Thursday 10 November 2011

Small is Beautiful

Kondisi ekonomi makro yang membaik pada periode 1997-2004, ternyata belum mampu mendorong sektor riil untuk menyerap kembali pengangguran akibat krisis dan tambahan tenaga kerja muda.[1]
Tabel 1. Population and Type of Activity 2001-2005
Type
Of Activity
2001
2002
2003
2004
2005
Population15+
144.033.873
148.729.934
151.406.298
153.923.648
155.549.736
Working
90.807.417
91.647.166
92.810.791
93.722.036
94.948.118
Unemployment
8.005.031
9.132.104
9.820.011
10.251.351
10.854.254
Sumber: www.bps.go.id
Tabel 1 Population and Type of Activity menjelaskan bahwa dari tahun 2001-2005 jumlah angkatan kerja[2] di Indonesia bertambah cukup signifikan sekitar 11 juta jiwa atau sekitar 8%. Jumlah pengangguran pun meningkat dari 8 juta jiwa menjadi sekitar 10,8 juta jiwa di tahun 2005. 
Angka pengangguran yang tinggi merupakan pemborosan-pemborosan sumber daya dan potensi yang ada, menjadi beban keluarga dan masyarakat, sumber utama kemiskinan, dapat mendorong peningkatan keresahan sosial dan kriminal, dan dapat menghambat pembangunan dalam jangka panjang. Secara garis besarnya, pengangguran akan berdampak kepada pendapatan per kapita seseorang, pendapatan negara, menjadi beban psikologis, psikis, dan biaya sosial (Alam S, 2003: 47).
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat adanya penurunan jumlah pengangguran di Indonesia khususnya di tahun 2007 dan Februari 2008. Tahun 2007 pengangguran menurun sekitar 384 ribu jiwa. Jumlah penganggur pada Februari 2008 sebesar 9,43 juta orang, berkurang 584 ribu dibandingkan dengan Agustus 2007 atau berkurang 1,12 juta orang dibanding pada Februari 2007 yang mencapai 10,55 juta orang.
 Lalu bagaimanakah jumlah pengangguran pasca krisis global yang melanda AS dan berefek ke Indonesia? Akibat munculnya krisis global yang berbuntut dengan adanya pemutusan hubungan kerja (PHK) atau dirumahkannya karyawan oleh perusahaan tempat mereka bekerja telah bertambah. "Jumlah pengangguran kini (Februari 2009, pen) bertambah sebanyak 79 ribu orang, sehingga total penduduk Indonesia yang tidak memiliki pekerjaan mencapai hampir 10 juta," kata Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Erman Suparno.[3]
Di dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2004-2009, dijabarkan bahwa ada berbagai permasalahan iklim ketenagakerjaan di Indonesia.  Salahsatunya adalah seperti yang telah diungkapkan di atas bahwa adanya peningkatan jumlah pengangguran terbuka selama 5 tahun terakhir.[4]
            Masalah selanjutnya adalah perbedaan upah yang semakin lebar antara pekerja formal dan informal yang menimbulkan kesenjangan pendapatan. Padahal masalah kesenjangan adalah salahsatu dari tiga parameter berhasil atau tidaknya pembangunan ekonomi menurut Dudley Seers (1973) selain pengurangan jumlah pengangguran dan perbaikan angka kemiskinan.[5]
            Sebelum krisis ekonomi 1998, upah pekerja informal mengikuti pola upah pekerja formal. Apabila upah pekerja formal meningkat maka upah pekerja informal ikut meningkat pula. Para pekerja yang bekerja di industri besar upahnya cenderung meningkat dan sekarang secara riil sudah 20% di atas upah riil[6] sebelum krisis terjadi. Sedangkan upah pekerja informal cenderung tidak meningkat dan hanya sebesar 80% dibandingkan upah riil sebelum krisis.
Todaro dan Smith (2003:235) mengatakan bahwa ketimpangan pendapatan yang ekstrem menyebabkan inefisiensi ekonomi, tingkat tabungan secara keseluruhan di dalam perekonomian cenderung rendah, terjadi alokasi aset yang tidak efisien, disparitas pendapatan yang ekstrem melemahkan stabilitas sosial dan solidaritas karena ketidakadilan.
            Saat ini pertanyaannya adalah kebijakan ekonomi diarahkan kemana: menciptakan lapangan pekerjaan formal atau modern yang seluas-luasnya sesuai arahan kebijakan RPJMN untuk mengurangi ketimpangan pendapatan yang ada? Ataukah tetap memperkuat lapangan kerja informal karena kondisi pasar tenaga kerja Indonesia bersifat dualistik, yaitu sebagian besar (70%) dari angkatan kerja bekerja pada lapangan kerja informal; sebagian besar memiliki keterampilan rendah, yaitu sekitar 55% adalah lulusan sekolah dasar ke bawah?      
Selain pengangguran dan ketimpangan,[7] masalah kemiskinan menjadi parameter keberhasilan pembangunan ekonomi di sebuah negara.[8] Untuk itu, diperlukan langkah nyata untuk menyelesaikan ketiga masalah pokok pembangunan dan untuk meredam gejolak ekonomi akibat krisis global.
Menurut hemat penulis pemerintahan yang baru 2009-2014 perlu mengambil langkah awal untuk menekan gejolak krisis global yang masih terasa hingga saat ini dengan memperkuat lapangan kerja informal (UMKM). Hal ini lebih realistis dalam jangka pendek ketimbang menciptakan lapangan kerja baru yang modern, karena untuk menciptakan lapangan kerja perlu adanya investasi besar (dalam ataupun luar negeri) dan nampaknya untuk kondisi saat ini dimana sebagian besar perusahaan besar terkena dampak krisis masih belum memungkinkan.
Tuntutan untuk memperluas partisipasi masyarakat dalam pembangunan nasional tertumpu pada sektor UMKM, salah satu alasannya adalah karena UMKM banyak menyerap tenaga kerja dan kontribusinya terhadap produksi nasional, jumlah unit usaha dan pengusaha. 
Kontribusi UMKM dalam pendapatan domestik bruto (PDB) pada tahun 2003 adalah sebesar 56,7 persen dari total PDB nasional, terdiri dari kontribusi usaha mikro dan kecil sebesar 41,1 persen dan skala usaha menengah sebesar 15,6 persen. Atas dasar harga konstan tahun 1993, laju pertumbuhan PDB UMKM pada tahun 2003 tercatat sebesar 4,6 persen atau tumbuh lebih cepat daripada PDB nasional yang tercatat sebesar 4,1 persen.
Departemen Koperasi dan Usaha Kecil Menengah melaporkan  bahwa di tahun 2004 UMKM berkontribusi terhadap penciptaan PDB nasional (menurut harga berlaku) tercatat sebesar Rp 1.271.990.100 juta (55,96 persen) dari total PDB nasional, lalu meningkat menjadi Rp 1.480.002.900 juta pada tahun 2005.
Pada tahun 2003, jumlah UMKM adalah sebanyak 42,4 juta unit usaha atau 99,9% dari jumlah seluruh unit usaha dan dapat menyerap lebih dari 7 juta tenaga pekerja atau 99,5% dari jumlah tenaga kerja, meliputi usaha mikro dan kecil sebanyak 70,3 juta tenaga kerja dan usaha menengah sebanyak 8,7 juta tenaga kerja.
 Di tahun 2004, Kementerian Koperasi dan UKM mencatat sektor UMKM dapat menyerap tenaga kerja sekitar 83,2 juta jiwa, naik menjadi 85,4 juta jiwa di tahun 2005. Disisi lain, sektor UMKM juga turut berkontribusi terhadap nilai investasi di Indonesia, rata-rata nilai investasi sektor UMKM dari tahun 2003-2006 berjumlah Rp 267.664 miliar per tahunnya. Nilai ekspor sektor UMKM juga mengalami peningkatan. Tahun 2005, jumlah ekspor sementara sektor UMKM mencapai Rp 110.338 miliar meningkat menjadi Rp 122.200 miliar pada tahun 2006.
Kontribusi UMKM pada tahun 2007 mencapai Rp 2.121,3 triliun atau 53,6% dari total produk domestik bruto (PDB) Indonesia pada 2007 yang mencapai Rp 3.957,4 triliun. PDB Indonesia pada 2007 tumbuh 6,3% terhadap 2006. Bila dirinci menurut skala usaha, pertumbuhan UMKM mencapai 6,4% sedangkan usaha besar tumbuh 6,2%.
Pertumbuhan PDB UMKM 2007 terjadi pada semua sektor ekonomi. Pertumbuhan tertinggi terjadi pada sektor bangunan 9,3%, diikuti sektor perdagangan, hotel dan restoran 8,5%, dan sektor pertambangan dan penggalian 7,8%. Menurut data Menegkop, jumlah populasi UMKM pada 2007 mencapai 49,8 juta unit usaha atau 99,99% terhadap total unit usaha di Indonesia.
Sementara jumlah tenaga kerjanya mencapai 91,8 juta orang atau 97,3% terhadap seluruh tenaga kerja Indonesia. Sedangkan hasil ekspor produksi UMKM selama 2007 mencapai Rp 142,8 triliun atau 20% terhadap ekspor nonmigas nasional sebesar Rp 713,4 triliun. Nilai investasi fisik UMKM yang dinyatakan dengan angka pembentukan modal tetap bruto (PMTB) pada 2007 mencapai Rp 462,01 triliun atau 46,96% terhadap total PMTB Indonesia.
Melihat fakta di atas, pengembangan UMKM sangat relevan dilakukan di Indonesia. Di tengah krisis keuangan global yang sedang mengancam perekonomian tiap negara, mengembangkan UMKM (sektor riil) dapat menjadi salah satu pilihan mengantisipasi krisis keuangan global, membangun kemandirian ekonomi nasional serta memperkuat pasar domestik.
Menurut Masson (1999) dengan kuatnya pasar domestik, ketergantungan terhadap Negara tujuan ekspor utama akan berkurang, sehingga efek contagion dari krisis yang terjadi di negara lain dapat dikurangi. Dengan kuatnya pasar domestik juga memberikan jaminan perekonomian akan tetap dapat tumbuh, meskipun pasar ekspor ke luar negari mengalami kelesuan.[9]
Pengembangan UMKM bukan sekedar untuk mengantisipasi krisis keuangan global yang sedang terjadi di Amerika Serikat dan berimbas kepada seluruh negara di dunia. Lebih dari sekedar alat antisipasi krisis saat ini, pengembangan UMKM harus menjadi jawaban dari pertanyaan seorang ahli ekonomi, Prof Dudley Seers (Kuncoro, 2006). Dudley Seers (1973; Kuncoro, 2006) menegaskan keberhasilan pembangunan ekonomi terlihat dari jawaban atas tiga pertanyaan. What has been happening to proverty? What has been happening to unemployment? What has been to inequality?




[1] Republik Indonesia. 2005. Strategi Nasional Penanggulangan Kemiskinan. Jakarta: Komite Penanggulangan Kemiskinan.
[2]  Angkatan kerja (Ehrenberg dan Smith, 2000:27) adalah all those over 16 years of age are either employed, actively seeking work, or expecting recall from layoff. Standard angkatan kerja di Indonesia agak sedikit berbeda, yaitu menurut Badan Pusat Statistik, tenaga kerja (manpower) adalah seluruh penduduk dalam usia kerja (berusia 15 tahun atau lebih) yang potensial dapat memproduksi barang dan jasa. Lihat, http://www.datastatistik-indonesia.com/content/view/801/801/1/0/ .
[4] Lihat, RPJMN 2004-2009. Jakarta: Sinar Grafika cetakan tahun 2006
[5] Lihat dalam Kuncoro, Mudrajad. 2006. Ekonomika Pembangunan-Teori, Masalah, dan Kebijakan. Edisi Keempat. Yogyakarta: UPP STIM YKPN. Hlm. 11
[6] Upah riil adalah pendapatan nominal yang diterima pekerja dibagi dengan Indeks Harga Konsumen (Ehrenberg dan Smith, 2000)
[7] Tingkat ketimpangan ekonomi menurut Faisal Basri selama tahun 2007 meningkat dari 0,34 persen menjadi 0,37 persen. Lihat, “Rakyat Belum Sejahtera”, Kompas, 29/12/2007
[8] Laporan Badan Pusat Statistik (BPS) 2007 menyebutkan bahwa jumlah orang miskin di Indonesia berkurang dari tahun sebelumnya. Penduduk miskin tinggal 37,17 juta jiwa atau sekitar 16,58% dari jumlah penduduk di Indonesia. Angka kemiskinan ini jauh lebih baik dibandingkan tahun 2006 yang mencapai 39,30 juta jiwa (17,75%), ada penurunan orang miskin sekitar 2,13 juta jiwa.
[9] Dalam jurnal Multiple Equlibria, Contagion, and the Emerging market Crises. Paul R. Masson. International Monetary Fund Working Paper. November 1999

No comments:

Post a Comment