Sunday, 19 December 2010

GREEN ECONOMY*

"Prinsip kesinambungan harus diperkuat sebagai landasan pelaksanaan pembangunan."
—Boutros Boutros Ghali, Mantan Sekretaris Jenderal PBB, 1994

Sekitar dasa warsa 1970, pertama kali muncul isu mengenai lingkungan dalam   pembangunan yang menjadi awal adanya istilah sustainable development atau pembangunan yang berkelanjutan (Kuncoro, 2006:13). Isu lingkungan hidup kembali mencuat seiring fenomena pemanasan global (global warming). Diyakini, fenomena ini merupakan efek revolusi industri pada akhir abad 18, sebuah revolusi yang pada akhirnya menciptakan teknologi dan dunia modern.  Pada intinya, tata dunia baru atau lama tidak akan menguntungkan apabila sistem biologis alam yang menopang ekonomi dunia tidak diperhatikan. Artinya, harus ada sebuah pembangunan yang tidak hanya memperhatikan urusan manusia saja (ekonomi) namun lebih dari itu seharusnya (das sollen) pembangunan juga memperhatikan sisi ekologis.

Tahun 1972, laporan dari Club of Rome menyebutkan bahwa, “bila tren pertumbuhan saat ini dalam penduduk dunia, industrialisasi, polusi, produksi makanan, dan deplesi sumber daya terus tidak berubah, batas pertumbuhan atas planet ini akan dicapai dalam waktu kurang dari 100 tahun mendatang. Secara matematis, sesuai ramalan Club of Rome usia bumi ini akan berakhir sekitar tahun 2072? Terlepas dari benar atau tidaknya ramalan Club of Rome, yang terpenting saat ini adalah bagaimana seharusnya kita semua berpikir secara sistematis bagaimana seharusnya menjaga kelestarian sumber daya alam (natural resources) sekaligus juga human resources. 

Robert Repetto, seorang ahli ekonomi, mengatakan bahwa sustainable development merupakan: “a development strategy that manages all assets, natural resources, and human resources, as well as financial and physical assets, for increasing long-term wealth and weel-being. Sustainable development, as a goal rejects policies and practices that support current living standards by depleting the productive base, including natural resources, and that leaves future generations with poorer prospects and greater risk than our own (Repetto, 1986:15; Meier&Rauch, 2000:555).

Lester Brown (1981; Kuncoro, 2006) menunjuk empat area utama dari sudut pandang sustainabilitas yaitu: tertinggalnya transisi energi, memburuknya sistem biologis utama (perikanan laut, padang rumput, hutan, lahan pertanian), ancaman perubahan iklim (polusi, dampak rumah kaca, dan lain-lain), serta kurangnya bahan pangan. Dalam konteks suatu negara, jika kita menarik benang merah berdasarkan kriteria keberlangsungan pembangunan menurut Lester Brown maka akan ditemukan sebuah titik temu antara pembangunan dengan ekologi. Artinya, pembangunan saat ini yang terjadi seringkali melupakan unsur ekologi atau lingkungan hidup. Setidaknya ada beberapa contoh permasalahan lingkungan yang memang terjadi pada pembangunan ekonomi suatu Negara diantaranya adalah water pollution (polusi air), air pollution (polusi udara), solid and hazardous wastes (limbah/ sampah padat dan berbahaya), soil degradation (degradasi tanah), deforestation (deforestasi), loss of biodiversity (hilangnya keanekaragaman hayati), climate changes (perubahan iklim).  

Permasalahan permasalahan lingkungan ini minimal berdampak terhadap kesehatan dan produktivitas ekonomi. Misalnya, World Development Report tahun 1992 menyatakan bahwa polusi air dan kelangkaan air bersih berdampak kepada kesehatan dimana lebih dari 2 juta orang mati dan penyakit milyaran terjadi setiap tahunnya, disamping itu terjadi kemerosotan nilai budidaya perikanan. Polusi udara pun berdampak kepada penyakit akut dan kronis terutama pernafasan dan paru paru, 300.000-700.000 manusia khususnya anak anak meninggal secara dini per tahunnya. 400 juta- 700 juta penduduk warga dunia ketiga mengalami gangguan pernafasan. 

Permasalahan sampah (waste) dalam hal ini sampah plastik pun tak kalah mengkhawatirkan. Berdasarkan data dari S.F. Department of the Environment, Worldwatch Institute, setiap tahun ada 4-5 trilyun kantong plastik yang beredar, sementara untuk bikin 100 juta kantong plastik yang non degradable saja jumlah minyak bumi yang diperlukan adalah 430.000 gallon. Kantong plastik (kresek) merupakan jenis plastik polimer sintetik, yaitu salah satu jenis plastik yang sulit terurai. Bumi membutuhkan waktu sedikitnya 500 tahun untuk bisa mengurai plastik jenis ini. Membakar pun bukan pilihan bijak. Karena jika dibakar dibawah 800 derajat celcius, justru akan menghasilkan senyawa dioksin yang berbahaya bagi kesehatan dan lingkungan hidup. Karena sifatnya yang sulit terurai, maka sampah plastik bisa menghambat proses penyerapan air oleh bumi. Ditambah dengan prilaku masyarakat kita yang masih suka membuang sampah (termasuk plastik) sembarangan hingga menutup saluran air, maka bencana banjir pun tak bisa dielakkan. 

Sampah selalu menjadi masalah bagi pemerintah, bahkan diperkirakan sampah setiap harinya di Indonesia ini mencapai 200 ribu ton. Sayangnya tingginya volume sampah itu belum tertangani secara baik oleh pemerintah karena  berbagai keterbatasan. "Program pengelohan sampah mandiri segera dilaksanakan karena sekitar 500 TPA yang ada sebanyak 90 persennya bisa dikatakan tidak layak karena belum dikelola dengan sanitasi landfill," kata Asisten Deputi Urusan Pengendalian dan Pengelolaan Limbah Domestik, Kementrian Lingkungan Hidup (KLH), Tri Bangun L Soni.

Contoh lain permasalahan lingkungan adalah deforestasi. Kerusakan hutan (deforestasi) masih tetap menjadi ancaman di Indonesia. Menurut data laju deforestasi (kerusakan hutan) periode 2003-2006 yang dikeluarkan oleh Departemen Kehutanan, laju deforestasi di Indonesia mencapai 1,17 juta hektar pertahun sehingga menempati urutan kedua terburuk di dunia. Bahkan kalau menilik data yang dikeluarkan oleh State of the World’s Forests 2007 yang dikeluarkan The UN Food & Agriculture Organization (FAO), angka deforestasi Indonesia pada periode 2000-2005 1,8 juta hektar/tahun.

Pencemaran air juga menjadi salahsatu contoh pencemaran lingkungan yang seringkali terjadi di Indonesia. Dalam PP No. 20/1990 tentang Pengendalian Pencemaran Air, pencemaran air didefinisikan sebagai : “pencemaran air adalah masuknya atau dimasukkannya mahluk hidup, zat, energi dan atau komponen lain ke dalam air oleh kegiaan manusia sehingga kualitas air turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan air tidak berfungsi lagi sesuai dengan peruntukannya” (Pasal 1, angka 2). Menteri Negara (Menneg) Lingkungan Hidup (LH) Rachmat Witoelar menyatakan sungai Bengawan Solo, Brantas, Citarum, dan puluhan sungai lainnya di Indonesia telah mengalami pencemaran dan pendangkalan (berita.kapanlagi.com).

Setali tiga uang dengan pencemaran air, pencemaran udara di Indonesia sudah sangat mengkhawatirkan. dalam skala global, Jakarta adalah kota dengan tingkat polusi terburuk nomor 3 di dunia (setelah kota di Meksiko dan Thailand). Kedua, masih dalam skala global, kadar partikel debu (particulate matter) yang terkandung dalam udara Jakarta adalah yang tertinggi nomor 9 (yaitu 104 mikrogram per meter kubik) dari 111 kota dunia yang disurvei oleh Bank Dunia pada tahun 2004. Sebagai perbandingan, Uni Eropa menetapkan angka 50 mikrogram per meter kubik sebagai ambang batas tertinggi kadar partikel debu dalam udara. Ketiga, jumlah hari dengan kualitas tidak sehat di Jakarta semakin meningkat dari tahun ke tahun. Pada tahun 2002, Jakarta dinyatakan sehat selama 22 hari, sedangkan pada tahun 2003, Jakarta dinyatakan sehat hanya selama 7 hari. Lebih lanjut, berdasarkan penelitian Kelompok Kerja Udara Kaukus Lingkungan Hidup, pada tahun 2004 dan 2005, jumlah hari dengan kualitas udara terburuk di Jakarta jauh di bawah 50 hari. Namun pada tahun 2006, jumlahnya justru naik di atas 51 hari. Dengan kondisi seperti itu, tidak berlebihan jika Jakarta dijuluki "kota polusi" karena begitu keluar dari rumah, penduduk Jakarta akan langsung berhadapan dengan polusi.

Menurut perhitungan kasar dari World Bank tahun 1994 dengan mengambil contoh kasus kota Jakarta, jika konsentrasi partikulat (PM) dapat diturunkan sesuai standar WHO, diperkirakan akan terjadi penurunan tiap tahunnya: 1400 kasus kematian bayi prematur; 2000 kasus rawat di RS, 49.000 kunjungan ke gawat darurat; 600.000 serangan asma; 124.000 kasus bronchitis pada anak; 31 juta gejala penyakit saluran pernapasan serta peningkatan efisiensi 7.6 juta hari kerja yang hilang akibat penyakit saluran pernapasan – suatu jumlah yang sangat signifikan dari sudut pandang kesehatan masyarakat. 

Sudah saatnya, pembangunan sebuah negara harus memperhatikan sisi ekologi. Oleh karena itu, pentingya mengembangkan strategi pembangunan ekonomi yang memperhatikan sustainabilitas lingkungah hidup. Pada intinya, green economy ini mengatakan bahwa masyarakat dan ekosistem di suatu daerah harus berkembang bersama-sama menuju produktivitas dan pemenuhan kebutuhan yang lebih tinggi; namun yang paling utama strategi pembangunan ini harus berkelanjutan baik dari sisi ekologi maupun sosial.  

Menurut penulis, dalam melaksanakan kebijakan green economy ini diperlukan tiga elemen penting. Pertama, pemerintah selaku central of development. Hal ini sesuai dengan amanat UUD 1945 pasal 33 ayat 3: “bumi dan air dan kekayaan yang ada di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Kedua, entrepreneurs atau swasta. Dalam hal ini, mau tidak mau pihak swasta juga harus mendukung green economy. Selama ini, mungkin paradigma yang berkembang adalah para pengusaha/wirausaha swasta seringkali tidak memperhatikan analisis dampak lingkungan terutama dalam proses produksi. Ketiga, masyarakat (komunitas). Masyarakat dalam hal ini juga memiliki peran penting dalam strategi pembangunan berkelanjutan. Proses pembangunan berwawasan lingkungan seringkali tidak didukung oleh masyarakat. Sebagai contoh praktek membuang sampah sembarangan, penebangan hutan secara ilegal, limbah produksi, pengalihan fungsi hutan menjadi ladang, beberapa prilaku yang jauh dari pembangunan yang berkelanjutan.

Dalam pembangunan yang berkelanjutan maka diperlukan masyarakat yang memahami dan menyadari green economy. Dengan demikian segitiga besar yang menyangkut keberadaan pemerintah, pihak entrepreneur (swasta), dan masyarakat memegang kendali sepenuhnya dan secara sistematis serta fungsional masing-masing memiliki peran dan fungsinya sendiri-sendiri untuk saling mendukung satu sama lain guna keberhasilan green economy yang dijalankan.

Tiga Langkah Strategi Green Economy
Apakah green economy atau ekonomi hijau itu? Menurut UNEP (Badan PBB untuk Program Lingkungan Hidup) ekonomi hijau adalah suatu model pembangunan untuk mencegah meningkatnya emisi gas rumah kaca dan mengatasi perubahan iklim. Model ekonomi hijau berperan untuk menggantikan model ekonomi 'hitam' yang boros konsumsi bahan bakar fosil, batu-bara, serta gas alam. World Bank dalam World Bank Indicators 2001 (2001:19) menyebutkan tujuan dari indikator lingkungan adalah kemampuan mempertahankan lingkungan dan regenerasi lingkungan pada tahun 2015 dengan beberapa indikatornya: negara mengembangkan pelestarian lingkungan yang efektif, populasi yang kemampuan untuk meningkatkan sumber air, biodiversity (lahan tanah yang dilindungi), efisiensi energi, dan emisi karbondioksida.  

Menurut penulis, setidaknya harus ada tiga kebijakan dalam menjalankan praktek green economy. Pertama, pemerintah bersama swasta maupun perwakilan masyarakat harus menyusun blue print mengenai green economy yang hingga saat ini belum pernah dirumuskan. Blue print yang penulis maksudkan berisi mengenai segala informasi minimal 4W+1H green economy. Apa (What) itu green economy? Siapa (Who) yang harus melaksanakannya? Mengapa (Why) harus melaksanakannya? Kapan (When) melaksanakannya? Bagaimana (How) melaksanakan green economy? Di dalam blue print harus disertai rule of the game-nya baik dalam bentuk Undang-Undang maupun peraturan daerah (Perda). 

Kedua, harus ada mekanisme reward and punishment. Dalam hal ini pemerintah sebagai central of green economy harus memberikan penghargaan kepada pihak-pihak yang berjasa dalam pembangunan berwawasan ekologi. Begitupun dengan punishment yang harus diberlakukan kepada pihak-pihak yang mencemarkan lingkungan hidup. Selain reward and punishment, pemerintah yang memiliki kekuatan hukum tetap dapat melakukan upaya pencegahan eksternalitas negatif terhadap lingkungan dapat melalui mekanisme pajak lingkungan, mekanisme subsidi kepada pelaku ekonomi untuk mengurangi pencemaran lingkungan, mekanisme restriksi/ pelarangan terhadap eksplorasi yang berlebihan terhadap sumber daya alam tertentu, memberlakukan kuota untuk sumber daya alam tertentu yang dieksplorasi.
Ketiga, harus ada beberapa pihak eksternal yang mengawasi pelaksanaan green economy, dalam hal ini yang paling memungkinkan adalah lembaga pers, DPR, dan akademisi. Ketiga elemen tersebut satu sama lain secara fungsional hadir memberikan peran dan fungsinya untuk mengarahkan, mengontrol dan memberikan evaluasi serta tanggapan dari setiap gerak langkah kebijakan, program, dan pelaksanaan kegiatan.


Refleksi
Salah satu pokok pikiran Neo-Mathusian adalah mengenai keterbatasan potensi bumi. Yang dapat dilihat dari empat asumsi dasar: non-renewable resources yang terbatas, terbatasnya kemampuan lingkungan menyerap polusi, terbatasnya lahan yang akan ditanami, dan ada batas fisik terhadap pertumbuhan penduduk dan kapital (Cole, et.al, 1975, pp. 226-235; Tjokrowinoto, 2004:9). Dengan adanya keterbatasan potensi bumi inilah Indonesia harus mampu menjadi pionir dan mampu merumuskan green economy di segala sektor untuk menciptakan sustainabilitas yang menguntungkan baik dari sisi pembangunan dan juga lingkungan hidup di Indonesia maupun dunia.


Daftar Pustaka
Berbagai sumber internet yang kesulitan ditampilkan diblogdikarenakan tulisan tidak dapat disertakan footnote dan gambar (jika ingin melihat tulisan lengkap dengan berbagai sumber dapat email ke: emailalietaja@yahoo.co.id)

Fandeli Chafid, Raharjana Destha Titi, Suyanto Agus. 2003. Pengembangan Kawasan Pedesaan sebagai Objek Wisata (Identifikasi Potensi dan Perencanaan Model Pariwisata Pedesaan Sekitar Gunung Merapi Yogyakarta). Laporan komprehensif (tidak dipublikasikan). Puspar: UGM
Kuncoro, Mudrajad. 2002. Analisis Spasial dan Regional. Yoyakarta: UPP AMP YKPN
Kuncoro, Mudrajad. 2006. Ekonomika Pembangunan Teori, Masalah, dan Kebijakan. Yogyakarta: UPP STIM YKPN
Meier, Gerald M dan James E Rauch. 2000. Leading Issue in Economic Development. USA: Oxford University Press
Todaro, Michael P dan Stephen C Smith. 2003. Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga. Edisi Kedelapan. Jakarta: Erlangga


*) Tulisan ini salahsatu pemenang di kompetisi penulisan untuk bangsa dan negara yang diselenggarakan oleh Universitas Gadjah Mada Tahun 2010




















Friday, 17 December 2010

MENGENAL LEBIH DEKAT ECOTOURISM ANCOL

Terhitung memasuki usianya yang ke-44 tahun, berbagai ide kreatif yang dilakukan oleh pihak managemen pengelola untuk menjadikan kawasan Ancol sebagai kawasan wisata yang membanggakan bangsa Indonesia melalui Life Re-Creation dengan sajian hiburan berkualitas yang memiliki unsur seni, budaya dan pengetahuan ini kian hari kian nampak. Salahsatu langkah ide kreatif yang sangat cemerlang yakni dengan adanya pengembangan kawasan wisata berbasis lingkungan, dimana Ancol tidak melupakan unsure-unsur pelestarian alam di dalam pengembangan wisatanya disamping core business yang utama yakni sebagai tempat hiburan dengan berbagai permainan modern.

Pengembangan wisata berbasis lingkungan ini dapat dilihat dari beberapa program yang sudah ada di Ancol seperti program Ancol Sayang Lingkungan, Ancol Zero Waste dan juga langkah yang bisa dibilang berani untuk mengembangkan ecotourism adalah dengan ditutupnya ladang golf Ancol Taman Impian seluas 33,6 hektar mulai tanggal 24 Februari 2010 untuk digantikan dengan wahana Ecopark sebagai perpaduan dari konsep Blue and Green Ancol.

Program Ancol Sayang Lingkungan, Ancol Zero Waste dan Ecopark mungkin bisa dibilang sebagai awalan dari program program ecotourism yang sudah coba dibangun oleh Ancol sebagai daya tarik baru bagi para wisatawan, disamping itu juga sekaligus merupakan sebagai bagian dari tanggungjawab sosial (Corporate Social Responsibilty) Ancol kepada masyarakat sekitar dan juga sebagai bagian tanggung jawab Ancol terhadap pelestarian lingkungan disekitar kawasan maupun wilayah Jakarta secara keseluruhan.

Ancol Sayang Lingkungan misalnya telah lama membina penduduk sekitar dalam usaha pembuatan kompos dan produk produk daur ulang. Kompos kompos yang dihasilkan juga diserap untuk keperluan pelestarian kawasan Ancol, daur ulang sampah kertas dapat dijadikan tempat tisu, bingkai foto dan lainnya yang memiliki nilai jual. Sedangkan program Ecopark akan dimanfaatkan sebagai sarana pendidikan lingkungan keanekaragamaan hayati seperti taman flaura (floras kingdom), taman fauna (faunas kingdom) yang dilengkapi oleh fasilitas multifungsi untuk permainan petualangan di alam terbuka (human kingdom).

Program-program yang mengarah kepada ecotourism inilah yang akan membedakan Ancol dengan berbagai kawasan wisata di Singapura dengan Universal Studio dan Makao yang sukses karena adanya judi, atau kawasan Hongkong dan Tokyo dengan Disneyland. Program ecotourism ini akan menjadi kebanggaan nasional dan harus bisa dijadikan contoh untuk dikembangkan oleh berbagai pengelola objek wisata di Indonesia dengan menjadikan tempat wisata dengan tetap memperhatikan kondisi lingkungan, baik lingkungan masyarakat maupun lingkungan alam.

Ecotourism-Trade-Investment
Saat ini, Ancol dengan berbagai wahana hiburannya sudah bisa disejajarkan dengan berbagai wahana permainan seperti Disney Land maupun wahana permainan lainnya di negera negara lain. Letak perbedaan yang akan membedakan Ancol dengan wahana hiburan lainnya adalah langkahnya di dalam membangun ecotourism sebagai core pariwisata lain disamping sarana hiburan yang sudah ada. Ecotourism ini juga merupakan langkah yang seiring sejalan dengan Millenium Development Goals (MDGS) poin ke 7 yakni ensure environmental sustainability dimana Ancol dapat mengintegrasikan antara kebijakan lingkungan yang berkelanjutan dengan program program wisatanya.

Poin penting dari semua ini adalah bagaimana ecotourism Ancol juga harus dapat mengikuti arah perubahan pengelolaan Ancol yang tadinya sekedar local orientation menjadi berorientasi global, artinya ecotourism harus mampu diarahkan bahwa adanya program program wisata yang peduli terhadap lingkungan tidak serta merta merugikan Ancol secara hitung-hitungan ekonomi. Untuk itu, dibutuhkan pengelolaan ecotourism Ancol dengan pola Ecotourism-Trade-Investment. Ecotourism diharapkan mampu mendorong pula proses perputaran ekonomi perdagangan (trade) dan pada akhirnya dapat mengundang investasi dalam dan luar negeri (investment) bagi Ancol dan Indonesia juga pada umumnya.

Ecotourism dapat mengundang traksaksi perdagangan telah dibuktikan melalui program Ancol Sayang Lingkungan dimana setiap produk yang dihasilkan seperti kompos maupun barang barang kerajinan daur ulang dapat diserap oleh pasar dan menghasilkan keuntungan secara ekonomi. Pola Ecotourism-Trade-Investment ini tinggal diperluas misalnya dengan juga meningkatkan produksi produk daur ulang, produk go green sekaligus juga mempersiapkan pasar seperti pasar seni dalam bentuk kluster-kluster khusus untuk memudahkan wisatawan membeli produk produk tersebut. Atau misalnya lagi, proses pembuatan kompos dan produksi daur ulang sampah kertas dapat dijadikan objek wisata baru dimana setiap wisatawan yang hadir dapat belajar langsung cara pembuatan kompos dan daur ulang sampah kertas.

Kini mengarahkan ecotourism untuk dapat memiliki efek domino terhadap transaksi perdagangan (trade) dan juga mengundang investasi (investment) ada beberapa kondisi yang perlu diperhatikan: kondisi fisik, sarana dan prasarana, kondisi ekonomi sosial, dan kondisi budaya. Kondisi fisik, sarana dan prasarana sangat terkait dengan insfrastruktur untuk memperkuat program program ecotourism Ancol. Sedangkan kondisi ekonomi sosial dan budaya sangat berkaitan dengan suprastruktur terutama kaitanya dengan perlunya adanya keterlibatan masyarakat sekitar dan juga berbagai komunitas peduli lingkungan untuk dapat mendukung program ecotourism Ancol ini.

Ada faktor faktor internal-eksternal yang juga harus diperhatikan. Faktor internal itu antara lain adalah persepsi dan kesadaran masyarakat terhadap pengembangan ecotourism Ancol, potensi dan daya tarik wisata (atraksi) ecotourism Ancol, pencapaian dan rute (akses) terhadap ecotourism Ancol, fasilitas dan jasa wisata ecotourism Ancol itu sendiri. Sedangkan dari faktor eksternal yang perlu diperhatikan juga adalah kebijakan pemerintah daerah atau dinas terkait terhadap ecotourism Ancol, dan pengembangan kerjasama dengan berbagai stake holder (lembaga keungan dan lainnya yang dirasa perlu diajak bekerjasama).

Untuk mengembangkan ecotourism Ancol dengan memperhatikan berbagai kondisi dan faktor faktor eksternal maupun internal diperlukan juga keterlibatan berbagai pihak yang membentuk cohesive collaboration antara Pemerintah Daerah DKI Jakarta—yang memiliki saham terbesar di Ancol dan juga sebagai pihak yang bertanggung jawab terhadap kondisi lingkungan hidup di wilayah Jakarta—dengan kalangan bisnis/ wirausaha (entrepreneurs) dan masyarakat (community).

Cohesive collaboration untuk mengembangkan ecoutorism Ancol dengan pola ecotorusim-trade-investment ini juga perlu didukung oleh pihak managemen pengelola. Pihak managemen pengelola selain harus mampu menjadi mediator antara pemerintah daerah, entrepreneurs, dan community juga harus memiliki 3 kemampuan di dalam pengelolaan: entrepreneurial management, costumer-driven management, global-cosmopolit orientation.

Entrepreneurial management adalah kemampuan untuk melihat setiap peluang yang ada dalam rangka semakin mengembangkan kawasan Ancol sebagai tempat pariwisata dan juga sebagai tempat pelestarian lingkungan yang tetap memiliki transaksi ekonomi perdagangan dan mampu mengundang investasi yang berujung kesejahteraan semua pihak.

Costumer-driven management adalah kemampuan dalam mendengarkan keinginan konsumen dengan merespon setiap keinginannya. Sedangkan global-cosmopolit orientation adalah kemampuan mensejajarkan Ancol dengan wahana permainan dunia lainnya, namun juga tetap memiliki kearifan lokal dengan tetap memperhatikan pengelolaan lingkungan alam dan masyarakat.

*) dipostkan untuk lomba Jurnalistik Ancol 2010 ^^

Tuesday, 4 May 2010

‘STATE CAPTURE CORRUPTION’?


Boleh saja ekonom berbeda pandangan terkait masalah sistemik ataupun tidaknya bank century jika tidak diberikan dana talangan (bailout) sebesar Rp 6,7 triliun. Perbedaan pandangan ini tidak akan pernah benar-benar mencapai sebuah titik kesepakatan diantara para ekonom itu sendiri. Setidaknya ada dua alasan yang mendasar mengapa ekonom berbeda pandangan. Pertama, perbedaan-perbedaan dalam penilaian ilmiah dimana berbeda mengenai keabsahan teori atau mengenai ukuran parameter-parameter penting. Kedua, perbedaan-perbedaan dalam nilai dimana memiliki pandangan normatif berbeda mengenai kebijakan yang seharusnya dilakukan. Namun yang pasti, penyelamatan bank century telah menimbulkan polemik dan tanda tanya besar di tengah masyarakat.

Tanda tanya itu adalah misalnya terkait dugaan bahwa alokasi dana talangan century tidak sepenuhnya dialokasikan untuk membayar kewajiban dan menyuntik modal sehingga persyaratan permodalan minimal suatu bank terpenuhi? Atau pertanyaan-pertanyaan lain terkait pengawasan Bank Indonesia dan BAPEPAM-LK yang lemah terhadap aktifitas bank century sebelum bailout? Apakah ada peraturan-peraturan yang dilanggar dalam proses penyelamatan century? Lalu terkait laporan BPK dan PPATK terkait dengan aliran dana dan transaksi yang mencurigakan? Dan juga yang tak boleh dilupakan adalah pertanyaan publik terkait bukti rekaman percakapan Budi Sampoerna—pemilik dana pihak ketiga terbesar Bank Century, sekitar Rp 2 triliun—dan mantan Kabareskrim POLRI, Komjen Susno Duadji? Semua pertanyaan ini harus segera dijelaskan dan dipertanggungjawabkan kepada publik agar tak timbul efek bola salju yang pada akhirnya akan mendeligitimasi pemerintahan SBY-Boediono yang baru berjalan seumur jagung.

Tiga skenario kekhawatiran
Ada tiga skenario kekhawatiran yang sangat mendasar dari kasus bailout Bank Century ini. Pertama, pemerintah SBY-Boediono lamban merespon pertanyaan-pertanyaan publik mengenai bailout Century dan membongkar kasus ini, hal ini ditandai salahsatunya oleh lambanya PPATK mengungkap aliran dana. Kedua, panitia angket Century yang sudah terbentuk di DPR RI akan sama nasibnya dengan panitia-panitia angket sebelumnya yang tak jelas hasilnya, sehingga kasus ini akan mengulangi tragedi BLBI tahun 1998. Ketiga, seandainya saja memang terbukti ada penumpang-penumpang gelap (free riders) yang menikmati dana talangan (bailout) Century, maka kekhawatiran selanjutnya adalah kasus ini akan mandeg tanpa kejelasan di lembaga penegak hukum seperti kepolisian, kejaksaan atau bahkan KPK. Kesimpulannya adalah jika kasus Century ini akhirnya sesuai dengan tiga skenario kekhawatiran di atas, maka benarlah bahwa hari ini korupsi telah menyandera negara (state capture corruption).

Menurut Transparasi Internasional, korupsi adalah perilaku pejabat publik, baik politisi maupun pegawai negeri, yang secara tidak wajar dan tidak legal memperkaya diri atau memperkaya mereka yang dekat dengannya, dengan menyalahgunakank kekuasaan publik yang dipercayakan kepada mereka. Amien Rais (2008) menjelaskan bahwa korupsi yang paling berbahaya adalah state capture corruption atau state-hijacked corruption yakni korupsi yang menyandera negara. Kekuasaan negara yang terdiri dari eksekutif, legislatif dan yudikatif secara sadar dan tidak, telah melakukan korupsi yang paling besar dan paling berbahaya karena yang dipertaruhkan adalah kedaulatan ekonomi, politik, bahkan kedaulatan pertahanan keamanan bangsa Indonesia.

Komitmen Presiden dan ‘social movement’
Ada sebuah harapan dan mimpi besar bahwa pemimpin negeri ini benar-benar berkomitmen untuk memberantas seluruh kasus korupsi di Indonesia. Presiden SBY harus benar-benar membuktikan seminimal-minimalnya terhadap 60-an persen pemilihnya bahwa pemerintahan dibawah kendalinya benar-benar berkomitmen terhadap pemberantasan korupsi dan penegakan hukum yang adil. Strong and clean leadership Presiden menjadi penentu arah penyelesaian kasus Century dan korupsi lainnya di Indonesia.

Berharap keadilan hukum benar–benar ditegakan adalah harga mati dalam penyelesaian kasus Century dan kasus-kasus korupsi lainnya. Jangan sampai hukum seperti sebuah pisau yang lancip ke bawah tumpul ke atas dimana hukum benar-benar ditegakan untuk rakyat miskin biasa yang melakukan kesalahan dan sebaliknya tidak benar-benar ditegakan untuk para pemegang modal dan para penguasa yang masih terus berkuasa di hadapan hukum.

Lalu dimanakah peranan masyarakakat diluar lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif? Pengawasan seluruh elemen masyarakat baik dari seluruh mahasiswa, akademisi, media massa, termasuk sebenarnya pihak tertinggi perguruan tinggi juga mesti turut bersuara untuk menunjukan bahwa elemen diluar lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif bisa menjadi sebuah gerakan sosial yang berdaulat dalam mengawasi jalannya proses penegakan hukum terkait masalah Century dan kasus-kasus korupsi lainnya. Lalu, jika kasus Century dan kasus korupsi lainnya tidak terbongkar atau bahkan tak jelas penyelesaiannya maka gerakan sosial bisa saja mengulangi sejarah turunnya Presiden Soeharto pada 1998 silam. Wallahua’lam.