Sumber foto: crooksandliars.com |
Krisis global telah
menyebabkan terjadinya penciutan nilai aset beberapa lembaga keuangan dunia.
Disamping itu, salah satu yang paling ditakuti dari krisis finansial global
adalah pemutusan hubungan kerja (PHK) yang dilakukan perusahaan-perusahaan
besar. Gelombang PHK semakin meluas, mulai dari sektor perbankan dan keuangan
hingga sektor perindustrian, manufaktur, insfrastruktur, jasa, dan sebagainya.
Di Amerika Serikat gelombang pengangguran telah mencapai titik tertinggi sejak
5 tahun terakhir, yaitu 6.7%. Akibat krisis ini pula, neraca keuangan Amerika
Serikat mengalami defisit sebesar 1,752 milyar dollar. Di Inggris,
pengangguran mencapai 1,92 juta jiwa sedangkan di Spanyol naik dari 13% menjadi
16%. PHK besar-besaran terjadi dibeberapa perusahaan besar dunia, diantaranya
adalah Citigroup yang mengurangi 52.000 pegawai, Bank of America mengurangi
35.000 pegawainya, Nissan Motor Inggris mengurangi sekitar 1.200 pegawai,
Microsoft mengurangi sekitar 5.000 pegawai.
Awalnya, banyak
pengamat dan ekonom berpendapat bahwa krisis tersebut hanya akan berdampak pada
sektor keuangan saja, namun kenyataannya, kita tidak dapat memisahkan sektor
riil dan moneter. Sehingga, apa yang terjadi pada sektor moneter, khususnya
sektor keuangan pada saat ini, berdampak pada sektor riil. Hal tersebut
mematahkan mitos ekonomi terpisah (decoupling)
antara perekonomian Amerika Serikat dengan perekonomian Negara-negara Asia,
atau secara spesifik Indonesia .
Terlihat dari data menunjukkan bahwa ekspor Non Migas Indonesia (2007) masih
didominasi ke Jepang US$13,287 juta, AS US$11,111 juta, Singapura US$8,860 juta
dan China US$8,507 juta.
Dapat kita rasakan sendiri, di awal kuartal tahun 2009
ekonomi mengalami perlambatan pertumbuhan. Ditandai pula dengan terus
bergeraknya nilai tukar rupiah dengan volatilitas tinggi dan nilai ekspor
Indonesia yang terus menerus mengalami
tren penurunan ke Negara-negara tujuan ekspor utama. Sebagai gambaran, nilai
ekspor Indonesia hingga November 2008 telah menurun sebesar 9.8%[2]
(YoY), kemudian pada bulan Desember ekspor turun sebesar 9,57%, dan pada bulan
Januari ekspor Migas dan nonmigas Indonesia mengalami penurunan sebesar 17,70
persen dibanding Desember 2008 yaitu dari US$ 8.691,8 juta menjadi US$ 7.153,3
juta. Sementara bila dibandingkan dengan Januari 2008, ekspor juga
mengalami penurunan sebesar 36,08 persen. Belum lagi fluktuasi nilai rupiah
yang sempat menyentuh level Rp. 11.900/$ walaupun akhir-akhir ini kembali ke level
aman pada Rp. 10.500/$.[3]
Krisis
keuangan global yang diawali oleh subprime
mortgage perusahaan Lehman Brothers
yang telah berdiri lebih dari 1,5 abad menambah keyakinan akan sebuah kebenaran
bahwa krisis ekonomi di dunia selalu diawali oleh krisis di sektor keuangan.
Roy Davies dan Glyn Davies (2006) dalam bukunya “a
history of money from ancient times to the present day” mengatakan
bahwa sepanjang abad 20 telah terjadi lebih dari 20 krisis ekonomi yang
kesemuanya adalah krisis keuangan. Di mulai sejak tahun 1907 dimana krisis
ekonomi berawal dari krisis perbankan di New York, berlanjut di tahun 1930 yang
terkenal dengan istilah great depression di
Amerika Serikat yang berbarengan dengan the
great crash di pasar modal New York sehingga berimplikasi pada net national product AS yang berkurang
setengahnya, hingga tahun krisis keungan 1998 dan 2008 yang berimplikasi pada
perekonomian dunia.
Krisis
keuangan selama ini sekiranya perlu dikoreksi terutama kaitannya dengan
kekeliruan memandang fungsi kapital. Kapital selama ini dipandang sesuatu yang
berdiri sendiri yang akan menghasilkan kapital kembali (kapitalisasi kapital).
Padahal seperti yang diungkapkan oleh Adam Smith di dalam bukunya The Wealth of Nation (1776) kemakmuran
suatu bangsa tidak diukur dari banyaknya logam mulia yang dimiliki oleh bangsa
tersebut, tetapi dari kemampuan bangsa itu untuk memenuhi
kebutuhan-kebutuhannya secara layak. Fahri Hamzah (2010:329) mengatakan bahwa
Adam Smith memperkenalkan tentang konsep ‘kapital’ sebagai bentuk pemanfaatan
pendapatan yang menghasilkan nilai tambah dengan menempatkannya pada
kegiatan-kegiatan yang produktif dan bukan ditimbun didalam lemari harta atau
diperam di bawah alas tidur.
Secara
sederhana sebenarnya teori ekonomi Klasik (fungsi produksi Cobb-Dauglass) mengatakan
bahwa kesejahteraan suatu bangsa yang tercermin dari tingkat produktifitas dalam
menghasilkan produk barang dan jasa (produksi) dipengaruhi paling tidak
sedikitnya 2 fungsi produksi yakni kapital (Capital)
dan tenaga kerja (Labour). Artinya,
kapital yang diidentikan dengan modal atau uang seharusnya bisa dipertemukan
dengan tenaga kerja yang mencerminkan sektor riil untuk menghasilkan
produktifitas positif .
Jika
kapital tidak mampu dipertemukan dengan tenaga kerja maka sama halnya dengan
moneter yang berjalan sendiri tanpa dibersamai oleh berkembangnya sektor rill
yang pada akhirnya melahirkan istilah bubble
economy. Hal ini dengan sederhana dapat dipahami dengan menggunakan
persamaan ekonom Irving Fisher dimana MV=PT, votalitas atau kecepatan uang
beredar (V) jika tidak bisa diikuti oleh transaksi yang beriringan (T) dalam
sektor riil maka akan berakibat semakin tingginya tingkat harga (P) dimana
inflasi tinggi sehingga akan menyebabkan menurunnya daya beli masyarakat.
Situasi ini akan semakin diperparah ketika para investor yang memiliki modal
tersebut menuntut tingkat keuntungan yang lebih tinggi yang secara otomatis
akan menaikan tingkat biaya modal disatu sisi akan menurunkan tingkat investasi
dimana penurunan investasi akan berdampak akan lesunya sektor riil.