Foto saya (paling kanan) dkk FDSI dalam Aksi Damai untuk Timnas AFF 2012 |
Oleh Rizky Febriana
Kita, hampir tidak mendapatkan jawaban apa yang bisa dibanggakan dari ke-Indonesia-an Kita? Kebanggaan yang bisa membuat kita terharu biru yang disana ada senyuman bersamaan dengan tangisan tanda kebanggaan. Lalu apa yang bisa dibanggakan ketika Indonesia Kita selalu diwarnai oleh kerusuhan antar etnis, tawuran genk motor, premanisme, korupsi, penistaan agama, bunuh diri, mabuk, judi, kekerasan rumah tangga, perceraian, penculikan, ketimpangan ekonomi, kemiskinan dan pengangguran. Secara sadar ataupun tidak, inilah yang menghiasi detik-detik hidup Kita pada hari ini.
Namun ternyata kita masih bisa mendapatkan jawaban lain atas kebanggaan ke-Indonesia-an Kita. Kebanggaan itu bukan dari jumlah pulau kita yang menghilang satu per satu, bukan pula dari banyaknya suku bahasa dan budaya di Indonesia yang membuat Kita berperang satu dengan yang lainnya, bukan pula hilangnya kebanggaan berbahasa dan budaya yang diambil oleh negara lain, bukan pula dari jumlah TKI yang meningkat berbanding lurus dengan jumlah TKI yang disiksa, bukan pula dari jumlah koruptor yang semakin banyak dari hari kehari. Kebanggan itu ada ketika putra-putri bangsa ini bersaing dengan negara lain untuk memperebutkan posisi yang terbaik dengan cara-cara yang baik, ketika bendera merah putih berkibar dan Indonesia raya berkumandang dengan garuda di dada. Dan ternyata salah satu kebanggaan itu begitu sederhana….
Sore itu, 12 Oktober 2013, menjadi pertandingan paling menentukan siapa yang akan jadi juara grup G kualifikasi AFC Cup U-19 Myanmar 2014 antara Timnas U-19 melawan Korea Selatan. Antusiasme masyarakat tetap sama terhadap sepakbola nasional, tidak pernah berubah, penuh semangat, selalu ramai dan saya hanyalah 1 diantara sekitar 50 ribu penonton yang memadati Stadion Gelora Bung Karno waktu itu. Dari sektor 17 kategori IV tribun atas, saya menjadi saksi bersama ratusan juta penduduk Indonesia lainnya bagaimana perjuangan Evan Dimas cs untuk lolos ke AFC Cup U-19 Myanmar begitu luar biasa. Ditengah guyuran hujan dan sikap inferior sebagian kita terhadap musuh, ternyata Indonesia mampu menang 3-2 mengalahkan sang juara bertahan AFC Cup U-19 untuk pertama kali sejak tahun 1975. Jika boleh berkata, hari itu adalah hari bersejarah bagi U-19, pecinta sepakbola nasional dan rakyat Indonesia karena kemenangan ke-3 beruntun tersebut mengantarkan Indonesia melaju ke Myanmar sebagai juara grup G.
Kemenangan ini melanjutkan tren positif anak asuh Coach Indra Sjafri di dua pertandingan sebelumnya vs Filipina (2-0), vs Laos (4-0). Kemenangan ini juga semakin menambah prestasi Garuda Jaya U-19 setelah sebelumnya mampu menjadi juara di AFF (Asean Football Federation) Cup U-19 tahun 2013 dan juara berturut-turut di turnamen HKFA (Hong Kong Football Asociaction) Youth Invitational Cup 2013 dan 2012. Bagi Kami, suporter pecinta Timnas, sangat setuju dengan pernyataan Coach Indra Sjafri sesaat setelah pertandingan tersebut, “Mulai sekarang, Indonesia adalah Macan Asia!”.
3 Aktor Kemenangan
Setidaknya ada 3 aktor kemenangan dibalik Timnas U-19. Pertama adalah anak-anak muda yang dipanggil dengan nama Garuda Jaya, Evan Dimas cs. Usianya yang relatif muda, 17-18 tahun adalah boleh jadi merupakan cermin anak-anak muda Indonesia yang sesungguhnya. Sekiranya tidak berlebihan ketika mereka dikatakan mirip dengan anak-anak muda era sumpah pemuda 1928 atau era Rengas Dengklok 1945 atau era pemuda 1966 atau era pemuda 1998. Para pemuda yang digambarkan Bung Karno sebagai sosok unggul, pilihan, bergairah, bergelegak dan bergelora secara fisik, psikis, intelektual, serta sikap. Pemuda sosok superior, progresif, revolusioner dengan api berkobar-kobar dan bara spirit yang menyala-nyala. Evan Dimas cs begitu revolusioner, bergelora, progresif namun unggul sikap. Cetak gol sujud syukur, sebagai tanda tunduk kepada Sang Pencipta. Main bola dari kaki ke kaki, tiki-taka ala Barcelona, menandakan bahwa segala sesuatu itu butuh proses dan kerjasama. Setelah bertanding cium tangan, tanda bakti kepada orang yang lebih tua. Indonesia raya berkumandang, tangan mengepal diletakan dada, pertanda Indonesia di dadaku, Indonesia kebangganku.
Kedua adalah Coach Indra Sjafri dan jajaran staf pelatih, mulai dari assistant coach, match analyst, mental advisor, dokter tim, physiotherapist hingga kit man. Saya pribadi tidak mengenal Coach Indra, apalagi Beliau yang sudah sangat pasti tidak mengenal saya. Saya hanya mengenalnya melalui situs jejaring sosial, facebook, yang kebetulan kami sudah berteman dan juga dari grup diskusi para supporter Indonesia, Forum Diskusi Suporter Indonesia. Di grup tersebut, bahkan kawan-kawan suporter yang lain sudah pernah kopdar (kopi darat) bertatap muka untuk sedikit berbincang tentang sepakbola Indonesia dengan Coach Indra jauh sebelum Coach Indra semakin terkenal. Sosok yang rela blusukan anti pemain titipan, itulah kesan Kami sebagai suporter. Maka tak heran jika banyak punggawa Garuda Jaya yang terlahir dari keluarga yang secara ekonomi [mohon maaf] mungkin di bawah rata-rata dan juga dari berasal dari pelosok negeri seperti Bireun Aceh, Alor NTT, wilayah Gunung Bintang Kalimantan hingga ujung timur dari pulau Papua. Pribadinya yang hangat mampu meyakinkan bahwa kebersamaan jauh lebih penting ketimbang tawaran iklan personal Rp300 juta kepada Evan Dimas atau kepada pemain lainnya. Pribadinya yang terbuka mendukung science & statistic dalam sepakbola sebut saja tentang VO2 Max atau data match analysis dari seorang Rudy Eka Priyambada (match analyst) dan para ahli sport science dari UNJ, UNM dan UNY. Pribadinya yang berpendirian dan konsisten pada akhirnya membawa Garuda Jaya semakin harum di mata pecinta sepakbola Indonesia. Dan Kami para suporter #menolaklupa ketika hampir saja Coach Indra digeser oleh pelatih Blanco akibat kisruh pengurus PSSI yang seolah tak pernah berujung.
Ketiga adalah suporter. Bill Shankly mantan pemain Liverpool pernah berujar "If you can't support us when we lose or draw, don't support us when we win.” Kata-kata itu kembali dipopulerkan oleh akun jejaring sosial yang diduga milik Ferdinand Sinaga sesaat setelah kegagalanya mengeksekusi tendangan di babak penalti final sepakbola Sea Games XXVI 2011 Jakarta melawan Malaysia yang akhirnya berkesudahan 4-3 untuk Malaysia, “Jika Kalian tidak bisa mendukung Kami disaat Kami kalah, maka jangan pernah ikut bersorak ketika Kami menang.” Bagi suporter, menang atau kalah, mereka tetap timnas dan dianggap seperti para pahlawan, terlebih jika juara. Untuk itu, pemain ke-13 dalam sepakbola juga merupakan aktor dibalik kesuksesan Timnas Garuda Jaya U-19. Maka tak heran Evan Dimas cs sangat berterimakasih kepada suporter Indonesia. Keberadaan suporter tidak hanya penting bagi pemain. Coba lihat bagaimana PSSI dan penyelenggara dengan mudah meraup keuntungan dari uang-uang suporter di setiap perhelatan sepakbola termasuk di AFF Cup U-19 di Sidoarjo-Gresik ataupun di penyisihan grup G AFC Cup U-19 di Jakarta pada 2013 lalu? Belum lagi dari penonton layar kaca, banyak perusahaan yang antri untuk mengiklankan produknya sementara stasiun televisi berebut hak siar, termasuk juga para politikus yang berlomba menarik simpati?
Karena Kita juga Garuda Muda…
Kegemilangan Garuda Muda Garuda Jaya a.k.a Timnas U-19 hanya sekelumit cerita bahwa Indonesia Bisa! Bisa maju, bisa mandiri, bisa bersaing dan bisa unggul ditengah kepesimisan sebagian orang terhadap masa depan ke-Indonesia-an Kita. Seperti pesan Bung Karno “for a fighting nation, there is no journey’s end!” atau seperti kata Carl Schurz (1872) “My country, right or wrong; if right, to be kept right; and if wrong, to be set right.” Kiranya tak berlebihan jika seorang Ben Anderson (2008), pengamat politik Indonesia, meyakini sejarah Indonesia adalah sejarah pergerakan kaum muda. Dalam setiap fase sejarah, kepemimpinan kaum muda adalah motor penggerak perubahan zaman. Ben Anderson mengatakan, “Akhirnya saya percaya bahwa watak khas dan arah dari revolusi Indonesia pada permulaannya memang ditentukan oleh kesadaran pemuda.” Maka masa depan Indonesia memang akan benar-benar ditakdirkan bagi anak-anak muda saat ini.
Untuk itu ada 3 nilai yang dapat direfleksikan dari skuat Garuda Muda, Garuda Jaya U-19. Kesatu, mimpi. Garuda Muda punya world cup dream, New Zealand U-20 2015. Dalam setiap kesempatan di wawancarai oleh media, Coach Indra selalu berkata “Semangat lolos piala dunia!”. Itu adalah mimpi besar, mimpi yang sama dengan para pecinta sepakbola nasional. L' Histoire se Repete, sejarah mungkin berulang! Siapa tahu Garuda Muda lolos ke New Zealand U-20 2015 dan jika itu terwujud maka hal ini mengulang sejarah The 1979 FIFA World Youth Championship dimana Indonesia mampu lolos ke Piala Dunia U-19 meski harus puas hanya menjadi juru kunci grup B di bawah Argentina, Polandia dan Yugoslavia dan gagal ke babak perempat final. Namun yang terpenting adalah mimpi terukur yang dimiliki oleh skuat Garuda Muda. Mimpi terukur adalah mimpi yang memiliki visi misi dan harus jelas kapan ditargetkan akan tercapai. 2013 juara ASEAN, 2014 3 besar Piala Asia, 2015 lolos piala dunia. Lantas, apakah Kita anak-anak muda Indonesia masih memiliki mimpi seperti Evan Dimas cs atau seperti anak-anak generasi terdahulu (yang sekarang sudah menjadi orang tua) ketika ditanya oleh gurunya mereka selalu berebut menjawab dengan gagah berani “Aku ingin jadi dokter, kalau Aku ingin jadi pilot, Aku polisi, dan seterusnya….”
Kedua, tidak inferior. Coach Indra Sjafri pernah bilang kepada media dan seluruh rakyat Indonesia sesaat sebelum pertandingan melawan Korsel di babak penyisihan grup G Piala Asia, “Jangan terlalu dibesar-besarkan tentang Korsel. Sampaikan pada Korsel Kami akan mengalahkan mereka di 12 Oktober 2013 nanti.” Ini urusan mental. Perkara hasilnya benar-benar mengalahkan Korsel itu anugerah atas kerja keras Garuda Muda. Mentalitas adalah 1 diantara 4 penilaian Coach Indra Sjafri terhadap skuat pilihannya selain skill, fisik dan teknik permainan. Begitu juga anak-anak muda Indonesia lainnya, mentalitasnya harus dilatih dan dijaga. Mentalitas tidak sombong di saat menang, mentalitas tidak mudah putus asa ketika kalah, mentalitas petarung, mentalitas pekerja keras harus dimiliki anak-anak muda seperti mentalitas anak-anak muda skuat Garuda Jaya.
Ketiga, 3 aktor kemenangan: anak-anak muda itu sendiri, orang tua dan suporter. Seperti halnya skuat Garuda Jaya yang terbilang sukses di usia mereka. Kita anak-anak muda lainnya juga memerlukan aktor-aktor lain untuk mendukung karir dan kesuksesannya. Selain Kita sendiri, dukungan orang tua dan lingkungan sangat dibutuhkan oleh Kita sebagai anak-anak muda. Orang tua dalam hal ini bisa orang tua dalam pengertian negara, guru (coach) ataupun orang tua dalam keluarga juga harus memberikan teladan. Sedangkan lingkungan (suporter) yang diartikan sebagai lingkungan pendidikan, agama, sosial kemasyarakatan dan ekonomi juga harus menjadi sarana yang mendukung bagi perkembangan dan kesuksesan anak-anak muda di masa depan dan juga untuk Indonesia yang lebih unggul dan bermartabat. []
dapat kabar terakhir dari berita koran jogja. kalau anggota timnas u19 dapat kesempatan masuk UNY gratis. untuk biaya akan dibantu rektorat. hal ini juga dikarenakan kemungkinan tim U19 akan tetap utuh hingga U23 kelak. dan pusat TC mereka di Jogja
ReplyDeleteYa benar... langkah maju dan berani dunia pendidikan UNY untuk mengapresiasi anak anak muda Indonesia yang berprestasi...
Delete