Rp 1.023.275.000,
satu miliar dua puluh tiga juta dua ratus tujuh puluh lima ribu rupiah.
‘Sumbangan’ tertanggal 22 Agustus 2011 dari kehadiran Timnas Palestina buat
kita bangsa Indonesia. Bukti, ini bukti. Palestina bisa menjadi mitra yang
menguntungkan buat Indonesia, setidaknya buat Timnas kebanggaan kita bersama.
Di saat Malaysia membatalkan dengan sepihak rencana pertandingan persahabatan,
disaat Korea Utara meminta fee yang tidak bisa dipenuhi oleh PSSI, akhirnya,
ini bukan sebuah kebetulan, Palestina bersedia menjadi lawan tanding Timnas
Indonesia. "Laga melawan timnas Indonesia bukan saja urusan sepak bola.
Tetapi, kami juga ingin mengunjungi saudara kami di sini untuk
bersilaturahmi." Kata, Abdel Nasser Barakat,Pelatih Timnas Palestina.
Ada 2 keuntungan
malam itu, kehadiran Palestina menjadi jalan keluar Timnas Indonesia untuk
tetap on fire dalam menghadapi laga kualifikasi babak ke 3 pra piala dunia
melawan Iran, Bahrain dan Qatar. Keuntungan ekonomi, laga Timnas senior lawan
timnas U-23 3 hari sebelumnya dapat 442.275.000, lalu meningkat jadi 1 Miliar
lebih ketika Timnas melawan Palestina. Dari 1 M, 102.327.500 seratus juta untuk
pajak, Rp 150 juta buat keamanan, sisanya bersih untuk panpel. Belum lagi side
effect buat para pedagang –pedagang kaos, makanan, minuman dan tentunya para
calo tiket. hati dan otak lu pasti menolak, lu pasti bilang semua laga
persahabatan Internasional pasti akan menguntungkan. Iya lu benar, tapi
setidaknya tidak perlu fee sebesar rencana mendatangkan Manchester United dulu,
atau fee untuk laga melawan Uruguay. Lalu mengapa kita masih bertanya apa
untungnya Palestina bagi Indonesia?
Siapakah Anda?
Goall. Goal Suleiman
al-Abeid pemain Palestina yang besar di Jalur Gaza, membuat terdiam sekitar
23.000 suporter Timnas Merah Putih. Indonesia tertinggal 0-1. Sepanjang
pertandingan 45 menit babak pertama reaksi supporter kita bermacan macam.
Walaupun pemain Timnas kita biasa aja, ada supporter yang mengacungkan jari
tengahnya kepada pemain Timnas Palestina, ada
yang bersuara seperti monyet sebagai tanda hinaan kepada pemain sayap
kanan Timnas Palestina yang memang berkulit hitam legam, ada yang melemparkan
botol-botol ke tengah lapangan sebagai tanda kebencian terhadap salah satu
pemain Palestina dan kepemimpinan wasit, ada yang mentertawakan salah satu
pemain Palestina yang bajunya robek, rata rata gue lihat dari tribun Timur
Stadion yang berharga Rp 50 ribu. Tapi ada juga kawan kawan kita yang dipimpin
oleh Pasoepati supporter fanatik Persis dan Solo FC, bereaksi “kampoengan,
kampoengan.” Sebagai tanda ketidaksetujuan atas lemparan botol-botol ke
stadion, yang notabene harga tiket mereka hanya Rp 25.000. Ada juga satu sampai
dua orang yang memasang spanduk dukungan Freedom Palestina di tribun VIP barat,
ada bendera Palestina di tribun utara. Ada juga sekelompok Pasoepati yang
membawa poster Yaser Arafat dan bentuk dukungan lainnya menyambut Timnas
Palestina ketika kehadirannya di stadion Manahan Solo.
Dalam hati gue
bilang, ah ini biasa. Dalam hidup itu kan memang bermacam macam manusia dengan
reaksi dan pendapatnya. Ada yang mencela, mencaci, dan ada juga yang memuji.
Ada yag bertanya dan ada juga yang menjawab. Ada yang paham, ada yang tidak
paham, ada yang paham tapi tutup mata, telinga dan suara. Buat gue ini biasa,
jangankan di laga internasional, sepanjang hayat gue nonton langsung di stadion
di laga domestik, hinaan dari supporter buat pemain lawan, hal yang lumrah dan
sering, dan selalu ada juga sekelompok supporter fanatik yang sama bilang: no
rasis. Gue jadi inget, Bambang Pamungkas striker Timnas yang dihina oleh oknum
supporter waktu Timnas dibawah asuhan Alfred Riedl beruji coba di Bandung. Gue yakin lu juga
masih inget. Bambang Pamungkas, waktu itu striker Timnas, bukan Persija. Kok
bisa bisanya dihina di negeri sendiri? Sepakbola itu sama seperti uang, punya
dua sisi, persahabatan dan permusuhan. Sikapnya sama, bukan salah sepakbolanya,
salahkanlah orangnya.
Gue pikir hinaan
adalah hal biasa. Atau bahkan bunuh membunuh sesama anak bangsa sekarang adalah
hal yang biasa. Sesama anak negeri, hanya beda tim idola, saling serang, saling
berupaya saling bunuh, gue liat dengan mata kepala di negeri sendiri. Di negara
lain juga hal biasa, jangan salah, kalo disini tawuran supporter disana juga
ada, lemparan botol juga ada, ya dimana mana ada. Jadi buat gue ini hal wajar,
kalopun akan selalu ada suara sumir cenderung miring berkata kenapa harus
memberi perhatian buat Palestina padahal di negeri sendiri masih banyak
masalah? Jangan sekali sekali melupakan sejarah. dan Nasionalisme tidak dapat
subur, kalau tidak hidup dalam taman sarinya Internasionlisme. adalah kata kata
Soekarno.