Tuesday, 15 March 2011

The Ideal Sharia Economics Country

Meminjam pendapat seorang ekonom asal Inggris, Profesor Dudley Seers (1973) yang mengatakan bahwa keberhasilan pembangunan ekonomi dapat diukur melalui jawaban atas beberapa pertanyaan berikut: What has been happening to proverty? What has been happening to unemployment? What has been to inequality? Lalu setelah sistem kapitalisme dan sosialisme tidak mampu menjawab pertanyaan tersebut, mampukah sistem ekonomi syariah menjawabnya sebagai tolak ukur sebuah negara dengan perekonomian ideal?
             Sejarah pernah mencatat bahwa Adam Smith menuliskan di dalam bukunya The Wealth of Nation (1776) jilid ke lima bab pertama dimana Adam Smith membandingkan antara masyarakat Eropa yang perekonomiannya terbelakang dengan masyarakat Arab yang pada waktu itu perekonomiannya maju. Masyarakat Arab yang Adam Smith maksudkan adalah masyarakat yang dipimpin oleh Mohammet and his immediate succesors (Karim, 2001). Sejarah juga pernah mencatat bagaimana kisah pada masa Khalifah Umar bin Abdul Azis tidak ada satu pun masyarakat yang bersedia menerima zakat. Sebuah fenomena langka yang pernah terjadi beratus-ratus tahun lalu. 
            Menurut hemat penulis, ada 3 catatan (prasyarat) penting menuju negara ideal. Pertama, catatan negara ideal di dalam tataran mikro dan makro perekonomian sebuah negara. Di dalam tataran ekonomi mikro dan makro maka ada beberapa nilai bangunan negara ideal berlandaskan ekonomi syariah: tauhid (keimanan), ‘adl (keadilan), nubuwah (kenabian), khilafah (pemerintahan), dan ma’ad (imbalan/ganjaran).[1] Nilai tersebut harus didukung oleh prinsip ekonomi syariah: multiple ownership (kepemilikan multijenis), freedom to act (kebebasan bertindak), dan social justice (keadilan sosial) yang didukung prilaku Islami. Akhlak islami yang dimaksudkan adalah prilaku menghindari transaksi yang dilarang di dalam perekonomian yakni tadlis (penipuan); gharar/uncertainty seperti berjudi (maisyr) atau sistem ijon; riba dan persaingan yang tidak sehat/monopoli/penimbunan (ikhtikar) (Karim, 2004) serta melakukan transaksi sesuai syariat misalnya berzakat sebagai alat distribusi pendapatan.
Kedua, catatan gambaran ideal terkait dengan sektor fiskal, moneter dan rill. Catatan ini berangkat dari pandangan kapitalisme yang salah memandang fungsi kapital. Kapital selama ini dipandang sesuatu yang berdiri sendiri yang akan menghasilkan kapital kembali (kapitalisasi kapital). Padahal menurut Adam Smith dalam The Wealth of Nation (1776) yang memperkenalkan tentang konsep ‘kapital’ sebagai bentuk pemanfaatan pendapatan yang menghasilkan nilai tambah dengan menempatkannya pada kegiatan-kegiatan yang produktif dan bukan ditimbun didalam lemari harta atau diperam di bawah alas tidur.[2] Jauh sebelum Adam Smith, seorang ilmuan Muslim Ibn Khaldun (1332 M-1406/ 732 H-808 H) telah merumuskan superneutrality of money dengan mengatakan bahwa kekayaan suatu negara tidak ditentukan oleh banyaknya uang yang dimilikinya. Namun ia ditentukan oleh berapa besar kemampuan negara itu memproduksi barang dan jasa, serta efisiensi negara tersebut dalam memproduksi.[3]
Secara sederhana sebenarnya fungsi produksi Cobb-Dauglass telah mengajarkan bahwa kesejahteraan suatu bangsa yang tercermin dari tingkat produktifitas dalam menghasilkan produk barang dan jasa (produksi) dipengaruhi paling tidak sedikitnya 2 fungsi produksi yakni kapital (Capital) dan tenaga kerja (Labour). Artinya, kapital yang diidentikan dengan modal atau uang seharusnya bisa dipertemukan dengan tenaga kerja yang mencerminkan sektor riil untuk menghasilkan produktifitas positif bukan kapitalisasi kapital yang menimbulkan bubble economy. Sehingga kesimpulan di catatan ke dua ini adalah bahwa negara ideal yang menerapakan ekonomi syariah adalah negara yang mampu mensinergikan sektor fiskal dan moneter dengan orientasi sektor rill sebagai cerminan produktifitas masyarakat suatu negara.
Ketiga, gambaran holistik suatu negara ideal menurut Ibn Khaldun. Catatan ini dilandasi bagaimana memposisikan ekonomi syariah dalam delapan prinsip (kalimat hikamiyat) Ibn Khaldun. Konsepsi pelaksanaan ekonomi syariah sedianya harus didukung oleh kekuatan kedaulatan (al-mulk) dimana syariah tidak dapat diimplementasikan tanpanya. Kedaulatan tak akan memperoleh kekuatan kecuali bila didukung oleh sumber daya manusia (ar-rijal). Ar-rijal tidak dapat dipertahankan kecuali dengan harta benda (al-mal). Al-mal tidak dapat diperoleh kecuali dengan pembangunan (al-imarah). Al-imarah tidak dapat dicapai kecuali dengan keadilan (al-‘adl). Al-‘adl merupakan tolak ukur (al-mizan) yang dipakai Allah mengevaluasi manusia. Kedaulatan mengandung tanggung jawab untuk menegakan keadilan (Chapra, 2001:126).
Jadi, gambaran negara ideal adalah: (1) Negara yang masyarakat secara individu (mikro) maupun bernegara (makro) melaksanakan prinsip dan nilai ekonomi syariah dengan cerminan prilaku ekonominya. (2) Negara yang selalu memposisikan kapital sesuai tempatnya sehingga terjadi sinergitas antara fiskal dan moneter yang mendukung sektor rill. (3) Negara yang mentransformasikan kalimat hikamiyat Ibn Khaldun dalam kehidupan bernegara. Sehingga konsekuensi logis dari ketiga poin tersebut adalah terciptanya good government governance yang mampu menjamin kesejahteraan rakyatnya dengan mengurangi pengangguran, kemiskinan serta mampu mendistribusikan zakat serta pajak sebagai upaya meniadakan ketimpangan ekonomi dan stabilisasi perekonomian.



[1] Tauhid bermakna bahwa setiap aktifitas perekonomian dipertanggungjawabkan kepada Allah SWT; Keadilan dimaksudkan bahwa aktifitas perekonomian tidak menzalimi dan tidak pula dizalimi; Kenabian bermakna aktifitas perekonomian mengikuti sifat Nabi Muhammad sidiq, amanah, fathonah, dan tabligh; Pemerintahan menjamin bahwa perekonomian harus berjalan sesuai dengan syariah (rules of the game); Ma’ad berarti motivasi mendapatkan profit dunia dan akhirat (Karim, 2003).
[2] Hamzah, Fahri. 2010. Negara, Pasar dan Rakyat. Yayasan Faham Indonesia
[3] Karim, Adiwarman. 2006. Ekonomi Makro Islami. Edisi Kedua. Jakarta: Rajawali Pers

No comments:

Post a Comment