Monday, 13 January 2014

Indonesia: l’histoire se repete

Garuda Hitam Putih (Desain Pribadi)

Membangun kesadaran historis adalah belajar dari sejarah masa lalu. Sejarah mencatat bahwa dahulu bumi Nusantara adalah bangsa dengan perdagangan maju yang ditandai oleh bandar-bandar yang ramai disinggahi para pedagang dari luar yang berdagang beras, lada, garam, gading timah dan lainnya yang diimbangi oleh armada laut yang kuat dengan wilayah luas hingga ke Semenanjung Melayu, Tumasik atau Singapura dan kepulauan Filipina. Nusantara dikenal melalui Kerajaan Majapahit dibawah pimpinan Patih Gadjah Mada. Jaman Majapahit adalah sejarah jaman keemasan Nusantara masa lalu  (Sutrisno, 2008:24).
Jauh sebelum itu, Arysio Santos (2010) seorang Geolog dan Fisikawan Nuklir Brazil menyimpulkan hasil penelitian selama 30 tahun bahwa Indonesia dahulunya adalah sebuah peradaban besar yang bernama Atlantis, sebuah peradaban yang berada di kawasan tropis pada zaman es Pleistosen berlimpah sumber daya alam seperti timah, tembaga, seng, perak, emas, berbagai macam buah-buahan, padi, rempah-rempah, gajah raksasa, hutan dengan berbagai jenis pohon, sungai, danau dan saluran irigasi. Setidaknya ada 2 pelajaran penting dalam membangun kesadaran historis. Pertama, membangun kebanggaan akan fakta sejarah bahwa bangsa Indonesia pernah berjaya di masa lalu, dan sejarah itu memiliki pola berulang, karena l’histoire se repeteKedua,  seperti kata Bung Karno for a fighting nation, there is no journey’s end. Kejayaan sebuah bangsa berbanding lurus dengan kualitas dan semangat perjuangan manusia Indonesia. Pesannya, “Saudaraku. Kita mesti berbuat sesuatu. Betapapun sukarnya itu.” (Taufik Ismail, 2008:5). Sekalipun Kita mungkin tidak akan pernah benar-benar menyelesaikannya (Darwin Saleh, 2011).  
Lalu bagaimanakah cermin Indonesia pada masa kini? Meminjam pendapat seorang ekonom asal Inggris, Profesor Dudley Seers (1973) yang mengatakan bahwa keberhasilan sebuah Negara khususnya dibidang ekonomi dapat diukur melalui jawaban atas beberapa pertanyaan berikut: What has been happening to provertyWhat has been happening to unemploymentWhat has been to inequality? Setidaknya data BPS (2013) menggambarkan 3 pekerjaan rumah pembangunan ekonomi Indonesia ketika masih ada 28,07 juta jiwa penduduk miskin, 7,39 juta jiwa pengangguran dengan tingkat ketimpangan di Indonesia yang mencapai 0,41. 
Bagi Ahmad Syafii Maarif (2008), setidaknya ada tiga minus yang substansial. Pertama, jumlah rakyat miskin yang masih cukup tinggi. Hal ini dibuktikan adanya piramida kaya-miskin dimana ada segelintir manusia kaya dengan penghasilan 1-3 miliar per bulan, sementara di posisi terbawah terbentanglah lautan kemiskinan yang luas, tanpa penghasilan. Kedua, semakin mengguritanya laku korupsi di kalangan elite birokrasi dan perusahaan dari tingkat atas sampai tingkat bawah, plus kerusakan lingkungan yang parah. Ketiga, minus ketiga ini dapat dilihat di kancah politik yang sekarang sedang dijadikan mata pencaharian.
Membayangkan Indonesia masa mendatang adalah Indonesia tanpa kemiskinan pengangguran dan ketimpangan ekonomi. Namun untuk menuju ke arah sana, maka dengan meminjam istilah Sri Sultan Hamengku Buwono X, bahwa sebuah bangsa besar harus mengikuti alur sejarah “continuity and change” yang terdiri dari masa lalu, masa kini dan masa depan. Sehingga kondisi ideal membayangkan masa depan sebuah bangsa harus dimulai dengan adanya perpaduan kesadaran historis, kesadaran realistik, dan kesadaran futuristik, seakan membentuk segitiga utuh.
             Lalu setelah membangun kesadaran historis dan realistik, what next? Membangun kesadaran tersebut harus didahului dengan membangun fondasi ekonomi. Intinya adalah bahwa pada tahap awal perjalanannya masyarakat berpenghasilan rendah, tertutup dan belum demokratis seyogyanya memusatkan upayanya pada pembangunan ekonomi lebih dahulu (Barro, 2002).  Menurut Boediono (2007) berdasarkan PPP-dolar  pendapatan per kapita Indonesia diperkirakan sekitar 4000 dolar sedangkan batas kritis bagi demokrasi sekitar 6600 dolar. Kita belum 2/3 jalan menuju batas aman bagi demokrasi. Artinya masih menurut Boediono (2007) bahwa tugas bangsa Indonesia adalah harus berhasil menumbuhkan ekonomi dengan 7% setahun, maka dengan laju pertumbuhan penduduk 1,2% setahun pendapatan per kapita kita akan tumbuh dengan sekitar 5,8% setahun.
Lalu bagaimanakah upaya mencapai target tersebut? Menurut penulis ada 3 langkah untuk mencapainya dalam tahun-tahun mendatang: [1] Sinergisitas para pelaku ekonomi. [a] PemerintahChina dan Rusia setidaknya saat ini mewakili negara dengan peran pemerintah yang kuat dan berhasil di dalam perekonomian tercermin dalam PDB nasional. Namun tidak semua negara dengan peran politik pemerintah yang dominan berhasil di dalam perekonomian. Sebagai contoh Indonesia pada masa demokrasi terpimpin 1959-65, secara politik begitu ditakuti oleh bangsa lain namun secara ekonomi tidak begitu menggembirakan, inflasi lepas kendali sehingga harga-harga mahal dan produksi nasional merosot. Masa Orde Baru, 1966-98, walaupun pendapatan per kapita meningkat dari sekitar hanya USD 70 pada pertengahan 1960an menjadi lebih dari USD 1000 pada pertengahan 1990an, namun dibalik itu semua terjadi kekurangan dalam hal penegakan hukum, maraknya KKN, dan kebebasan bermasyarakat (demokrasi) hingga dipenghujung tahun 1998, Orde Baru tumbang. Indonesia saat ini membutuhkan pemerintahan yang bersih, pemimpin yang berwibawa di mata hukum dan bebas aktif di mata dunia. 
[b] Masyarakat. Masyarakat atau civil society atau dalam bahasa Boediono (2009) adalah kelompok pembaharu yang merupakan salah satu aktor penting dalam membangun fondasi demokrasi ekonomi. Fahri Hamzah (2010) mengatakan bahwa masyarakat sipil diperlukan bagi kehidupan negara yang demokratis, sebab kekuatan negara tanpa kontrol akan berbahaya bahkan dapat menimbulkan despotisme. Kaum Samurai di Jepang diidentikan sebagai kelompok transformasi atau pembaharu. Sejarah bangsa Indonesia, kelompok pembaharu berdatangan dari berbagai latar belakang namun itu semua didominasi oleh kelompok terdidik setidaknya ini tergambar pada tahun tahun sebelum zaman kemerdekaan. Kaum Boedi Oetomo 1908 yang menjadi tonggak kebangkitan nasional adalah para kaum terdidik, begitu juga dengan Sumpah pemuda 1928 di-design oleh anak-anak muda terdidik, hingga proklamasi kemerdekaan yang didominasi oleh kaum pembaharu terdidik seperti Soekarno dan Hatta. Kesimpulan sederhananya adalah bahwa motor penggerak sebuah bangsa juga diawali oleh pergerakan dan perjuangan para kaum pembaharu terdidik yang partisipasinya harus dibuka dengan perbaikan akses pendidikan dan demokrasi. [c] WirausahaBusiness is the heart of economic development (Blakely, 1994). Para business man atau wirausahawan juga merupakan pelaku penting di dalam membangun masa depan Indonesia mendatang khususnya dalam mencapai target pertumbuhan ekonomi. Setidaknya menurut Ir Ciputra bangsa Indonesia membutuhkan sedikitnya 2% pengusaha dari total penduduk. Baik asing maupun pribumi, semuanya aktor penting asalkan fair trade.
[2] Stabilisasi moneter, fiskal dan riil. Krisis subprime mortgage menambah daftar panjang catatan krisis ekonomi yang berawal dari sektor keuangan. Roy Davies dan Glyn Davies (2006) dalam bukunya “a history of money from ancient times to the present day” mengatakan bahwa sepanjang abad 20 telah terjadi lebih dari 20 krisis ekonomi yang kesemuanya adalah krisis keuangan (moneter). Di mulai sejak tahun 1907 dimana krisis ekonomi berawal dari krisis perbankan di New York, berlanjut di tahun 1930 great depression yang berbarengan dengan the great crash di pasar modal New York hingga krisis 1998 dan 2008. Peristiwa tersebut menggambarkan bahwa terjadi market failure
 Hal ini mengingatkan kembali akan ide besar ekonom John Maynerd Keynes dan para Keynesian yang percaya bahwa pemerintah memiliki andil besar di dalam mengembalikan stabilitas perekonomian. Keynesian percaya bahwa pasar tidak bisa dibiarkan begitu saja untuk mencari keseimbangan, perlu ada peran pemerintah di dalam perekonomian. Keynesian tidak mempercayai bahwa in the long run akan tercipta equilibrium baru sesuai mekanisme pasar yang berlaku. Bahkan kalimat terkenal yang keluar dari Keynes menggambarkan sikap skeptis Keynesian terhadap keyakinan Klasik, yaitu “in the long run we are all dead”.
Namun, pemerintah pun dapat melakukan kesalahan (government failure) seperti halnya mekanisme pasar. Sejarah tahun 1930-an, ketika agregat demand tidak tercapai dan pengangguran masih terus merangkak naik, sehingga sekitar tahun 1950 hingga 1960-an Margareth Thatcher dan Ronald Reagen mempopulerkan slogan liberalismenya: TINA (there is no alternative), dan menganggap pemerintah sebagai faktor penghambat perbaikan stabilitas perekonomian. Bangsa yang besar adalah bangsa yang belajar dari sejarah bangsanya maupun bangsa lain. Negara Indonesia, dalam hal ini pemerintah melalui kebijakan fiskalnya (APBN/D) dan Bank Indonesia sebagai otoritas moneter di negeri ini harus bersinergi merumuskan langkah-langkah terbaik untuk membangun perekonomian. Stabilitas yang dilakukan haruslah bertujuan untuk menyelamatkan dan memperkuat sektor rill dalam bingkai stabilisasi fiskal-moneter dengan agenda utama reformasi pendidikan, kesehatan, infrastruktur, perizinan, perpajakan, anggaran dan sektor keuangan.
[3] Reformasi law and orderthe rules of the game, dan policy consistency. Tiga hal ini dapat dirangkum menjadi sebuah istilah pendekatan baru di bidang ekonomi yakni institutional economicsInstitutional economics merupakan standing point untuk mendukung upaya membangun fondasi ekonomi Indonesia. World Bank (2002) mendefinisikan institusi sebagai aturan-aturan atau prosedur yang mengatur bagaimana agen (orang) berinteraksi dan organisasi-organisasi yang menerapkan aturan-aturan dan kode etik tersebut dapat mencapai hasil yang dikehendaki.
Institusi sendiri secara umum digolongkan menjadi dua jenis, yaitu institusi formal dan informal. Institusi formal termasuk aturan-aturan yang dituangkan ke dalam undang-undang dan peraturan oleh pemerintah, aturan-aturan yang disusun dan diadopsi oleh institusi swasta, dan organisasi-organisasi publik dan swasta yang bergerak di bawah undang-undang dasar. Institusi formal yang seringkali berada di luar sistem legal mencerminkan aturan-aturan tidak tertulis seperti perilaku sosial, seperti norma-norma, dan sanksi sosial (Arsyad, 2008).
North (1994:360; Yustika:34) mengartikan kelembagaan sebagai aturan-aturan yang membatasi perilaku menyimpang manusia (humanly devised) untuk membangun struktur interaksi politik, ekonomi, dan sosial. North sendiri membagi kelembagaan menjadi tiga komponen: institusi formal (formal institution), institusi informal (informal institution), dan mekanisme penegakan (enforcement mechanism). Hasil studi Chong dan Zanforling (2004) menyatakan bahwa kualitas dari kelembagaan akan mempengaruhi kinerja ekonomi secara signifikan.[1] []

Sumber Inspirasi

Armstrong, Harvey & Jim Taylor. 1993. Regional Economics and Policy. Second Edition. London: Harvester Wheatsheaf
Arsyad, Lincolin. 2008. Lembaga Keungan Mikro: Institusi, Kinerja, dan Sustainabilitas. Yogyakarta: Penerbit Andi
Barro, Robert J. 2002. Nothing Sacred. The MIT Press: Cambridge.
Blakely, Edward J. 1994. Planning Local Economic Development: Theory and Practice. Second Edition. US: Sage Production
Boediono, 2007. Dimensi Ekonomi-Politik Pembangunan Indonesia. Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar pada Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada.
Boediono. 2009. Ekonomi Indonesia Mau ke Mana? Kumpulan Esai Ekonomi. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia dan Freedom Institute
Hamzah, Fahri. 2010. Negara, Pasar dan Rakyat: Pencarian Makna, Relevansi dan Tujuan. Jakarta: Faham Indonesia
Hertz, Noreena. 2005. Perampok Negara. Yogyakarta: Alenia
Rais, Amien. 2008. Agenda-Agenda Mendesak Bangsa: Selamatkan Indonesia. Yogyakarta: PPSK Press.
Sutrisno, 2008. Menuju Indonesia Pemain Utama Ekonomi Dunia, Yogyakarta: Graha Ilmu
Santos, Arysio. 2010. Atlantis: The Lost Continent Finally Found. Jakarta: Ufuk 
Ismail, Taufiq. 2008. Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia: Seratus Puisi Taufiq Ismail. Jakarta: PT Cakrawala Budaya Indonesia
Maarif, Ahmad Syafii. 2008. Plus-Minus 63 Tahun Kemerdekaan Bangsa. Jakarta: Republika
Yustika, Ahmad Erani. 2008. Ekonomi Kelembagaan: Definisi, Teori, dan Strategi. Malang:  Bayu Media Publishing


[1]Dalam  Inward-Looking Policies, Institutions, Autocrats, and Economic Growth in Latin America: An Empirical Exploration. Alberto Chong dan Luisa Zanforlin Source. Public Choice, Vol. 121, No. 3/4 (Oct., 2004), pp. 335-361

No comments:

Post a Comment