Breakaway league, istilah baru dalam sepakbola nasional yang mulai populer setelah kehadiran Liga Primer Indonesia (LPI) gagasan Arifin Panigoro sebagai bentuk protes terhadap kepemimpinan Nurdin Halid dan Nugraha Besoes yang dianggap telah melanggar statuta FIFA. LPI bertujuan untuk menciptakan citra sepakbola Indonesia yang bersih, modern, profesional dan mandiri. Pada awalnya, kehadiran LPI sempat mengundang simpati publik karena sebagai liga tanpa APBD. Namun tak sampai seumur jagung, kompetisi LPI terhenti di tengah musim kompetisi, miliaran rupiah dana konsorsium LPI pun kini tak jelas dampaknya bagi klub apalagi bagi para konsorsium? Sehingga secara sederhana dapat disimpulkan bahwa kehadiran LPI belum dapat dijadikanrole model bagi kompetisi sepakbola nasional. Bahkan hanya terkesan sebagai alat untuk meraih simpati publik demi merebut kursi PSSI 1.
Untuk musim kompetisi 2011-2012, istilah breakaway league juga kembali digunakan. Kali ini yang menjadi breakaway league adalah Indonesia Super League (ISL) dengan 14 klub yang diinisiasi oleh elit PSSI era Nurdin Halid sebut saja Nugraha Besoes, Andi Darusalam Tabusala dan Djoko Driyono sebagai bagian sikap protes terhadap kebijakan PSSI 2011-2015 era Arifin Djohar Husein-Farid Rahman yang dikatakan telah melanggar statuta FIFA karena tidak mengakui hasil keputusan kongres PSSI di Bali, memaksakan 24 klub menjadi peserta Liga Prima Indonesia (LPI) dan dugaan ketidakadilan kepemilikian saham antara PSSI dengan klub peserta liga. Lalu pertanyaannya, bukan mencari siapa yang benar siapa yang salah, tetapi mau dibawa kemana sepakbola di negeri ini jika selalu hadir breakaway league?
Setidaknya ada 3 kerugian hadirnya breakaway league. Pertama, jika kisruh ini terus berlanjut bukannya tidak mungkin jika FIFA maupun AFC akan menjatuhkan sanksi larangan tampil kepada klub dan Timnas dalam ajang kompetisi Asia dan Dunia. Kedua, kisruh seperti ini hanya akan memperburuk pengelolaan kompetisi sepakbola nasional dan pembinaan sepakbola usia dini. Ketiga, akan melahirkan gesekan dikalangan supporter sepakbola Indonesia antara yang mendukung LPI dengan pendukung ISL yang tentunya akan mengurangi jumlah pemasukan klub dari tiket dan sponsor disamping itu gesekan antar supporter juga dikhawatirkan akan berdampak buruk terhadap kondisi ekonomi dan politik nasional.
Setelah publik jengah dengan drama Kongres Luar Biasa (KLB) PSSI yang berlarut-larut, Timnas Indonesia yang mengalami kekalahan beruntun di kualifikasi Zona Asia World Cup 2014, kini publik sepakbola Indonesia dibuat bingung dengan istilah breakaway league. Walau begitu, publik sepakbola Indonesia hanya bisa menyimpulkan bahwa sepakbola Indonesia kini hanya dimiliki oleh sekelompok elit politik dan ekonomi yang saling bertarung untuk kepentingan politik dan ekonomi kelompoknya.
Melongok Kembali Sejarah PSSI
Setelah memutuskan keluar dari perusahaan bangunan Belanda “Sizten en Lausada”, Soeratin Sosrosoegondo berkumpul dengan para wakil dari berbagai daerah seperti Sjamsoedin (Voetbalbond Indonesische Jakarta), Gatot (Bandoengsche Indonesische Voetbal Bond (BIVB)), Daslam Hadiwasito, A.Hamid, M. Amir Notopratomo (Persatuan Sepakbola Mataram (PSM) Yogyakarta), Soekarno (Vortenlandsche Voetbal Bond (VVB) Solo), Kartodarmoedjo (Madioensche Voetbal Bond (MVB)), E.A Mangindaan (Indonesische Voetbal Bond Magelang (IVBM)), Pamoedji (Soerabajashe Indonesische Voetbal Bond (SIVB)), dari pertemuan tersebut lahirlah PSSI (Persatoean Sepakraga Seloeroeh Indonesia) pada 19 April 1930. Sebuah komitemen besar dari para pelaku sejarah sepakbola nasional yang menjadikan sepakbola bukan untuk kepentingan politik dan ekonomi kelompok, melainkan kepentingan dan alat perjuangan revolusi politik dan ekonomi seluruh rakyat Indonesia melawan penajajah.
Sekiranya memang para elit sepakbola yang mengaku cinta kepada sepakbola nasional harus melihat kembali sejarah berdirinya PSSI dan sepakbola di negeri ini. Tidak ada dalam catatan sejarah masa lalu PSSI diperebutkan oleh kepentingan politik dan ekonomi sekelompok orang, yang ada hanyalah sepakbola dan PSSI sebagai alat nasionalisme melawan penjajah. Sejarah mengatakan bahwa sepakbola bukan sekedar permainan tetapi sebagai alat revolusi, bukan untuk sekelompok, melainkan seluruh lapisan bangsa Indonesia. Publik sepakbola Indonesia memang menginginkan Timnas Indonesia berlaga di World Cup seperti pada piala dunia tahun 1938 atas nama Dutch East Indies yang diwakili oleh 9 pemain Indonesia. Namun, sebelum terlalu jauh memikirkan World Cup perbaiki dulu mentalitas para elit sepakbola di negeri ini, duduk bersama jauh lebih baik ketimbang hanya untuk sekedar menciptakan breakaway league. []
No comments:
Post a Comment