Meminjam pendapat seorang ekonom asal Inggris, Profesor Dudley Seers
(1973) yang mengatakan bahwa keberhasilan pembangunan ekonomi dapat diukur
melalui jawaban atas beberapa pertanyaan berikut: What
has been happening to proverty? What has been
happening to unemployment? What has been to inequality? Lalu
setelah sistem kapitalisme dan sosialisme tidak mampu menjawab pertanyaan
tersebut, mampukah sistem ekonomi syariah menjawabnya sebagai tolak ukur sebuah
negara dengan perekonomian ideal?
Sejarah pernah mencatat bahwa Adam Smith menuliskan di dalam bukunya The Wealth of Nation (1776) jilid ke lima bab
pertama dimana Adam Smith membandingkan antara masyarakat Eropa yang
perekonomiannya terbelakang dengan masyarakat Arab yang pada waktu itu
perekonomiannya maju. Masyarakat Arab yang Adam Smith maksudkan adalah
masyarakat yang dipimpin oleh Mohammet
and his immediate succesors (Karim, 2001). Sejarah juga pernah
mencatat bagaimana kisah pada masa Khalifah Umar bin Abdul Azis tidak ada satu
pun masyarakat yang bersedia menerima zakat. Sebuah fenomena langka yang pernah
terjadi beratus-ratus tahun lalu.
Menurut hemat penulis, ada 3 catatan
(prasyarat) penting menuju negara ideal. Pertama,
catatan negara ideal di dalam tataran mikro dan makro perekonomian sebuah
negara. Di dalam tataran ekonomi mikro dan makro maka ada beberapa nilai
bangunan negara ideal berlandaskan ekonomi syariah: tauhid (keimanan), ‘adl
(keadilan), nubuwah (kenabian), khilafah (pemerintahan), dan ma’ad (imbalan/ganjaran).[1]
Nilai tersebut harus didukung oleh prinsip ekonomi syariah: multiple ownership (kepemilikan
multijenis), freedom to act
(kebebasan bertindak), dan social justice
(keadilan sosial) yang didukung prilaku Islami. Akhlak islami yang dimaksudkan
adalah prilaku menghindari transaksi yang dilarang di dalam perekonomian yakni tadlis (penipuan); gharar/uncertainty
seperti berjudi (maisyr) atau sistem
ijon; riba dan persaingan yang tidak sehat/monopoli/penimbunan (ikhtikar) (Karim, 2004) serta melakukan
transaksi sesuai syariat misalnya berzakat sebagai alat distribusi pendapatan.
Kedua,
catatan gambaran ideal terkait dengan sektor fiskal, moneter dan rill. Catatan
ini berangkat dari pandangan kapitalisme yang salah memandang fungsi kapital. Kapital
selama ini dipandang sesuatu yang berdiri sendiri yang akan menghasilkan
kapital kembali (kapitalisasi kapital). Padahal menurut Adam Smith dalam The Wealth of Nation (1776) yang
memperkenalkan tentang konsep ‘kapital’ sebagai bentuk pemanfaatan pendapatan
yang menghasilkan nilai tambah dengan menempatkannya pada kegiatan-kegiatan
yang produktif dan bukan ditimbun didalam lemari harta atau diperam di bawah
alas tidur.[2]
Jauh sebelum Adam Smith, seorang ilmuan Muslim Ibn Khaldun (1332 M-1406/ 732
H-808 H) telah merumuskan superneutrality
of money dengan mengatakan bahwa kekayaan suatu negara tidak ditentukan
oleh banyaknya uang yang dimilikinya. Namun ia ditentukan oleh berapa besar
kemampuan negara itu memproduksi barang dan jasa, serta efisiensi negara
tersebut dalam memproduksi.[3]
Secara
sederhana sebenarnya fungsi produksi Cobb-Dauglass telah mengajarkan bahwa
kesejahteraan suatu bangsa yang tercermin dari tingkat produktifitas dalam
menghasilkan produk barang dan jasa (produksi) dipengaruhi paling tidak
sedikitnya 2 fungsi produksi yakni kapital (Capital)
dan tenaga kerja (Labour). Artinya,
kapital yang diidentikan dengan modal atau uang seharusnya bisa dipertemukan
dengan tenaga kerja yang mencerminkan sektor riil untuk menghasilkan
produktifitas positif bukan kapitalisasi kapital yang menimbulkan bubble economy. Sehingga kesimpulan di
catatan ke dua ini adalah bahwa negara ideal yang menerapakan ekonomi syariah
adalah negara yang mampu mensinergikan sektor fiskal dan moneter dengan
orientasi sektor rill sebagai cerminan produktifitas masyarakat suatu negara.
Ketiga,
gambaran holistik suatu negara ideal menurut Ibn Khaldun. Catatan ini dilandasi
bagaimana memposisikan ekonomi syariah dalam delapan prinsip (kalimat hikamiyat) Ibn Khaldun. Konsepsi
pelaksanaan ekonomi syariah sedianya harus didukung oleh kekuatan kedaulatan (al-mulk) dimana syariah tidak dapat
diimplementasikan tanpanya. Kedaulatan tak akan memperoleh kekuatan kecuali
bila didukung oleh sumber daya manusia (ar-rijal).
Ar-rijal tidak dapat dipertahankan
kecuali dengan harta benda (al-mal). Al-mal tidak dapat diperoleh kecuali
dengan pembangunan (al-imarah). Al-imarah tidak dapat dicapai kecuali
dengan keadilan (al-‘adl). Al-‘adl merupakan tolak ukur (al-mizan) yang dipakai Allah
mengevaluasi manusia. Kedaulatan mengandung tanggung jawab untuk menegakan
keadilan (Chapra, 2001:126).
Jadi,
gambaran negara ideal adalah: (1) Negara yang masyarakat secara individu
(mikro) maupun bernegara (makro) melaksanakan prinsip dan nilai ekonomi syariah
dengan cerminan prilaku ekonominya. (2) Negara yang selalu memposisikan kapital
sesuai tempatnya sehingga terjadi sinergitas antara fiskal dan moneter yang
mendukung sektor rill. (3) Negara yang mentransformasikan kalimat hikamiyat Ibn Khaldun dalam kehidupan bernegara. Sehingga
konsekuensi logis dari ketiga poin tersebut adalah terciptanya good government governance yang mampu
menjamin kesejahteraan rakyatnya dengan mengurangi pengangguran, kemiskinan serta
mampu mendistribusikan zakat serta pajak sebagai upaya meniadakan ketimpangan
ekonomi dan stabilisasi perekonomian.
[1]
Tauhid bermakna bahwa setiap aktifitas perekonomian dipertanggungjawabkan kepada
Allah SWT; Keadilan dimaksudkan bahwa aktifitas perekonomian tidak menzalimi
dan tidak pula dizalimi; Kenabian bermakna aktifitas perekonomian mengikuti
sifat Nabi Muhammad sidiq, amanah,
fathonah, dan tabligh; Pemerintahan menjamin bahwa perekonomian harus
berjalan sesuai dengan syariah (rules of
the game); Ma’ad berarti motivasi mendapatkan profit dunia dan akhirat
(Karim, 2003).
[3]
Karim, Adiwarman. 2006. Ekonomi Makro Islami. Edisi Kedua. Jakarta: Rajawali
Pers
No comments:
Post a Comment