Sunday, 19 December 2010

GREEN ECONOMY*

"Prinsip kesinambungan harus diperkuat sebagai landasan pelaksanaan pembangunan."
—Boutros Boutros Ghali, Mantan Sekretaris Jenderal PBB, 1994

Sekitar dasa warsa 1970, pertama kali muncul isu mengenai lingkungan dalam   pembangunan yang menjadi awal adanya istilah sustainable development atau pembangunan yang berkelanjutan (Kuncoro, 2006:13). Isu lingkungan hidup kembali mencuat seiring fenomena pemanasan global (global warming). Diyakini, fenomena ini merupakan efek revolusi industri pada akhir abad 18, sebuah revolusi yang pada akhirnya menciptakan teknologi dan dunia modern.  Pada intinya, tata dunia baru atau lama tidak akan menguntungkan apabila sistem biologis alam yang menopang ekonomi dunia tidak diperhatikan. Artinya, harus ada sebuah pembangunan yang tidak hanya memperhatikan urusan manusia saja (ekonomi) namun lebih dari itu seharusnya (das sollen) pembangunan juga memperhatikan sisi ekologis.

Tahun 1972, laporan dari Club of Rome menyebutkan bahwa, “bila tren pertumbuhan saat ini dalam penduduk dunia, industrialisasi, polusi, produksi makanan, dan deplesi sumber daya terus tidak berubah, batas pertumbuhan atas planet ini akan dicapai dalam waktu kurang dari 100 tahun mendatang. Secara matematis, sesuai ramalan Club of Rome usia bumi ini akan berakhir sekitar tahun 2072? Terlepas dari benar atau tidaknya ramalan Club of Rome, yang terpenting saat ini adalah bagaimana seharusnya kita semua berpikir secara sistematis bagaimana seharusnya menjaga kelestarian sumber daya alam (natural resources) sekaligus juga human resources. 

Robert Repetto, seorang ahli ekonomi, mengatakan bahwa sustainable development merupakan: “a development strategy that manages all assets, natural resources, and human resources, as well as financial and physical assets, for increasing long-term wealth and weel-being. Sustainable development, as a goal rejects policies and practices that support current living standards by depleting the productive base, including natural resources, and that leaves future generations with poorer prospects and greater risk than our own (Repetto, 1986:15; Meier&Rauch, 2000:555).

Lester Brown (1981; Kuncoro, 2006) menunjuk empat area utama dari sudut pandang sustainabilitas yaitu: tertinggalnya transisi energi, memburuknya sistem biologis utama (perikanan laut, padang rumput, hutan, lahan pertanian), ancaman perubahan iklim (polusi, dampak rumah kaca, dan lain-lain), serta kurangnya bahan pangan. Dalam konteks suatu negara, jika kita menarik benang merah berdasarkan kriteria keberlangsungan pembangunan menurut Lester Brown maka akan ditemukan sebuah titik temu antara pembangunan dengan ekologi. Artinya, pembangunan saat ini yang terjadi seringkali melupakan unsur ekologi atau lingkungan hidup. Setidaknya ada beberapa contoh permasalahan lingkungan yang memang terjadi pada pembangunan ekonomi suatu Negara diantaranya adalah water pollution (polusi air), air pollution (polusi udara), solid and hazardous wastes (limbah/ sampah padat dan berbahaya), soil degradation (degradasi tanah), deforestation (deforestasi), loss of biodiversity (hilangnya keanekaragaman hayati), climate changes (perubahan iklim).  

Permasalahan permasalahan lingkungan ini minimal berdampak terhadap kesehatan dan produktivitas ekonomi. Misalnya, World Development Report tahun 1992 menyatakan bahwa polusi air dan kelangkaan air bersih berdampak kepada kesehatan dimana lebih dari 2 juta orang mati dan penyakit milyaran terjadi setiap tahunnya, disamping itu terjadi kemerosotan nilai budidaya perikanan. Polusi udara pun berdampak kepada penyakit akut dan kronis terutama pernafasan dan paru paru, 300.000-700.000 manusia khususnya anak anak meninggal secara dini per tahunnya. 400 juta- 700 juta penduduk warga dunia ketiga mengalami gangguan pernafasan. 

Permasalahan sampah (waste) dalam hal ini sampah plastik pun tak kalah mengkhawatirkan. Berdasarkan data dari S.F. Department of the Environment, Worldwatch Institute, setiap tahun ada 4-5 trilyun kantong plastik yang beredar, sementara untuk bikin 100 juta kantong plastik yang non degradable saja jumlah minyak bumi yang diperlukan adalah 430.000 gallon. Kantong plastik (kresek) merupakan jenis plastik polimer sintetik, yaitu salah satu jenis plastik yang sulit terurai. Bumi membutuhkan waktu sedikitnya 500 tahun untuk bisa mengurai plastik jenis ini. Membakar pun bukan pilihan bijak. Karena jika dibakar dibawah 800 derajat celcius, justru akan menghasilkan senyawa dioksin yang berbahaya bagi kesehatan dan lingkungan hidup. Karena sifatnya yang sulit terurai, maka sampah plastik bisa menghambat proses penyerapan air oleh bumi. Ditambah dengan prilaku masyarakat kita yang masih suka membuang sampah (termasuk plastik) sembarangan hingga menutup saluran air, maka bencana banjir pun tak bisa dielakkan. 

Sampah selalu menjadi masalah bagi pemerintah, bahkan diperkirakan sampah setiap harinya di Indonesia ini mencapai 200 ribu ton. Sayangnya tingginya volume sampah itu belum tertangani secara baik oleh pemerintah karena  berbagai keterbatasan. "Program pengelohan sampah mandiri segera dilaksanakan karena sekitar 500 TPA yang ada sebanyak 90 persennya bisa dikatakan tidak layak karena belum dikelola dengan sanitasi landfill," kata Asisten Deputi Urusan Pengendalian dan Pengelolaan Limbah Domestik, Kementrian Lingkungan Hidup (KLH), Tri Bangun L Soni.

Contoh lain permasalahan lingkungan adalah deforestasi. Kerusakan hutan (deforestasi) masih tetap menjadi ancaman di Indonesia. Menurut data laju deforestasi (kerusakan hutan) periode 2003-2006 yang dikeluarkan oleh Departemen Kehutanan, laju deforestasi di Indonesia mencapai 1,17 juta hektar pertahun sehingga menempati urutan kedua terburuk di dunia. Bahkan kalau menilik data yang dikeluarkan oleh State of the World’s Forests 2007 yang dikeluarkan The UN Food & Agriculture Organization (FAO), angka deforestasi Indonesia pada periode 2000-2005 1,8 juta hektar/tahun.

Pencemaran air juga menjadi salahsatu contoh pencemaran lingkungan yang seringkali terjadi di Indonesia. Dalam PP No. 20/1990 tentang Pengendalian Pencemaran Air, pencemaran air didefinisikan sebagai : “pencemaran air adalah masuknya atau dimasukkannya mahluk hidup, zat, energi dan atau komponen lain ke dalam air oleh kegiaan manusia sehingga kualitas air turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan air tidak berfungsi lagi sesuai dengan peruntukannya” (Pasal 1, angka 2). Menteri Negara (Menneg) Lingkungan Hidup (LH) Rachmat Witoelar menyatakan sungai Bengawan Solo, Brantas, Citarum, dan puluhan sungai lainnya di Indonesia telah mengalami pencemaran dan pendangkalan (berita.kapanlagi.com).

Setali tiga uang dengan pencemaran air, pencemaran udara di Indonesia sudah sangat mengkhawatirkan. dalam skala global, Jakarta adalah kota dengan tingkat polusi terburuk nomor 3 di dunia (setelah kota di Meksiko dan Thailand). Kedua, masih dalam skala global, kadar partikel debu (particulate matter) yang terkandung dalam udara Jakarta adalah yang tertinggi nomor 9 (yaitu 104 mikrogram per meter kubik) dari 111 kota dunia yang disurvei oleh Bank Dunia pada tahun 2004. Sebagai perbandingan, Uni Eropa menetapkan angka 50 mikrogram per meter kubik sebagai ambang batas tertinggi kadar partikel debu dalam udara. Ketiga, jumlah hari dengan kualitas tidak sehat di Jakarta semakin meningkat dari tahun ke tahun. Pada tahun 2002, Jakarta dinyatakan sehat selama 22 hari, sedangkan pada tahun 2003, Jakarta dinyatakan sehat hanya selama 7 hari. Lebih lanjut, berdasarkan penelitian Kelompok Kerja Udara Kaukus Lingkungan Hidup, pada tahun 2004 dan 2005, jumlah hari dengan kualitas udara terburuk di Jakarta jauh di bawah 50 hari. Namun pada tahun 2006, jumlahnya justru naik di atas 51 hari. Dengan kondisi seperti itu, tidak berlebihan jika Jakarta dijuluki "kota polusi" karena begitu keluar dari rumah, penduduk Jakarta akan langsung berhadapan dengan polusi.

Menurut perhitungan kasar dari World Bank tahun 1994 dengan mengambil contoh kasus kota Jakarta, jika konsentrasi partikulat (PM) dapat diturunkan sesuai standar WHO, diperkirakan akan terjadi penurunan tiap tahunnya: 1400 kasus kematian bayi prematur; 2000 kasus rawat di RS, 49.000 kunjungan ke gawat darurat; 600.000 serangan asma; 124.000 kasus bronchitis pada anak; 31 juta gejala penyakit saluran pernapasan serta peningkatan efisiensi 7.6 juta hari kerja yang hilang akibat penyakit saluran pernapasan – suatu jumlah yang sangat signifikan dari sudut pandang kesehatan masyarakat. 

Sudah saatnya, pembangunan sebuah negara harus memperhatikan sisi ekologi. Oleh karena itu, pentingya mengembangkan strategi pembangunan ekonomi yang memperhatikan sustainabilitas lingkungah hidup. Pada intinya, green economy ini mengatakan bahwa masyarakat dan ekosistem di suatu daerah harus berkembang bersama-sama menuju produktivitas dan pemenuhan kebutuhan yang lebih tinggi; namun yang paling utama strategi pembangunan ini harus berkelanjutan baik dari sisi ekologi maupun sosial.  

Menurut penulis, dalam melaksanakan kebijakan green economy ini diperlukan tiga elemen penting. Pertama, pemerintah selaku central of development. Hal ini sesuai dengan amanat UUD 1945 pasal 33 ayat 3: “bumi dan air dan kekayaan yang ada di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Kedua, entrepreneurs atau swasta. Dalam hal ini, mau tidak mau pihak swasta juga harus mendukung green economy. Selama ini, mungkin paradigma yang berkembang adalah para pengusaha/wirausaha swasta seringkali tidak memperhatikan analisis dampak lingkungan terutama dalam proses produksi. Ketiga, masyarakat (komunitas). Masyarakat dalam hal ini juga memiliki peran penting dalam strategi pembangunan berkelanjutan. Proses pembangunan berwawasan lingkungan seringkali tidak didukung oleh masyarakat. Sebagai contoh praktek membuang sampah sembarangan, penebangan hutan secara ilegal, limbah produksi, pengalihan fungsi hutan menjadi ladang, beberapa prilaku yang jauh dari pembangunan yang berkelanjutan.

Dalam pembangunan yang berkelanjutan maka diperlukan masyarakat yang memahami dan menyadari green economy. Dengan demikian segitiga besar yang menyangkut keberadaan pemerintah, pihak entrepreneur (swasta), dan masyarakat memegang kendali sepenuhnya dan secara sistematis serta fungsional masing-masing memiliki peran dan fungsinya sendiri-sendiri untuk saling mendukung satu sama lain guna keberhasilan green economy yang dijalankan.

Tiga Langkah Strategi Green Economy
Apakah green economy atau ekonomi hijau itu? Menurut UNEP (Badan PBB untuk Program Lingkungan Hidup) ekonomi hijau adalah suatu model pembangunan untuk mencegah meningkatnya emisi gas rumah kaca dan mengatasi perubahan iklim. Model ekonomi hijau berperan untuk menggantikan model ekonomi 'hitam' yang boros konsumsi bahan bakar fosil, batu-bara, serta gas alam. World Bank dalam World Bank Indicators 2001 (2001:19) menyebutkan tujuan dari indikator lingkungan adalah kemampuan mempertahankan lingkungan dan regenerasi lingkungan pada tahun 2015 dengan beberapa indikatornya: negara mengembangkan pelestarian lingkungan yang efektif, populasi yang kemampuan untuk meningkatkan sumber air, biodiversity (lahan tanah yang dilindungi), efisiensi energi, dan emisi karbondioksida.  

Menurut penulis, setidaknya harus ada tiga kebijakan dalam menjalankan praktek green economy. Pertama, pemerintah bersama swasta maupun perwakilan masyarakat harus menyusun blue print mengenai green economy yang hingga saat ini belum pernah dirumuskan. Blue print yang penulis maksudkan berisi mengenai segala informasi minimal 4W+1H green economy. Apa (What) itu green economy? Siapa (Who) yang harus melaksanakannya? Mengapa (Why) harus melaksanakannya? Kapan (When) melaksanakannya? Bagaimana (How) melaksanakan green economy? Di dalam blue print harus disertai rule of the game-nya baik dalam bentuk Undang-Undang maupun peraturan daerah (Perda). 

Kedua, harus ada mekanisme reward and punishment. Dalam hal ini pemerintah sebagai central of green economy harus memberikan penghargaan kepada pihak-pihak yang berjasa dalam pembangunan berwawasan ekologi. Begitupun dengan punishment yang harus diberlakukan kepada pihak-pihak yang mencemarkan lingkungan hidup. Selain reward and punishment, pemerintah yang memiliki kekuatan hukum tetap dapat melakukan upaya pencegahan eksternalitas negatif terhadap lingkungan dapat melalui mekanisme pajak lingkungan, mekanisme subsidi kepada pelaku ekonomi untuk mengurangi pencemaran lingkungan, mekanisme restriksi/ pelarangan terhadap eksplorasi yang berlebihan terhadap sumber daya alam tertentu, memberlakukan kuota untuk sumber daya alam tertentu yang dieksplorasi.
Ketiga, harus ada beberapa pihak eksternal yang mengawasi pelaksanaan green economy, dalam hal ini yang paling memungkinkan adalah lembaga pers, DPR, dan akademisi. Ketiga elemen tersebut satu sama lain secara fungsional hadir memberikan peran dan fungsinya untuk mengarahkan, mengontrol dan memberikan evaluasi serta tanggapan dari setiap gerak langkah kebijakan, program, dan pelaksanaan kegiatan.


Refleksi
Salah satu pokok pikiran Neo-Mathusian adalah mengenai keterbatasan potensi bumi. Yang dapat dilihat dari empat asumsi dasar: non-renewable resources yang terbatas, terbatasnya kemampuan lingkungan menyerap polusi, terbatasnya lahan yang akan ditanami, dan ada batas fisik terhadap pertumbuhan penduduk dan kapital (Cole, et.al, 1975, pp. 226-235; Tjokrowinoto, 2004:9). Dengan adanya keterbatasan potensi bumi inilah Indonesia harus mampu menjadi pionir dan mampu merumuskan green economy di segala sektor untuk menciptakan sustainabilitas yang menguntungkan baik dari sisi pembangunan dan juga lingkungan hidup di Indonesia maupun dunia.


Daftar Pustaka
Berbagai sumber internet yang kesulitan ditampilkan diblogdikarenakan tulisan tidak dapat disertakan footnote dan gambar (jika ingin melihat tulisan lengkap dengan berbagai sumber dapat email ke: emailalietaja@yahoo.co.id)

Fandeli Chafid, Raharjana Destha Titi, Suyanto Agus. 2003. Pengembangan Kawasan Pedesaan sebagai Objek Wisata (Identifikasi Potensi dan Perencanaan Model Pariwisata Pedesaan Sekitar Gunung Merapi Yogyakarta). Laporan komprehensif (tidak dipublikasikan). Puspar: UGM
Kuncoro, Mudrajad. 2002. Analisis Spasial dan Regional. Yoyakarta: UPP AMP YKPN
Kuncoro, Mudrajad. 2006. Ekonomika Pembangunan Teori, Masalah, dan Kebijakan. Yogyakarta: UPP STIM YKPN
Meier, Gerald M dan James E Rauch. 2000. Leading Issue in Economic Development. USA: Oxford University Press
Todaro, Michael P dan Stephen C Smith. 2003. Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga. Edisi Kedelapan. Jakarta: Erlangga


*) Tulisan ini salahsatu pemenang di kompetisi penulisan untuk bangsa dan negara yang diselenggarakan oleh Universitas Gadjah Mada Tahun 2010




















No comments:

Post a Comment