Kalau Anda sedang berada di Solo, sebutlah nama Joko Widodo (Jokowi) kepada setiap pedagang kaki lima (PKL) yang Anda temui. Anda akan memperoleh jawaban lugas: Walikota Solo. Kalau Anda bertanya bagaimana dia mengenal Jokowi, jawabannya sunggung mengejutkan: Bagaimana tidak kenal, Jokowi adalah pembela PKL!
Sebelumnya, setelah menjadi walikota Solo masalah yang terbesar yang dihadapinya adalah penataan PKL, sebab sekalipun Solo hanya sebuah kota kecil, ia punya 5.817 PKL. Angka ini tergolong besar untuk ukuran sebuah kota dengan luas 44,04 km persegi. Singkat cerita, PKL terpaksa direlokasi.
“Waktu itu saya berpikir keras, memutar otak, bagaimana memindahkan mereka tanpa tindakan kekerasan. Saya tidak mau menggunakan cara-cara kasar, memanggil satpol PP kemudian mengejar-ngejar seperti penjahat serta merusak lapak-lapak mereka. Mereka itu bukan sampah, tetapi potensi kota, bukan pula musuh yang mengganggu. Saya ingin memberi mereka kesempatan mengembangkan usaha secara terhormat dan manusiawi”
Sikap Jokowi terhadap PKL tidak terlepas dengan kondisi lingkaran awal dirinya. Dia ingat bahwa dulu dia juga berangkat dari PKL. ‘Saya kan dulu juga berangkat dari masyarakat kelas bawah, pedagang kaki lima juga’. Jokowi mengumpulkan 989 pedagang yang tergabung dalam 11 paguyubabn di Banjarsari dan mengajak mereka makan bersama. “Saya ajak makan siang, makan malam bersama sampai 54 kali, itu berlangsung selama tujuh bulan. Hanya makan bersama-sama tanpa dialog. Baru pada saat makan bersama yang ke-54 kalinya saya bilang bahwa mereka akan dipindahkan. Tidak ada yang membantah waktu itu.”
Juli 2006 para PKL pindah dari Banjarsari ke pasar Klithikan, Notoharjo. Relokasi itu nyaris tanpa gejolak. Pindah dengan sukarela. Mereka merayakan kepindahan itu dalam sebuah kirap yang dikawal oleh prajurit kraton berpakaian lengkap. Pada saat relokasi itu, para PKL mengenakan pakaian adat Solo. Mereka membawa seribu tumpeng sebagai symbol kemakmuran. Mereka malah menjadikan acara itu sebagai peristiwa budaya dan sejarah sehinga masuk rekor Musium Rekor Indonesia (MURI). Tidak lama berselang, para PKL minta kios secara gratis kepada Jokowi. Permintaan ini diteruskan kepada DPRD Solo yang akhirnya disetujui ‘Para PKL tidak mengeluarkan sepeser pun untuk kios barunya. Sebagai gantinya, mereka harus membayar retribusi sebesar Rp 2.600 per hari. Dengan cara seperti itu modal pemerintah Rp 9,8 miliar bisa kembali dalam waktu 8 ½ tahun.
Jokowi juga menata 180 pedagang di depan Stadion Manahan. Jokowi membuatkan mereka shelter dan gerobak. Jokowi juga menertibkan para PKL yang menempati pasar kembang dan pasar Nusukan. Pasar tersebut sudah rapi, bersih dan menarik untuk dikunjungi. Hingga tahun 2008 52% dari 5718 PKL sudah berhasil di tata Jokowi. Para PKL ini ternyata menjadi penyumbang terbesar pendapatan asli daerah (PAD). Tahun 2008, nilai pajak dan retribusi sektor ini mencapai Rp 14,2 miliar, jauh lebih besar dibandingkan dengan hotel Rp 4 miliar atau terminal yang hanya bernilai Rp 3 miliar. Jokowi juga sudah berhasil menata 12 pasar tradisional tetapi memiliki ruang hijau terbuka. Dalam beberapa kunjungannya ke beberapa kota di Hongkong dan Cina, dia melihat bahwa pengunjung pasar tradisional lebih banyak dibandingkan dengan pengunjung mal.
Jokowi mengatakan bahwa para PKL bersedia ditata sepanjang mereka memperoleh pengertian yang benar dan informasi yang lengkap. “Bukan dengan cara yang tidak benar, dihancurkan sumber penghidupannya. Sekali kita hancurkan matapencaharian mereka, hancur semua kehidupan keluarganya.” Tambah Jokowi.
(Sumber: disarikan dengan beberapa perubahan tulisan tanpa mengubah isi dan makna, dari buku Jurus Lulusan UGM Memajukan Masyarakat, walau tulisan di buku yang diterbitin oleh humas UGM (mungkin) diambil juga dari berbagai sumber di internet, coba aja cek di mbah google, ampir mirip nih tulisan....hehe... tapi nggak tau deng yang awal yang mana... )
***
Sepertinya Jokowi sadar betul, sama seperti sadarnya Muhammad Yunus dalam tulisannya the poor as the engine of growth. Apalagi sebagai pemerintahan, selain sisi dari penerimaan PAD, Jokowi merasakan bahwa PKL membawa berkah, Jokowi di pilwakot Solo 2010 menang 90,09 persen berpasangan FX Hadi Rudiatmo. Pasangan yang diusung PDIP, PKS dan PAN mendapat 248.243 suara, jauh mengungguli pesaingnya, pasangan yang diusung Partai Demokrat dan Partai Golkar.Pasangan Edy Wirabhumi-Supradi Kertamenawi kalah telak karena hanya memperoleh 27.306 suara (9,91%).dimana partisipasi masyarakat yang cukup tinggi yaitu 71,80%. mungkin sadar atau tidak, ternyata wong cilik bisa juga sebagai the engine of victory... :)
Sebagai tambahan informasi, Jokowi selama menjabat walikota tidak pernah mengambil gaji nya (pemberitaan yang ramai dibicarakan setelah SBY menurut media meminta kenaikan gaji), wajar saja karena Jokowi yang lulusan fakultas Kehutanan UGM, Jokowi punya PT Rakabu, eksportir mebel ke mancanegara. Jokowi pernah bekerja pada BUMN di Aceh selama 2 tahun. Jokowi juga sebagai Pendiri Koperasi Pengembangan Industri Kecil Solo (1990) - Ketua Bidang Pertambangan dan Energi Kamar Dagang dan Industri Surakarta (1992-1996) - Ketua Asosiasi Permebelan dan Industri Kerajinan Indonesia Surakarta (2002-2007)-Wali Kota Surakarta (2005-2010)
Jokowi beserta FX Hadi Rudiatmo (ketua Ketua Umum Persis Solo dan Ketua Pengurus Cabang PSSI di Surakarta), juga mengijinkan perhelatan pembukaan Liga Primer Indonesia di stadion Manahan Solo. Yang pada akhirnya, Pengcab PSSI Solo dikenakan sanksi oleh Nurdin Halid dan Grandfa Nugraha Besoes. Hehe…. Pada akhirnya Jokowi mengingatkan kita dengan perkataan John Baldoni ‘So in every real sense, leadership effectiveness both for president and for anyone in a position of authority, depends to a high degree upon good communication skills’ berkomunikasi tidak perlu dengan kekerasan atau juga berorasi, menunjukan rasa empati, bertemu langsung dan mengundang makan para PKL menjadi gaya komunikasi sendiri seorang Jokowi… ^^
* Pojok perpus FEB, 7 maret 2011, 19:48 dengan berbagai sumber dan edit-an...
No comments:
Post a Comment