Wednesday, 2 March 2011

Kuning, Merah dan Biru di PSSI

Hanya segelintir orang pernah mendengar nama perusahaan Titanium Metals (TIMET). Perusahaan ini didirikan pada tahun 1950, terutama bergerak dibidang produksi logam titanium untuk bahan pesawat udara, kapal selam, roket dan peluru kendali yang dibutuhkan AS dalam perang dingin TIMET kini terutama memasok industri pesawat udara. Bisnis ini tidak gemerlap dan TIMET pun bukan sebuah perusahaan yang gemerlap. Timet merupakan perusahaan terkecil di antara 500 perusahaan public Amerika yang terdaftar di dalam indeks S&P 500. Pada tahun 2008, perusahaan ini menghasilkan pendapatan kotor US$ 1,15 miliar dan laba operasional US$ 220 juta. TIMET yang bermarkas di LBJ Freeway di kota Dallas, bukan sebuah bisnis besar. Sebagai perbandingan pada tahun 2008, perusahaan terbesar di dalam S&P 500, raksasa minyak Exxon membukukan pendapatan kotor 400 kali lebih besar dari TIMET. Tetapi dibandingkan dengan klub sepakbola manapun, si TIMET begitu tampak kolosal. Bandingkan dengan Real Madrid (Klub terkaya dimuka bumi 2009) yang pendapatan kotornya US$ 475 juta. Tidak sampai setengah pendapatan TIMET dan kurang dari seperibu pendapatan Exxon. Bagaimanapun cara anda mengukurnya, tak ada klub sepakbola yang dapat dikatakan bisnis besar? Jika anda tidak percaya, Penulis buku itu mengajak anda untuk mengunjungi markas besar UEFA DI kota Nyon Swiss, markas yang hanya seukuran perusahaan asuransi kecil. Ternyata sepakbola adalah bisnis kecil.

Semua itu cerita diatas ada di buku yang menarik, judul besarnya Soccernomics dibagian ke IV ‘Bisnis terburuk di dunia: mengapa klub klub sepakbola tidak (dan seharusnya tidak) menghasilkan uang’. Buku itu dikarang oleh 2 orang: Stefan szymanski dan simon kuper. Szymanski itu profesor ekonomi, dia ketua program MBA di Cass Business School London.  Simon Kuper seorang wartawan, dia tinggal di Paris. Buku  ini dibuat setelah mereka berdua bertemu disebuah seminar ulang tahun ke-100 klub fenerbahce Turki ‘100th year sports and science congress’. Seminar yang kayak gini yg ampir g pernah diselenggarakan ama PSSI apalagi ama klub sepakbola?

Lalu bagaimana dengan Indonesia? Apalagi Indonesia. Hehe… coba liat klub-klub sepakbolanya saja masih mengandalkan APBD. Dikasih dana, namanya dana hibah. Dana hibah mana ada yang untung? Dana hibah itu dari sananya harus habis. Malah bingung kalo dana itu gak habis. Mirip kayak dana APBN atau APBD yang gak habis, bingung, lalu polanya dibuat program ini dan itu yang kadang g jelas. Sekarang nih kita ngomongin untung-rugi. Bukan dampak ekonomi. Kalo ttg dampak ekonomi sepakbola silakan baca tulisan sebelumnya. Kalopun berdampak, maka dampaknya mikro, kecil: karena dana miliaran APBD yang dikeluarin g ada apa-apanya kalo dibandingkan dengan Pendapatan Daerah atau nasional yang ampe seribuan triliun (nasional) atau triliun (daerah). Makannya g usah mempertanyakan dana APBD sepakbola untuk apa, gmana, apa hasilnya? Hehe… #canda#

Lalu gimana dengan klub di Liga Primer Indonesia gagasan Arifin Panigoro yang menggunakan dana sponsor. Di LPI setiap klub dapat dana pinjaman, 15-40 miliar dan dalam 3-5 tahun harus dikembalikan. Saya kok ragu, klub-klub LPI bisa mengemblikan duitnya, walaupun harus dibuktikan 3-5 tahun mendatang. Kalo diliat skrg tambah ragu, dapat untung darimana klub sepakbola LPI? Penonton? Meragukan. Paling Cuma persebaya 1927 (Bonek), Persibo Bojonegoro (Boromania), Bali Dewata (mungkin), SOLO FC (Pasoepati), yang selalu disaksikan oleh puluhan ribu penonton. Klub yang lain? Penontonnya aja sedikit, coz daerahnya itu punya dua atau lebih klub sepakbola yang berlaga di PSSI dan jg LPI. Abis dah tuh duit buat Cuma nonton bola. Dari sponsor ama hak siar? Mungkin juga sih, tapi saya masih ragu kalo klub bisa untung dan balikan pinjaman. Cos duitnya abis buat bayar gaji semacam Irfan Bachdim (Persema Malang), Fortes (Semarang United), Lee Hendrie (Bandung FC) yang (mungkin) nyentuh angka 1 miliar lebih per musim.

Trus kok bisa skrg sepakbola jadi ajang yang bgtu menarik bagi beberapa orang? Nurdin Halid, Nirwan Bakrie, George Toisutta, dan Arifin Panigoro siap jadi ketua PSSI. Jelas dalam hal ini dorongan motif ekonomi kecil buat Nirwan Bakrie yang mending ngurus bisnis keluarga yang lebih menguntungkan, jg Arifin Panigoro juga mungkin rela g digaji di PSSI, gaji George mungkin jg lebih bsar di KSAD dan NH mending jadi anggota dewan gajinya jelas gede belum fasilitas (Tapi boleh jadi kalo buat Pengda PSSI di daerah, jadi pengurus PSSI juga didorong motif ekonomi, dapat gaji, happy, nonton gratis… huuu… #ngiri…hahaha#). Trus Kok bisa keluarga Bakrie nyumbang 25 hektare di jonggol buat lapangan latihan timnas, trus biayai tiap bulan program pemain di Uruguay yg dikirim PSSI? Padahal sepakbola bukan bisnis yang menguntungkan.

Whateverlah….. yang pasti….  Nih orang-orang yang terlibat di massa menjelang Kongres PSSI:

Golkar: Nurdin Halid, Keluarga Bakrie, Nugraha Besoes
PDIP: Syarif Bastaman, Trimedia Pandjaitan (Tim komisi pemilihan ketum PSSI yang akhirnya menggugurkan George Tuisutta dan Arifin Panigoro) dan Prof Gayus Lumbun (anggota komisi banding yang menggugurkan NH dan Nirwan Bakrie, dan menolak banding GT dan AP)
Demokrat: Achsanul Qosasi (Bendahara), Hinca Pandjaitan dan alm. Adjie Masaid (mantan manager timnas u-23)
Nah, ternyata di PSSI ada Kuning, Merah, Biru…………… ada lagi? Hehe…


No comments:

Post a Comment