Kondisi ekonomi makro yang membaik pada
periode 1997-2004, ternyata belum mampu mendorong sektor riil untuk menyerap
kembali pengangguran akibat krisis dan tambahan tenaga kerja muda.[1]
Tabel 1. Population and Type of Activity 2001-2005
Type
Of Activity
|
2001
|
2002
|
2003
|
2004
|
2005
|
Population15+
|
144.033.873
|
148.729.934
|
151.406.298
|
153.923.648
|
155.549.736
|
Working
|
90.807.417
|
91.647.166
|
92.810.791
|
93.722.036
|
94.948.118
|
Unemployment
|
8.005.031
|
9.132.104
|
9.820.011
|
10.251.351
|
10.854.254
|
Sumber: www.bps.go.id
Tabel 1 Population
and Type of Activity menjelaskan bahwa dari tahun 2001-2005 jumlah angkatan
kerja[2] di Indonesia bertambah
cukup signifikan sekitar 11 juta jiwa atau sekitar 8%. Jumlah pengangguran pun
meningkat dari 8 juta jiwa menjadi sekitar 10,8 juta jiwa di tahun 2005.
Angka pengangguran yang tinggi
merupakan pemborosan-pemborosan sumber daya dan potensi yang ada, menjadi beban
keluarga dan masyarakat, sumber utama kemiskinan, dapat mendorong peningkatan
keresahan sosial dan kriminal, dan dapat menghambat pembangunan dalam jangka
panjang. Secara garis besarnya, pengangguran akan berdampak kepada pendapatan
per kapita seseorang, pendapatan negara, menjadi beban psikologis, psikis, dan
biaya sosial (Alam S, 2003: 47).
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat adanya penurunan
jumlah pengangguran di Indonesia khususnya di tahun 2007 dan Februari 2008.
Tahun 2007 pengangguran menurun sekitar 384 ribu jiwa. Jumlah penganggur pada
Februari 2008 sebesar 9,43 juta orang, berkurang 584 ribu dibandingkan dengan
Agustus 2007 atau berkurang 1,12 juta orang dibanding pada Februari 2007 yang
mencapai 10,55 juta orang.
Lalu
bagaimanakah jumlah pengangguran pasca krisis global yang melanda AS dan
berefek ke Indonesia? Akibat munculnya krisis global yang berbuntut dengan
adanya pemutusan hubungan kerja (PHK) atau dirumahkannya karyawan oleh
perusahaan tempat mereka bekerja telah bertambah. "Jumlah pengangguran
kini (Februari 2009, pen) bertambah sebanyak 79 ribu orang, sehingga total
penduduk Indonesia yang tidak memiliki pekerjaan mencapai hampir 10 juta,"
kata Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Erman Suparno.[3]
Di dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional
(RPJMN) 2004-2009, dijabarkan bahwa ada berbagai permasalahan iklim
ketenagakerjaan di Indonesia.
Salahsatunya adalah seperti yang telah diungkapkan di atas bahwa adanya
peningkatan jumlah pengangguran terbuka selama 5 tahun terakhir.[4]
Masalah
selanjutnya adalah perbedaan upah yang semakin lebar antara pekerja formal dan
informal yang menimbulkan kesenjangan pendapatan. Padahal masalah kesenjangan
adalah salahsatu dari tiga parameter berhasil atau tidaknya pembangunan ekonomi
menurut Dudley Seers (1973) selain pengurangan jumlah pengangguran dan
perbaikan angka kemiskinan.[5]
Sebelum
krisis ekonomi 1998, upah pekerja informal mengikuti pola upah pekerja formal.
Apabila upah pekerja formal meningkat maka upah pekerja informal ikut meningkat
pula. Para pekerja yang bekerja di industri besar upahnya cenderung meningkat
dan sekarang secara riil sudah 20% di atas upah riil[6]
sebelum krisis terjadi. Sedangkan upah pekerja informal cenderung tidak
meningkat dan hanya sebesar 80% dibandingkan upah riil sebelum krisis.
Todaro dan Smith (2003:235) mengatakan bahwa ketimpangan
pendapatan yang ekstrem menyebabkan inefisiensi ekonomi, tingkat tabungan
secara keseluruhan di dalam perekonomian cenderung rendah, terjadi alokasi aset
yang tidak efisien, disparitas pendapatan yang ekstrem melemahkan stabilitas
sosial dan solidaritas karena ketidakadilan.
Saat
ini pertanyaannya adalah kebijakan ekonomi diarahkan kemana: menciptakan
lapangan pekerjaan formal atau modern yang seluas-luasnya sesuai arahan
kebijakan RPJMN untuk mengurangi ketimpangan pendapatan yang ada? Ataukah tetap
memperkuat lapangan kerja informal karena kondisi pasar tenaga kerja Indonesia
bersifat dualistik, yaitu sebagian besar (70%) dari angkatan kerja bekerja pada
lapangan kerja informal; sebagian besar memiliki keterampilan rendah, yaitu
sekitar 55% adalah lulusan sekolah dasar ke bawah?
Selain
pengangguran dan ketimpangan,[7]
masalah kemiskinan menjadi parameter keberhasilan pembangunan ekonomi di sebuah
negara.[8]
Untuk itu, diperlukan langkah nyata untuk menyelesaikan ketiga masalah pokok
pembangunan dan untuk meredam gejolak ekonomi akibat krisis global.
Menurut hemat penulis pemerintahan yang baru 2009-2014
perlu mengambil langkah awal untuk menekan gejolak krisis global yang masih
terasa hingga saat ini dengan memperkuat lapangan kerja informal (UMKM). Hal
ini lebih realistis dalam jangka pendek ketimbang menciptakan lapangan kerja
baru yang modern, karena untuk menciptakan lapangan kerja perlu adanya
investasi besar (dalam ataupun luar negeri) dan nampaknya untuk kondisi saat
ini dimana sebagian besar perusahaan besar terkena dampak krisis masih belum
memungkinkan.
Tuntutan untuk memperluas
partisipasi masyarakat dalam pembangunan nasional tertumpu pada sektor UMKM,
salah satu alasannya adalah karena UMKM banyak menyerap tenaga kerja dan kontribusinya terhadap produksi
nasional, jumlah unit usaha dan pengusaha.
Kontribusi UMKM dalam
pendapatan domestik bruto (PDB) pada tahun 2003 adalah sebesar 56,7 persen dari
total PDB nasional, terdiri dari kontribusi usaha mikro dan kecil sebesar 41,1
persen dan skala usaha menengah sebesar 15,6 persen. Atas dasar harga konstan
tahun 1993, laju pertumbuhan PDB UMKM pada tahun 2003 tercatat sebesar 4,6
persen atau tumbuh lebih cepat daripada PDB nasional yang tercatat sebesar 4,1
persen.
Departemen Koperasi dan Usaha
Kecil Menengah melaporkan bahwa di tahun 2004 UMKM berkontribusi
terhadap penciptaan PDB nasional (menurut harga berlaku) tercatat sebesar Rp 1.271.990.100 juta
(55,96 persen) dari total PDB nasional, lalu meningkat menjadi Rp
1.480.002.900 juta pada tahun 2005.
Pada tahun 2003, jumlah UMKM
adalah sebanyak 42,4 juta unit usaha atau 99,9% dari jumlah seluruh unit usaha
dan dapat menyerap lebih dari 7 juta tenaga pekerja atau 99,5% dari jumlah
tenaga kerja, meliputi usaha mikro dan kecil sebanyak 70,3 juta tenaga kerja
dan usaha menengah sebanyak 8,7 juta tenaga kerja.
Di tahun 2004, Kementerian Koperasi dan UKM
mencatat sektor UMKM dapat menyerap tenaga kerja sekitar 83,2 juta jiwa, naik
menjadi 85,4 juta jiwa di tahun 2005.
Disisi lain, sektor UMKM juga turut berkontribusi terhadap nilai investasi di
Indonesia, rata-rata nilai investasi sektor UMKM dari tahun 2003-2006 berjumlah
Rp 267.664 miliar per tahunnya. Nilai ekspor sektor UMKM juga mengalami peningkatan. Tahun 2005, jumlah ekspor sementara sektor UMKM
mencapai Rp 110.338 miliar meningkat menjadi Rp 122.200 miliar pada tahun 2006.
Kontribusi UMKM pada tahun 2007 mencapai Rp
2.121,3 triliun atau 53,6% dari total produk domestik bruto (PDB) Indonesia
pada 2007 yang mencapai Rp 3.957,4 triliun. PDB Indonesia pada 2007 tumbuh 6,3%
terhadap 2006. Bila dirinci menurut skala usaha, pertumbuhan UMKM mencapai 6,4%
sedangkan usaha besar tumbuh 6,2%.
Pertumbuhan PDB UMKM 2007 terjadi pada semua
sektor ekonomi. Pertumbuhan tertinggi terjadi pada sektor bangunan 9,3%,
diikuti sektor perdagangan, hotel dan restoran 8,5%, dan sektor pertambangan
dan penggalian 7,8%. Menurut data Menegkop, jumlah populasi UMKM pada 2007
mencapai 49,8 juta unit usaha atau 99,99% terhadap total unit usaha di
Indonesia.
Sementara jumlah tenaga kerjanya mencapai
91,8 juta orang atau 97,3% terhadap seluruh tenaga kerja Indonesia. Sedangkan
hasil ekspor produksi UMKM selama 2007 mencapai Rp 142,8 triliun atau 20%
terhadap ekspor nonmigas nasional sebesar Rp 713,4 triliun. Nilai investasi
fisik UMKM yang dinyatakan dengan angka pembentukan modal tetap bruto (PMTB)
pada 2007 mencapai Rp 462,01 triliun atau 46,96% terhadap total PMTB Indonesia.
Melihat fakta di atas,
pengembangan UMKM sangat relevan dilakukan di Indonesia. Di tengah krisis
keuangan global yang sedang mengancam perekonomian tiap negara, mengembangkan
UMKM (sektor riil) dapat menjadi salah satu pilihan mengantisipasi krisis
keuangan global, membangun kemandirian ekonomi nasional serta memperkuat pasar
domestik.
Menurut Masson (1999) dengan kuatnya
pasar domestik, ketergantungan terhadap Negara tujuan ekspor utama akan
berkurang, sehingga efek contagion dari krisis yang terjadi di negara
lain dapat dikurangi. Dengan kuatnya pasar domestik juga memberikan jaminan
perekonomian akan tetap dapat tumbuh, meskipun pasar ekspor ke luar negari
mengalami kelesuan.[9]
Pengembangan
UMKM bukan sekedar untuk mengantisipasi krisis keuangan global yang sedang
terjadi di Amerika Serikat dan berimbas kepada seluruh negara di dunia. Lebih
dari sekedar alat antisipasi krisis saat ini, pengembangan UMKM harus menjadi
jawaban dari pertanyaan seorang ahli ekonomi, Prof Dudley Seers (Kuncoro,
2006). Dudley Seers (1973; Kuncoro, 2006) menegaskan keberhasilan pembangunan
ekonomi terlihat dari jawaban atas tiga pertanyaan. What has been happening
to proverty? What has been happening to unemployment? What has
been to inequality?
[1] Republik Indonesia. 2005.
Strategi Nasional Penanggulangan Kemiskinan. Jakarta: Komite
Penanggulangan Kemiskinan.
[2] Angkatan kerja
(Ehrenberg dan Smith, 2000:27) adalah all those over 16 years of age are
either employed, actively seeking work, or expecting recall from layoff.
Standard angkatan kerja di Indonesia agak sedikit berbeda, yaitu menurut Badan
Pusat Statistik, tenaga kerja (manpower) adalah seluruh penduduk dalam
usia kerja (berusia 15 tahun atau lebih) yang potensial dapat memproduksi
barang dan jasa. Lihat, http://www.datastatistik-indonesia.com/content/view/801/801/1/0/
.
[3] Akibat Krisis Global Penganggur Tambah 79 ribu orang. http://www.news.roll.co.id/ekonomiakeuangan/41-ekonomi-a-keuangan/24007-akibat-krisis global-penganggur-tambah-79-ribu-orang.html
[5] Lihat dalam
Kuncoro, Mudrajad. 2006. Ekonomika Pembangunan-Teori, Masalah, dan Kebijakan.
Edisi Keempat. Yogyakarta: UPP STIM YKPN. Hlm. 11
[6] Upah riil adalah pendapatan nominal yang diterima
pekerja dibagi dengan Indeks Harga Konsumen (Ehrenberg dan Smith, 2000)
[7] Tingkat ketimpangan ekonomi menurut Faisal Basri
selama tahun 2007 meningkat dari 0,34 persen menjadi 0,37 persen. Lihat,
“Rakyat Belum Sejahtera”, Kompas, 29/12/2007
[8] Laporan Badan Pusat Statistik (BPS) 2007 menyebutkan
bahwa jumlah orang miskin di Indonesia berkurang dari tahun sebelumnya. Penduduk
miskin tinggal 37,17 juta jiwa atau
sekitar 16,58% dari jumlah penduduk di Indonesia. Angka kemiskinan ini jauh
lebih baik dibandingkan tahun 2006 yang mencapai 39,30 juta jiwa (17,75%), ada
penurunan orang miskin sekitar 2,13 juta jiwa.
[9] Dalam jurnal Multiple Equlibria, Contagion, and the Emerging
market Crises. Paul R. Masson. International Monetary Fund Working Paper. November 1999
No comments:
Post a Comment