Perkenalkan nama Saya Rizky Febriana. Saat ini bekerja sebagai staf di salah satu perusahaan. Karena sudah bekerja maka beasiswa BI saya di stop. Beasiswa Bapak Ibu. hehe... Rupanya dianggap sudah bisa mandiri. Saya juga baru saja menikah
tahun lalu tanggal 10 Maret 2013. Orang kalo sudah menikah biasanya pantang masih tinggal di PIM alias di Pondok Indah Mertua... xixixi...
Beasiswa BI distop, harus "meninggalkan" rumah di PIM? Bagaimana perasaan Anda? Hehe... tapi karena Kita sudah menempuh hidup baru, life must go on. Maka semua itu dimulai dengan mengontrak rumah dari April 2013 sampe sekarang. Eh suatu hari ketika sedang naik motor dengan istri ada spanduk bertuliskan "hari gini masih ngontrak?" Kata-kata yang menohok sambil bilang sakitnya tuh disini. Hehe...
Ada benernya juga sih,soalnya semut aja punya rumah! hehe... Laki-laki yang mengetahui kalo semut aja punya rumah harus ikut
termotivasi dong. Saya dan istri kalo waktu kerja lagi luang browsing cari-cari rumah yang dijual. Sudah ada ratusan list rumah yang berada dipinggiran Jakarta ya kira-kira kalo dari kantor PP bisa 5 jam sendiri perjalanannya. Hampir setiap akhir pekan kita kunjungi rumah-rumah yang kira-kira sesuai kantong. Sudah ada 25 rumah yang Kita datangi, dan ini adalah rumah ke-25 itu. Rumah
second di Bojong Gede, Kabupaten Bogor yang harganya Rp350 juta (LB/LT 120/120 m2). Kira-kira Saya dan istri sanggup gak?
|
Sumber: Berbagai sumber, diolah |
Kalo disimulasikan dari penghasilan pribadi bulanan, dengan asumsi Suku Bunga Dasar Kredit (SBDK) KPR yang mencapai rata-rata 12%, DP 30% (LB>70 m2) dengan tenor 15 tahun maka harga rumah maksimum yang bisa Saya beli sekitar Rp189 juta, itupun pinjaman dari Bank yang turun hanya Rp132 juta (Loan to Value 70%) dan harus membayar DP rumah (30%) sekitar Rp56,78 juta dengan cicilan bulanan (30% dari gaji) mencapai Rp1,59 jutaan. Tolong carikan harga segitu di Jakarta? Bahkan Dipinggiranpun kini sulit mencari harga Rp189 juta. Kalau begitu apakah Saya gak bisa beli rumah
second seharga Rp350 juta?
Bagaimana kalo joint income dengan istri? Dengan asumsi yang sama seperti di atas, ketika joint income maka Saya bisa beli rumah yang harganya Rp282 juta, dengan syarat bayar DP dulu Rp84 juta karena LTV dari bank hanya Rp197 juta dimana cicilan bulanan sekitar Rp2,37 juta. Maka tetap nggak bisa Saya beli yang Rp350 juta untuk saat ini. Kecuali Saya punya fresh money untuk DP (Rp84 juta) + selisih dari Rp350-Rp282(Rp68 juta)=Rp152 juta. Uang darimana? hihihi... bahkan untuk DPnya saja masih
pusing. :)
Saya jadi berpikir, bagaimana dengan Sahabat-sahabat Saya yang pendapatannya adalah pendapatan rata-rata rakyat Indonesia sekitar USD3475, atau sekitar Rp41,7 juta setahun dengan kurs Rp12 ribu, atau sekitar Rp3,5 juta per bulannya. Maka rata-rata rumah maksimal yang bisa dibeli sekitar Rp124 juta. Lalu bagaimana dengan MBR (Masyarakat Berpenghasilan Rendah) yang pendapatannya di bawah rata-rata, yang UMR nya Rp1 juta perbulan bahkan kurang? Masih banyak loh yang UMR nya di sekitaran
segitu, baik level provinsi (UMP) maupun level kabupaten/kota (UMK).
Maka jangan heran kalau ada backlog kebutuhan rumah. Kita abaikan dulu sementara kriteria rumah yang layak dan tidak layak huni, lihat dulu backlog di Indonesia. Menurut BPS, pada tahun 2012 setidaknya terdapat sekitar 20% rumah tangga di Indonesia yang belum memiliki rumah. Dengan jumlah penduduk sekitar 245 juta maka terdapat sekitar 9,8 juta rumah tangga di Indonesia yang belum memiliki rumah. Sementara menurut Kemenpera backlog mencapai 15 juta. Sedangkan menurut Indonesia Property Watch diprediksi peningkatan kebutuhan rumah atau backlog di dalam negeri untuk tahun 2013 mencapai 21,7 juta. Jumlah tersebut meningkat 60% dibandingkan dengan backlog perumahan pada 2010 yang hanya sekitar 13,6 juta unit dan melonjak sekitar 45% dibandingkan dengan 2012 yang mencapai 15 juta unit.
Artinya apa? Artinya problem dalam memiliki rumah pertama dialami oleh banyak orang. Menyadur kata-kata Bang Napi, semua terjadi bukan karena tidak ada niat dari pelaku tapi belum ada kesempatan. Kesempatan itu ada ketika harga turun sementara daya beli meningkat. #ngarep.com Tapi faktanya harga rumah yang Saya list yang belum sempat Saya datangi, meski saban hari ikut dipantau belum juga harganya turun... hehehe... malah sebagian mengalami kenaikan.
Sebenernya harga rumah naik gak terlalu bermasalah kalo daya beli naik melebihi kenaikan harga tumah, itu masih asyik. Tapi awal tahun ini kenaikan daya beli Saya baru 6%, Alhamdulillah masih ada di bawah inflasi tahun lalu yang mencapai 8,38%. Hehe… Itu baru inflasi belum lagi kenaikan harga rumah berdasarkan Indeks Harga Properti Residensial TW II 2014 yang mencapai 7,4% yoy. Nampaknya Saya mesti kerja..kerja..kerja.. lebih keras lagi supaya gaji naik melebihi inflasi dan IHPR.... hahaha... Mudah-mudahan Bos Saya membaca ini... hehe... Saya juga mau usul beberapa hal ke otoritas terkait mengenai bagaimana menjaga stabilitas sistem keuangan dengan menjaga bubble
property, menjaga daya beli.
Pertama,
Membuat Peraturan Pelunasan KPR
Baru kemarin Saya mau
pinjem KPR, ternyata bunga komersil KPR ditempat yang Saya mau pinjam naik
12,25% menjadi 13,5%. Saya pernah cerita tentang hal ini ke sahabat Saya,
jawabannya membuat Saya tertawa “pinjam saja di Bank Indonesia..” hehehe…
“bukannya BI adalah lender of last resort!”
Hihihi
Saya coba belajar
sedikit-sedikit kenapa bunga KPR naik, salah satunya karena BI Rate masih
tertahan di 7,5% dari November 2013 sampe sekarang sehingga cost of fund
bank-bank juga ikut menyesuaikan. Selain melihat BI rate, bank-bank juga
berhitung base lending rate mereka dengan memperhitungkan banyak faktor
diantaranya spread, biaya overhead, premi risiko, pajak dll.
|
Sumber: Bank Indonesia, diolah |
Sampai disitu Saya coba
memahami juga kalo BI rate dinaikan untuk menekan laju defisit neraca
perdagangan, menahan laju inflasi melalui inflation
targeting framework yang memang tujuan utama BI termasuk menekan kredit KPR
yang macet alias NPL (Non Performing Loan)
dan menahan laju harga kenaikan properti yang dianggap berisiko bubble. Alasan terakhir nih menarik buat
Saya, sebab BI juga berhitung kemungkinan terjadinya Bubble Property di Indonesia yang bisa menganggu stabilitas
keuangan dan ekonomi nasional. Barangkali BI berkaca kepada krisis finansial
global 2008 yang berawal dari macetnya kredit perumahan di AS yang Kita kenal
dengan subprime mortgage.
Nah Bank Indonesia boleh
menaikan BI rate dan memikirkan bagaimana menekan NPL KPR, tapi BI juga
harus bisa mengakomodir peminjam-peminjam KPR yang ingin melunasi pokok
pinjaman KPR lebih cepat. Orang boleh sekarang gak punya uang cash, siapa tahu besok nemu harta karun
kan... hehe.. lalu pengen cepat melunasi. Nah ini bank-bank perlu diatur agar
orang2 yang minjem leluasa melunasi misal tiap 3 bulan sekali boleh top up
cicilan pokok, atau tiap quartalan, atau semesteran. Kalo bank boleh menaikan
suku bunga KPR karena floating rate setelah flat ditahun-tahun awal, kenapa
harus menahan-nahan orang yang mau melunasi utangnya. Jangan sampai hanya
bermunculan cerita kalo telat bayar cicilan KPR cepet banget didenda kalo macet
langsung disita, atau jangan sampe kayak cerita banyak pengguna kartu kredit
yang mau nutup aja susah, atau cerita klaim asuransi yang mau ngeklaim aja
beribet sementara pas ditawarin manis banget mbaknya... eh ucapannya... hehe...
Teknisnya bagaimana? BI lebih tahu, barangkali bisa buat surat edaran BI
seperti LTV Jilid I atau II. Namanya mungkin bisa PTV pay to value, hehe..
Kedua,
Cancel-Off LTV untuk Rumah Pertama
|
Sumber: LTV Jilid II, Bank Indonesia |
23 September 2013 lalu BI
mengeluarkan LTV Jilid II, secara prinsip peraturannya lebih ketat dibandingkan
LTV Jilid I yang diberlakukan terlebih dahulu pada 15 Juni 2012. LTV ini tujuannya bagus, untuk mengendalikan
kredit pertumbuhan KPR/KPA khususnya yang macet-macet (NPL) disamping itu untuk
memperlambat kenaikan harga rumah. LTV juga mengatur larangan kepada Bank
memberikan pinjaman uang muka (DP), suami istri dianggap satu debitur jadi
misal suaminya sudah pinjam cicil rumah pertama, maka kalo istri mau pinjem beli
rumah lagi nanti LTVnya berarti berlaku kepemilikan rumah kedua karena ketahuan
di BI
checking, bank juga melarang
kredit untuk rumah
indent, jadi rumah
harus jadi dulu baru kredit bisa cair, dan banyak lagi aturan lainnya. Secara
prinsip semua aturan ini untuk menjaga terjadinya
bubble property di Indonesia.
|
Contoh Dampak Penerapan Aturan LTV terhadap Pertumbuhan yoy Harga Residensial di Kota Denpasar Sumber: Survei Harga Properti Residensial TW II 2014 Bank Indonesia, diolah |
Namun demikian kebijakan
ini perlu dilihat kembali khususnya bagi Kita-kita yang mau memiliki rumah
pertama. LTV Jilid II mengatur, kalo orang mau beli rumah pertama yang luas
bangunannya >70 m2 maka harus DP 30%, sementara untuk rumah tipe bangunan 22-70
m2 dengan KPRS harus DP 20% dulu. Aturan DP nih membuat calon pembeli harus
berpikir keras membayar DP, apalagi si pembeli juga harus membayar biaya KPR
(Provisi), bayar pajak pembeli (kadang juga bayarin pajak penjual), biaya Bea
Balik Nama, biaya notaris, biaya KJPP, premi asuransi dll. Untuk itu Saya usul untuk menghapus DP untuk
rumah pertama, sehingga tidak dikenakan LTV, jadi pinjaman dari bank bisa 100%
bagi mereka yang membeli rumah pertamanya, bukan untuk spekulasi tapi untuk
tempat tinggal.
Sebuah survei Cushman &
Wakafield Indonesia (CWI), mengungkapkan sebagian besar calon nasabah pembeli
rumah cenderung berrgantung pada pembiayaan KPR masing-masing sebesar 78% untuk
rumah segmen bawah dan 84% untuk segmen rumah menengah bawah. Sementara untuk
rumah kelas menengah, menengah atas dan atas, ketergantungan terhadap
pembiayaan KPR mencapai 48%, 48% dan 50%. Artinya khususnya kelas menengah ke bawah sangat
mengandalkan KPR kalau mau beli rumah.
Sementara kalau kita lihat
demand profile debitur KPR/KPA maka
beberapa bank mengakui rendahnya jumlah nasabah bank yang memilki KPR/KPA lebih
dari satu. Bank BCA misalnya, menurut Direktur Consumer Banking, hanya 10%
nasabah KPR BCA yang memiliki KPR/KPA lebih dari saru. Demikian juga dengan BTN
yang mengklaim bahwa nasabah yang memiliki KPR/KPA lebih dari satu tidak lebih
dari 1% saja. Hal yang sama diakui oleh VP Consumer Banking Bank Mandiri yang
mengatakan bahwa dari 300.000 nasabah KPR/KPA, hanya 6.000 nasabah yang
memiliki KPR/KPA lebih dari satu. Sementara itu, hasil penelusuran BI terhadap
kepemilikan KPR pada Mei 2013, terdapat 35.200 debitur yang memiliki KPR lebih
dari satu rumah dan sekitar 10% diantaranya, atau 3.884 debitur memiliki KPR
3-9 rumah sekaligus.
Sebenernya kebijakan
LTV Jilid II banyak disiasati juga oleh developer dan calon pembeli. Kalo pas
lagi jalan cari rumah bareng istri, masih aja menemukan spanduk beli rumah
tanpa DP, cukup DP Rp12 juta, DP cicil 10%, atau bahkan bisa diakali dengan
kwitansi DP yang seolah-olah si pembeli sudah DP ke
developer padahal belum dengan cara menaikan harga rumah, nanti
diatur juga di notaris pas AJB dengan harga NJOP bukan harga
market. Emang orang Indonesia sih
pinter-pinter. Hehehe…
|
Sumber: Dokumen Pribadi, nama pengembang sengaja disamarkan |
Daripada begitu
mending BI sedikit melonggarkan aturan DP khususnya rumah pertama. Sekarang
developer juga makin cerdik, bangun rumah tumbuh, tanah besar bangunan kecil, hal
ini karena LTV memang mengatur berdasarkan Luas Bangunan bukan Luas Tanah, bukankah LT juga bisa
menimbulkan
bubble? Rumah tumbuh biasanya
sih dengan LB <70 m2 supaya si calon pembeli bisa membayar dengan DP ringan.
Saat ini LTV juga tidak mengatur rumah dengan LB baru atau
second padahal yang
second
bisa saja turun nilai
appraisalnya? LTV
juga tidak mengatur ketentuan berdasarkan harga rumahnya, padahal harga rumah
Rp350 juta bisa saja hanya tipe 22-70 m2 di Jakarta sementara di Kab Bogor bisa
tipe >70 m2. Belum lagi aturan DP ini bisa saja menyebabkan orang yang tidak
berhak menerima KPR atau DP bersubsidi jadi ikut mengakali supaya bisa menikmati.
Untuk
mengkompensasi usulan ini, agar tetap bisa mengendalikan harga properti, maka
bisa ditingkatkan LTV untuk kepemilikan rumah ke-2 dan atau ke-3 dan atau seterusnya...
Lalu bukannya DP tinggi maka cicilan akan semakin rendah? Betul itu sangat
betul, tapi mana yang menurut Anda lebih ringan, mengumpulkan uang yang besar bertahun-tahun
untuk bayar DP atau mencicil tiap bulan? Kalo LTV hanya untuk menyeleksi build in screening debitur yang
benar-benar serius, apakah tidak bisa tanpa DP untuk mereka yang membeli rumah pertama dengan tetap prudent terhadap
debitur berdasarkan Five 5Cs (Character,
Capacity, Capital, Collateral, Condition of economy)? Kenapa juga rumah pertama
harus DP sementara untuk ruko/rukan pertama tidak dikenakan aturan LTV alias DP
0%?
Alasan
lainnya usulan tentang DP 0% untuk rumah pertama, hal ini dilakukan agar bisa menyerap
supply. LTV Jilid II yang mensyaratkan
pencairan KPR adalah ketika selesainya pembangunan objek properti yang didanai.
Artinya Bank hanya dapat memberikan fasiltas kredit/pembiayaan jika properti
yang diagunkan telah tersedia secara utuh, yaitu telah terlihat wujud fisiknya
sesuai yang diperjanjikan dan siap diserahterimakan. Nah ini juga “memaksa”
developer membangun rumah terlebih dahulu. Lalu bagaimana ketika rumah yang
dibangun oleh developer tidak terserap oleh pasar? Bukankah supply belum tentu creates its own demand?
Ketiga, Membentuk Forum Stabilitas Harga Properti (FSHP)
Menjaga bubble property bukan hanya tugas Bank
Indonesia. Kalau selama ini ada Forum Stabilitas Sistem Keuangan (FSSK) yang
dibentuk 30 Desember 2005 dan beranggotakan Kemenkeu, BI, LPS. Maka penulis usul
untuk dibentuk Forum Stabilitas Harga Properti (FSHP) selain ketiga lembaga
tersebut ditambah OJK juga harus ditambah dengan Kemenpera (Kementerian
Perumahan Rakyat) yang mengeluarkan FLPP (Fasilitas Likuiditas Pembiayaan
Perumahan), BPJS dengan fasilitas Pinjaman Uang Muka Perumahan (PUMP), termasuk
juga harus beranggotakan REI (Real Estate Indonesia) untuk mewakili unsur developer.
Banyak hal yang
bisa dibahas di dalam forum tersebut. Forum tersebut bisa membahas bagaimana
bersama-sama menjaga harga properti agar tidak bubble? Bisa membahas bagaimana mengurangi backlog? Bagaimana mendistribusikan rumah secara lebih merata?
Bagaimana membangun database supply demand property supaya mengetahui
berapa supply berapa demand? Forum tersebut bisa membahas bagaimana mengendalikan konsentrasi
kepemilikan rumah dengan mengetahui berapa jumlah orang yang memiliki rumah
lebih dari 1 bisa melalui daftar dari pembayar Pajak Bumi Bangunan dari Kemenkeu
ataupun dari BI checking?
Forum tersebut juga bisa mengevaluasi, mengawasi dan menjalankan secara bersama Undang-Undang (UU) Nomor 1 Tahun 2011 tentang Penyelenggaraan Perumahan dan Kawasan Permukiman dengan Hunian Berimbang dengan aturan kombinasi
1;2;3, di mana setiap pengembang yang membangun satu rumah mewah harus membangun dua rumah menengah dan tiga rumah sederhana? Bisa juga usulan untuk merating pengembang apakah
pengembang itu termasuk pengembang nakal atau tidak seperti Fitch Ratings/Standard & Poors/ Moody’s Investor Service yang merangking level tingkat investasi di Indonesia.
FSHP melalui BI
bisa memberikan insentif kepada bank-bank yang NPL KPR nya rendah lalu
bank-bank tersebut juga memberikan insentif kepada debitur yang taat cicilan
dengan memberikan potongan bunga atau cash back biaya provisi atau
insentif-insentif lainnya. Insentif itu perlu dipikirkan seperti halnya tax holiday atau tax allowance
yang diberikan oleh Kemenkeu kepada wajib pajak yang punya reputasi baik.
***
BI rate, LTV, Suku Bunga, dll adalah instrumen moneter yang memang dibutuhkan dalam mencapai inflation targeting framework termasuk untuk mengantisipasi kemungkinan terjadinya bubble property yang dapat menganggu stabilitas sistem keuangan nasional. Namun demikian, bisakah Kita sambil menyelam minum air, sambil menjaga bubble property, sembari juga menjaga daya beli. []
*) Tulisan diikutsertakan dalam Lomba Blog BI-Kompasiana