|
Sumber foto: wartaaceh.com |
Setelah
memutuskan keluar dari perusahaan bangunan Belanda “Sizten en Lausada”,
Soeratin Sosrosoegondo berkumpul dengan para wakil dari berbagai daerah seperti
Sjamsoedin (Voetbalbond Indonesische Jakarta), Gatot (Bandoengsche Indonesische
Voetbal Bond (BIVB)), Daslam Hadiwasito, A.Hamid, M. Amir Notopratomo
(Persatuan Sepakbola Mataram (PSM) Yogyakarta), Soekarno (Vortenlandsche
Voetbal Bond (VVB) Solo), Kartodarmoedjo (Madioensche Voetbal Bond (MVB)), E.A
Mangindaan (Indonesische Voetbal Bond Magelang (IVBM)), Pamoedji (Soerabajashe Indonesische
Voetbal Bond (SIVB)), dari pertemuan tersebut lahirlah PSSI (Persatoean
Sepakraga Seloeroeh Indonesia) pada 19 April 1930. Sebuah komitemen besar dari
para pelaku sejarah sepakbola nasional yang menjadikan sepakbola bukan untuk
kepentingan politik dan ekonomi kelompok, melainkan kepentingan dan alat
perjuangan revolusi politik dan ekonomi seluruh rakyat Indonesia melawan
penajajah.
Sekiranya
memang para elit sepakbola yang mengaku cinta kepada sepakbola nasional harus
melihat kembali sejarah berdirinya PSSI dan sepakbola di negeri ini. Tidak ada
dalam catatan sejarah masa lalu PSSI diperebutkan oleh kepentingan politik dan
ekonomi sekelompok orang, yang ada hanyalah sepakbola dan PSSI sebagai alat
nasionalisme melawan penjajah. Sejarah mengatakan bahwa sepakbola bukan sekedar
permainan tetapi sebagai alat revolusi, bukan untuk sekelompok, melainkan
seluruh lapisan bangsa Indonesia. Publik sepakbola Indonesia memang
menginginkan Timnas Indonesia berlaga di World Cup seperti pada piala dunia
tahun 1938 atas nama Dutch East Indies yang diwakili oleh 9 pemain Indonesia.
Namun, sebelum terlalu jauh memikirkan World Cup perbaiki dulu mentalitas para
elit sepakbola di negeri ini, duduk bersama jauh lebih baik ketimbang hanya
untuk sekedar menciptakan breakaway league. []
No comments:
Post a Comment