapatkan pemerintah daerah dari keberadaan klub sepakbola yang didanai APBD?
Belum ada penelitian yang cukup signifikan terkait dampak ekonomi dari keberadaan klub klub sepakbola di Indonesia. Namun jika kita merujuk dengan menggunakan hitung hitungan secara sederhana untung-rugi, adakah klub sepakbola yang mendapatan kucuran APBD mencatat keuntungan dilaporan keuangannya? Artinya jika tidak untung berarti rugi. Kalaupun ada keuntungan ekonomi, itu tidak tercatat, efek dominonya tidak terlalu besar dan hanya dinikmati oleh pihak pihak tertentu, minoritas. Itupun jika sepakbola berjalan normal tanpa kerusuhan suporter yang dapat memperparah kerugian ekonomi. Namun harus diakui penggunaan APBD untuk sepakbola bisa dimanfaatkan untuk keuntungan politik, happiness dan atau kebanggan masyarakat akan daerahnya.
Save Our Soccer
Secara legal formal sebenarnya sudah ada larangan klub sepak bola mendapat dana APBD secara langsung dalam Peraturan Pemerintah No.58/2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah dan Permendagri No. 13/2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah. Selain itu, pada 2007 ada Surat Edaran Mendagri No. 903/187/SJ tentang larangan penggunaan dana APBD untuk klub sepak bola. Namun di tahun 2010 ini dicabut dengan Surat Edaran Mendagri No. 426 Tahun 2010 dimana penggunaan APBD untuk sepakbola dibolehkan asal melalui Komite Olahraga Nasional Indonesia.
Sepakbola bukan sekedar olahraga namun ia adalah alat revolusi. Kini kehadiran LPI merupakan batu loncatan, atau pengingat bagi PSSI untuk menyelamatkan sepakbola di negeri ini dan menyelamatkan penggunaan APBD di Indonesia. Sebenarnya menjadi tidak masalah penggunaan APBD untuk sepakbola. asalkan paling tidak memenuhi beberapa kriteria. Pertama, Kepala Daerah, Walikota atau Gubernur seharusnya menjalankan skala prioritas di dalam penggunaan anggaran, para pemimpin daerah harus mengetahui sektor mana yang menjadi unggulan dan prioritas pembangunan daerah yang mampu memberikan dampak ekonomi yang luas. Skala prioritas ini penting karena pembangunan tidak pernah menunggu. Ia akan terus berjalan dan akan dilihat sejauh mana keberhasilan pemerintah daerah di dalam mensejahterakan rakyatnya. Bukankah sektor lainnya juga membutuhkan dana, termasuk cabang olahraga lainnya?
Kedua, penggunaan APBD harus bisa dipertanggungjawabkan penggunaannya kepada publik, bukan lagi dari pos dana hibah yang lebih sering tidak dipertanggungjawabkan. Tentunya kita pun berharap, bahwa managemen klub klub sepakbola diisi oleh orang orang profesional yang mampu mempertanggungjawabkan dan mengelola klub sepakbola. Terakhir, menyelamatkan sepakbola Indonesia bukan hanya sekedar perdebatan perlu atau tidaknya penggunaan APBD. Namun seluruh elemen di dalam sepakbola, mulai dari pengurus PSSI, LPI, wasit, politikus harus juga mengetahui posisi masing masing dan tidak memperburuk persepakbolaan di Indonesia. Suporter juga harus bisa berdamai satu dengan lainnya, karena kerugian ekonomi dari ulah suporter hanya akan memperburuk perekonomian dan sepakbola di Indonesia. Save our soccer!
No comments:
Post a Comment