Monday, 28 November 2011

Uang & Organisasi

Pernah membayangkan organisasi tanpa uang?  Perlu diakui, uang bukan merupakan satu-satunya faktor input produktifitas sebuah organisasi, namun hanya salah satunya. Bukan ingin mengerdilkan faktor input produktifitas lainnya apalagi sekedar memperbandingkan dengan faktor input lainnya karena memang banyak sekali faktor-faktor input yang membuat sebuah organisasi menjadi produktif. Tentunya bukan hanya uang, dalam terminologi klasik, sebuah output, kuantitas atau produktifitas dipengaruhi setidaknya 2 faktor yakni kapital dan tenaga kerja (SDM).  Uang hanya salah satu jenis kapital, dan kapital itu banyak macamnya seperti aset (tanah, secretariat (bangunan), insfrastruktur sarana dan prasarana), dan yang kita pikir sesuatu yang dianggap penting di dalam menciptakan produktifitas baik yang berwujud (tangible) ataupun yang tidak terwujud (intangible seperti ide, etos kerja, konsistensi, tepat janji dan sejenisnya). Dan sekali lagi uang hanya menjadi salah satu dari sekian banyak faktor-faktor input di dalam menciptakan organisasi yang produktif. Diluar kapital dan tenaga kerja ada juga teknologi, human capital(modal sosial, kekerabatan), dan faktor input lainnya.

Pos-Pos Sumber Strategis
Dalam merencanakan agenda-agenda yang mencerminkan produktifitas, hal pertama yang harus dilakukan oleh setiap organisasi adalah pemetaan pos-pos sumber strategis. Setidaknya ada 4 pos strategis.

Pertama, Dana Alokasi Kemahasiswaan (DAK). Sumber pertama yang biasanya menjadi salah satu sumber penting bagi organisasi menjalankan segala bentuk program kerjanya. DAK biasanya bersumber dari rektorat ataupun dekanat. DAK rektorat atau dekanat juga sebenarnya bersumber dari dana lain seperti hal yang mungkin seringkali tidak disadari adalah dana dari mahasiswa juga, sumber lainnya misalnya hibah diknas. Salah satu kelemahan menggunakan DAK adalah seringkali program-program yang sudah teragendakan melalui raker-raker selama berbulan-bulan harus ‘disesuaikan’ atau bahkan seringkali sengaja diperlambat penurunan DAK. Kadang, ketergantungan yang berlebihan terhadap dana DAK membuat organisasi tidak lagi progresif dan berani menentang ketidakberesan dari rektorat ataupun dekanat.


Kedua, Dana Alokasi Alumni (DAA). Alumni menjadi salah satu sumber dana penting lainnya. Alumni biasanya menjadi andalan ketika setiap penyelenggaraan program kekurangan dana atau defisit. Tidak ada yang salah sebenarnya berusaha mendapatkan dana dari pos DAA. Hanya saja proses dan cara berkomunikasi dengan alumni harus memiliki cara dan strategi tersendiri.  

Ketiga, BUMO (Badan Usaha Milik Organisasi). Sumber dari BUMO tidak sebesar sumber dana dari rektorat atau dekanat karena secara umum, setiap organisasi belum, enggan dan tidak benar-benar mengoptimalkan potensi sumber dana dari BUMO. Jikapun sudah melihat dan mencoba menggali potensi sumber dana ini, masih perlu perbaikan managemen, aturan, eksekusi lapangan, dan marketing. Mungkin memang secara realistis pembelajaran mengejar sumber dana dari BUMO bukan agenda utama dari agenda organisasi mahasiswa disamping itu pemikiran bahwa organisasi mahasiswa bukan perusahaan. Sekiranya memang perlu dibahas lebih mendalam tentang potensi sumber dana ini. Coba bayangkan jika setiap organisasi memiliki unit bisnis yang sebagian dananya bisa digunakan untuk kelancaran roda organisasi. Tidak perlu membuat PT, cukup dibuat social enterprisedengan SOP dan the rules of the game yang setiap pengurus intinya perlu tandatangan di atas materai.   

KeempatSponsorhip. Pos sumber ini yang seringkali menjadi andalan setiap organisasi untuk mendukung kelancaraan proses pelaksanaan agenda-agenda kerja organisasi. Sulit sekali membayangkan setiap harinya berapa proposal sponsorship yang masuk ke meja kepala humas bagian sponsorship dan csr (corporate social responsibility)? Mengoptimalkan dana ini kadang faktor hoki juga seringkali mempengaruhi untuk mendapatkan dana sponsor. Namun ada faktor lainnya yang menjadi poin utama mengoptimalkan untuk mendapatkan dana sponsor.


3 Langkah Strategis
3 langkah strategis ini bukan untuk menurunkan pos Dana Alokasi Kemahasiswaan (DAK) karena DAK akan turun dengan sendirinya hanya perlu mengajukan proposal ke rektorat atau rapat keluarga mahasiswa di fakultas. Tidak terlampau rumit dan setiap organisasi sudah terbiasa menggantungkan kepada pos anggaran ini. Lalu bagaimana dengan mobilisasi sumber strategis dana lainnya seperti DAA (Dana Alokasi Alumni) khususnya pos dana sponsorship. Sedangkan pengoptimalan sumber dana Badan Usaha Milik Organisasi (BUMO) akan dibahas ditulisan lainnya. Lalu langkah strategis apa yang harus dipersiapkan?

Pertama, rapat kerja. Sekarang saatnya agenda rapat kerja bukan lagi menjadi agenda basa-basi tanpa perencanaan dan tanpa agenda evaluasi organisasi tahun sebelumnya. Disinilah sebenarnya proses pembelajaran bagaimana mengevaluasi kepengurusan dan program kerja yang lalu dan mempersiapkan perencanaan untuk agenda mendatang. Belajar membaca LPJ, belajar mengevaluasi, belajar mengambil manfaat dan belajar membuang kemudharatan dari program sebelumnya. Setelah itu, perlu ada pengoptimalan rapat kerja agar tidak terkesan berbasa basi. Rapat kerja harus dilaksanakan dalam satuan waktu tertentu, yang pasti tidak cukup satu hari jika diperlukan waktu 1 bulan rapat kerja akan terasa ideal. Rapat kerja harus bisa menyusun agenda kerja selama satu tahun kepengurusan. Setiap ketua dan pengurus harian harus bisa menyusun agenda kerja satu tahun ke depan, minimalisir menyusun agenda di pertengahan tahun atau diakhir tahun. Kalaupun terpaksa yang terpenting agenda-agenda isidental tidak boleh mendominasi program-program kerja organisasi.

Kedua, penyeleksian program kerja. Untuk mempermudah mendapatkan dana sponsor yang perlu diperhatikan adalah tidak perlu semua program kerja ditawarkan ke pihak sponsor dan harus ada agenda-agenda strategis prioritas katakanlah Top 10 Programs.Top 10 Programs berisi agenda-agenda organisasi yang dapat menguntungkan pihak sponsor di dalam mempromosikan usaha atau jasanya. Karena tidak mungkin sponsor memberikan dana tanpa ada kepentingan di dalamnya, mereka pun membutuhkan kontraprestasi yang setimpal dengan uang yang diberikan kepada organisasi mahasiswa. Keuntungannya dari Top 10 Programs yang ditawarkan setiap organisasi mahasiswa kepada pihak sponsor diantara lain: (a) pihak sponsor akan memiliki keleluasaan di dalam menentukan program kerja pilihan mereka akan danai (b) pihak sponsor tidak akan terlihat bosan dan bertanya dengan banyaknya proposal sponsorship dari organisasi yang sama dimana biasanya setiap organisasi mahasiswa sering mengirimkan banyak proposal berbagai agenda kegiatan ke satu perusahaan yang sama. Bagaimana pihak sponsor tidak bosan?  (c) Beranikah setiap organisasi menawarkan kepada pihak sponsor, jika mereka membiayai salah satu program kegiatan saja yang ada di TOP 10 Programs, maka organisasi mahasiswa tersebut memberikan kontraprestasi kepada sponsor katakanlah memasang logo sponsor di setiap agenda kegiatan organisasi yang sudah disepakati. Artinya, kontraprestasi terhadap sponsor tidak hanya berlaku pada satu agenda kegiatan, namun beberapa agenda kegiatan organisasi. Berani coba? (d) setiap organisasi akan tak akan perlu repot mengirimkan berkali-kali proposal sponsorship.

Ketiga, perbaikan databaseDatabase yang harus diperbaiki minimal database alumni, lembaga mahasiswa, lembaga non mahasiswa (pusat kajian,media dan sejenisnya),  dan sponsor. Ini masalah klasik yang belum bisa diperbaiki dari tahun ke tahun oleh kepengurusan organisasi mahasiwa. Setiap kepengurusan pasti pernah mendapatkan sponsor, lalu setelah berakhirnya agenda, maka seringkali tidak terdatabase dengan baik bukan? Jangankan sponsor, database pembicara misalnya, kepengurusan selanjutnya harus menanyakan contact person kepada kepengurusan sebelumnya. Hanya karena kepengurusan sebelumnya tidak memiliki database yang baik. Hari ini kita harus berpikir meninggalkan database yang baik buat kepengurusan organisasi mahasiswa selanjutnya. Jika butuh nomor kontak si x misalnya, tinggal buka computer maka disitu ada nama lengkap dan gelar, alamat dan nomor handphonenya. Jika butuh memasukan proposal sponsorship ke perusahaan x, maka dalam database sudah ada alamat kantor, alamat email dan nomor kontak jaringan internal perusahaan. Jika ingin mengundang organisasi mahasiswa lainnya, tinggal buka database disana ada alamat lengkap dan kontak organisasi. Semua akan terasa mudah dan tidak perlu membuang waktu hanya untuk sekedar bertanya kepada kepengurusan sebelumnya berapa nomor handphone si x dan perusahaan x.Terakhir kita harusnya berpikir, bahwa jaringan orang dan lembaga penting yang kita miliki saat ini karena organisasi yang membuat kita mendapatkan semuanya. Jadi kerelaan dalam perbaikan database orang-orang seperti ketua, humas dan eksternal di setiap organisasi menjadi orang yang paling bertanggungjawab untuk berpikir dan menyusun database yang baik, harus ada kerelaan untuk berbagi database (jangan dimanfaatkan sendiri) dan kerelaan ikut merawat jaringan yang ada.
            Semoga bermanfaat. 

Thursday, 10 November 2011

Small is Beautiful

Kondisi ekonomi makro yang membaik pada periode 1997-2004, ternyata belum mampu mendorong sektor riil untuk menyerap kembali pengangguran akibat krisis dan tambahan tenaga kerja muda.[1]
Tabel 1. Population and Type of Activity 2001-2005
Type
Of Activity
2001
2002
2003
2004
2005
Population15+
144.033.873
148.729.934
151.406.298
153.923.648
155.549.736
Working
90.807.417
91.647.166
92.810.791
93.722.036
94.948.118
Unemployment
8.005.031
9.132.104
9.820.011
10.251.351
10.854.254
Sumber: www.bps.go.id
Tabel 1 Population and Type of Activity menjelaskan bahwa dari tahun 2001-2005 jumlah angkatan kerja[2] di Indonesia bertambah cukup signifikan sekitar 11 juta jiwa atau sekitar 8%. Jumlah pengangguran pun meningkat dari 8 juta jiwa menjadi sekitar 10,8 juta jiwa di tahun 2005. 
Angka pengangguran yang tinggi merupakan pemborosan-pemborosan sumber daya dan potensi yang ada, menjadi beban keluarga dan masyarakat, sumber utama kemiskinan, dapat mendorong peningkatan keresahan sosial dan kriminal, dan dapat menghambat pembangunan dalam jangka panjang. Secara garis besarnya, pengangguran akan berdampak kepada pendapatan per kapita seseorang, pendapatan negara, menjadi beban psikologis, psikis, dan biaya sosial (Alam S, 2003: 47).
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat adanya penurunan jumlah pengangguran di Indonesia khususnya di tahun 2007 dan Februari 2008. Tahun 2007 pengangguran menurun sekitar 384 ribu jiwa. Jumlah penganggur pada Februari 2008 sebesar 9,43 juta orang, berkurang 584 ribu dibandingkan dengan Agustus 2007 atau berkurang 1,12 juta orang dibanding pada Februari 2007 yang mencapai 10,55 juta orang.
 Lalu bagaimanakah jumlah pengangguran pasca krisis global yang melanda AS dan berefek ke Indonesia? Akibat munculnya krisis global yang berbuntut dengan adanya pemutusan hubungan kerja (PHK) atau dirumahkannya karyawan oleh perusahaan tempat mereka bekerja telah bertambah. "Jumlah pengangguran kini (Februari 2009, pen) bertambah sebanyak 79 ribu orang, sehingga total penduduk Indonesia yang tidak memiliki pekerjaan mencapai hampir 10 juta," kata Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Erman Suparno.[3]
Di dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2004-2009, dijabarkan bahwa ada berbagai permasalahan iklim ketenagakerjaan di Indonesia.  Salahsatunya adalah seperti yang telah diungkapkan di atas bahwa adanya peningkatan jumlah pengangguran terbuka selama 5 tahun terakhir.[4]
            Masalah selanjutnya adalah perbedaan upah yang semakin lebar antara pekerja formal dan informal yang menimbulkan kesenjangan pendapatan. Padahal masalah kesenjangan adalah salahsatu dari tiga parameter berhasil atau tidaknya pembangunan ekonomi menurut Dudley Seers (1973) selain pengurangan jumlah pengangguran dan perbaikan angka kemiskinan.[5]
            Sebelum krisis ekonomi 1998, upah pekerja informal mengikuti pola upah pekerja formal. Apabila upah pekerja formal meningkat maka upah pekerja informal ikut meningkat pula. Para pekerja yang bekerja di industri besar upahnya cenderung meningkat dan sekarang secara riil sudah 20% di atas upah riil[6] sebelum krisis terjadi. Sedangkan upah pekerja informal cenderung tidak meningkat dan hanya sebesar 80% dibandingkan upah riil sebelum krisis.
Todaro dan Smith (2003:235) mengatakan bahwa ketimpangan pendapatan yang ekstrem menyebabkan inefisiensi ekonomi, tingkat tabungan secara keseluruhan di dalam perekonomian cenderung rendah, terjadi alokasi aset yang tidak efisien, disparitas pendapatan yang ekstrem melemahkan stabilitas sosial dan solidaritas karena ketidakadilan.
            Saat ini pertanyaannya adalah kebijakan ekonomi diarahkan kemana: menciptakan lapangan pekerjaan formal atau modern yang seluas-luasnya sesuai arahan kebijakan RPJMN untuk mengurangi ketimpangan pendapatan yang ada? Ataukah tetap memperkuat lapangan kerja informal karena kondisi pasar tenaga kerja Indonesia bersifat dualistik, yaitu sebagian besar (70%) dari angkatan kerja bekerja pada lapangan kerja informal; sebagian besar memiliki keterampilan rendah, yaitu sekitar 55% adalah lulusan sekolah dasar ke bawah?      
Selain pengangguran dan ketimpangan,[7] masalah kemiskinan menjadi parameter keberhasilan pembangunan ekonomi di sebuah negara.[8] Untuk itu, diperlukan langkah nyata untuk menyelesaikan ketiga masalah pokok pembangunan dan untuk meredam gejolak ekonomi akibat krisis global.
Menurut hemat penulis pemerintahan yang baru 2009-2014 perlu mengambil langkah awal untuk menekan gejolak krisis global yang masih terasa hingga saat ini dengan memperkuat lapangan kerja informal (UMKM). Hal ini lebih realistis dalam jangka pendek ketimbang menciptakan lapangan kerja baru yang modern, karena untuk menciptakan lapangan kerja perlu adanya investasi besar (dalam ataupun luar negeri) dan nampaknya untuk kondisi saat ini dimana sebagian besar perusahaan besar terkena dampak krisis masih belum memungkinkan.
Tuntutan untuk memperluas partisipasi masyarakat dalam pembangunan nasional tertumpu pada sektor UMKM, salah satu alasannya adalah karena UMKM banyak menyerap tenaga kerja dan kontribusinya terhadap produksi nasional, jumlah unit usaha dan pengusaha. 
Kontribusi UMKM dalam pendapatan domestik bruto (PDB) pada tahun 2003 adalah sebesar 56,7 persen dari total PDB nasional, terdiri dari kontribusi usaha mikro dan kecil sebesar 41,1 persen dan skala usaha menengah sebesar 15,6 persen. Atas dasar harga konstan tahun 1993, laju pertumbuhan PDB UMKM pada tahun 2003 tercatat sebesar 4,6 persen atau tumbuh lebih cepat daripada PDB nasional yang tercatat sebesar 4,1 persen.
Departemen Koperasi dan Usaha Kecil Menengah melaporkan  bahwa di tahun 2004 UMKM berkontribusi terhadap penciptaan PDB nasional (menurut harga berlaku) tercatat sebesar Rp 1.271.990.100 juta (55,96 persen) dari total PDB nasional, lalu meningkat menjadi Rp 1.480.002.900 juta pada tahun 2005.
Pada tahun 2003, jumlah UMKM adalah sebanyak 42,4 juta unit usaha atau 99,9% dari jumlah seluruh unit usaha dan dapat menyerap lebih dari 7 juta tenaga pekerja atau 99,5% dari jumlah tenaga kerja, meliputi usaha mikro dan kecil sebanyak 70,3 juta tenaga kerja dan usaha menengah sebanyak 8,7 juta tenaga kerja.
 Di tahun 2004, Kementerian Koperasi dan UKM mencatat sektor UMKM dapat menyerap tenaga kerja sekitar 83,2 juta jiwa, naik menjadi 85,4 juta jiwa di tahun 2005. Disisi lain, sektor UMKM juga turut berkontribusi terhadap nilai investasi di Indonesia, rata-rata nilai investasi sektor UMKM dari tahun 2003-2006 berjumlah Rp 267.664 miliar per tahunnya. Nilai ekspor sektor UMKM juga mengalami peningkatan. Tahun 2005, jumlah ekspor sementara sektor UMKM mencapai Rp 110.338 miliar meningkat menjadi Rp 122.200 miliar pada tahun 2006.
Kontribusi UMKM pada tahun 2007 mencapai Rp 2.121,3 triliun atau 53,6% dari total produk domestik bruto (PDB) Indonesia pada 2007 yang mencapai Rp 3.957,4 triliun. PDB Indonesia pada 2007 tumbuh 6,3% terhadap 2006. Bila dirinci menurut skala usaha, pertumbuhan UMKM mencapai 6,4% sedangkan usaha besar tumbuh 6,2%.
Pertumbuhan PDB UMKM 2007 terjadi pada semua sektor ekonomi. Pertumbuhan tertinggi terjadi pada sektor bangunan 9,3%, diikuti sektor perdagangan, hotel dan restoran 8,5%, dan sektor pertambangan dan penggalian 7,8%. Menurut data Menegkop, jumlah populasi UMKM pada 2007 mencapai 49,8 juta unit usaha atau 99,99% terhadap total unit usaha di Indonesia.
Sementara jumlah tenaga kerjanya mencapai 91,8 juta orang atau 97,3% terhadap seluruh tenaga kerja Indonesia. Sedangkan hasil ekspor produksi UMKM selama 2007 mencapai Rp 142,8 triliun atau 20% terhadap ekspor nonmigas nasional sebesar Rp 713,4 triliun. Nilai investasi fisik UMKM yang dinyatakan dengan angka pembentukan modal tetap bruto (PMTB) pada 2007 mencapai Rp 462,01 triliun atau 46,96% terhadap total PMTB Indonesia.
Melihat fakta di atas, pengembangan UMKM sangat relevan dilakukan di Indonesia. Di tengah krisis keuangan global yang sedang mengancam perekonomian tiap negara, mengembangkan UMKM (sektor riil) dapat menjadi salah satu pilihan mengantisipasi krisis keuangan global, membangun kemandirian ekonomi nasional serta memperkuat pasar domestik.
Menurut Masson (1999) dengan kuatnya pasar domestik, ketergantungan terhadap Negara tujuan ekspor utama akan berkurang, sehingga efek contagion dari krisis yang terjadi di negara lain dapat dikurangi. Dengan kuatnya pasar domestik juga memberikan jaminan perekonomian akan tetap dapat tumbuh, meskipun pasar ekspor ke luar negari mengalami kelesuan.[9]
Pengembangan UMKM bukan sekedar untuk mengantisipasi krisis keuangan global yang sedang terjadi di Amerika Serikat dan berimbas kepada seluruh negara di dunia. Lebih dari sekedar alat antisipasi krisis saat ini, pengembangan UMKM harus menjadi jawaban dari pertanyaan seorang ahli ekonomi, Prof Dudley Seers (Kuncoro, 2006). Dudley Seers (1973; Kuncoro, 2006) menegaskan keberhasilan pembangunan ekonomi terlihat dari jawaban atas tiga pertanyaan. What has been happening to proverty? What has been happening to unemployment? What has been to inequality?




[1] Republik Indonesia. 2005. Strategi Nasional Penanggulangan Kemiskinan. Jakarta: Komite Penanggulangan Kemiskinan.
[2]  Angkatan kerja (Ehrenberg dan Smith, 2000:27) adalah all those over 16 years of age are either employed, actively seeking work, or expecting recall from layoff. Standard angkatan kerja di Indonesia agak sedikit berbeda, yaitu menurut Badan Pusat Statistik, tenaga kerja (manpower) adalah seluruh penduduk dalam usia kerja (berusia 15 tahun atau lebih) yang potensial dapat memproduksi barang dan jasa. Lihat, http://www.datastatistik-indonesia.com/content/view/801/801/1/0/ .
[4] Lihat, RPJMN 2004-2009. Jakarta: Sinar Grafika cetakan tahun 2006
[5] Lihat dalam Kuncoro, Mudrajad. 2006. Ekonomika Pembangunan-Teori, Masalah, dan Kebijakan. Edisi Keempat. Yogyakarta: UPP STIM YKPN. Hlm. 11
[6] Upah riil adalah pendapatan nominal yang diterima pekerja dibagi dengan Indeks Harga Konsumen (Ehrenberg dan Smith, 2000)
[7] Tingkat ketimpangan ekonomi menurut Faisal Basri selama tahun 2007 meningkat dari 0,34 persen menjadi 0,37 persen. Lihat, “Rakyat Belum Sejahtera”, Kompas, 29/12/2007
[8] Laporan Badan Pusat Statistik (BPS) 2007 menyebutkan bahwa jumlah orang miskin di Indonesia berkurang dari tahun sebelumnya. Penduduk miskin tinggal 37,17 juta jiwa atau sekitar 16,58% dari jumlah penduduk di Indonesia. Angka kemiskinan ini jauh lebih baik dibandingkan tahun 2006 yang mencapai 39,30 juta jiwa (17,75%), ada penurunan orang miskin sekitar 2,13 juta jiwa.
[9] Dalam jurnal Multiple Equlibria, Contagion, and the Emerging market Crises. Paul R. Masson. International Monetary Fund Working Paper. November 1999

Friday, 4 November 2011

Breakaway League


IPL vs ISL

Breakaway league, istilah baru dalam sepakbola nasional yang mulai populer setelah kehadiran Liga Primer Indonesia (LPI) gagasan Arifin Panigoro sebagai bentuk protes terhadap kepemimpinan Nurdin Halid dan Nugraha Besoes yang dianggap telah melanggar statuta FIFA. LPI bertujuan untuk menciptakan citra sepakbola Indonesia yang bersih, modern, profesional dan mandiri. Pada awalnya, kehadiran LPI sempat mengundang simpati publik karena sebagai liga tanpa APBD. Namun tak sampai seumur jagung, kompetisi LPI terhenti di tengah musim kompetisi, miliaran rupiah dana konsorsium LPI pun kini tak jelas dampaknya bagi klub apalagi bagi para konsorsium? Sehingga secara sederhana dapat disimpulkan bahwa kehadiran LPI belum dapat dijadikanrole model bagi kompetisi sepakbola nasional. Bahkan hanya terkesan sebagai alat untuk meraih simpati publik demi merebut kursi PSSI 1.

Untuk musim kompetisi 2011-2012, istilah breakaway league juga kembali digunakan. Kali ini yang menjadi breakaway league adalah Indonesia Super League (ISL) dengan 14 klub yang diinisiasi oleh elit PSSI era Nurdin Halid sebut saja Nugraha Besoes, Andi Darusalam Tabusala dan Djoko Driyono sebagai bagian sikap protes terhadap kebijakan PSSI 2011-2015 era Arifin Djohar Husein-Farid Rahman yang dikatakan telah melanggar statuta FIFA karena tidak mengakui hasil keputusan kongres PSSI di Bali, memaksakan 24 klub menjadi peserta Liga Prima Indonesia (LPI) dan dugaan ketidakadilan kepemilikian saham antara PSSI dengan klub peserta liga. Lalu pertanyaannya, bukan mencari siapa yang benar siapa yang salah, tetapi mau dibawa kemana sepakbola di negeri ini jika selalu hadir breakaway league?

Setidaknya ada 3 kerugian hadirnya breakaway leaguePertama, jika kisruh ini terus berlanjut bukannya tidak mungkin jika FIFA maupun AFC akan menjatuhkan sanksi larangan tampil kepada klub dan Timnas dalam ajang kompetisi Asia dan Dunia. Kedua, kisruh seperti ini hanya akan memperburuk pengelolaan kompetisi sepakbola nasional dan pembinaan sepakbola usia dini. Ketiga, akan melahirkan gesekan dikalangan supporter sepakbola Indonesia antara yang mendukung LPI dengan pendukung ISL yang tentunya akan mengurangi jumlah pemasukan klub dari tiket dan sponsor disamping itu gesekan antar supporter juga dikhawatirkan akan berdampak buruk terhadap kondisi ekonomi dan politik nasional.

Setelah publik jengah dengan drama Kongres Luar Biasa (KLB) PSSI yang berlarut-larut, Timnas Indonesia yang mengalami kekalahan beruntun di kualifikasi Zona Asia World Cup 2014, kini publik sepakbola Indonesia dibuat bingung dengan istilah breakaway league. Walau begitu, publik sepakbola Indonesia hanya bisa menyimpulkan bahwa sepakbola Indonesia kini hanya dimiliki oleh sekelompok elit politik dan ekonomi yang saling bertarung untuk kepentingan politik dan ekonomi kelompoknya.


Melongok Kembali Sejarah PSSI
Setelah memutuskan keluar dari perusahaan bangunan Belanda “Sizten en Lausada”, Soeratin Sosrosoegondo berkumpul dengan para wakil dari berbagai daerah seperti Sjamsoedin (Voetbalbond Indonesische Jakarta), Gatot (Bandoengsche Indonesische Voetbal Bond (BIVB)), Daslam Hadiwasito, A.Hamid, M. Amir Notopratomo (Persatuan Sepakbola Mataram (PSM) Yogyakarta), Soekarno (Vortenlandsche Voetbal Bond (VVB) Solo), Kartodarmoedjo (Madioensche Voetbal Bond (MVB)), E.A Mangindaan (Indonesische Voetbal Bond Magelang (IVBM)), Pamoedji (Soerabajashe Indonesische Voetbal Bond (SIVB)), dari pertemuan tersebut lahirlah PSSI (Persatoean Sepakraga Seloeroeh Indonesia) pada 19 April 1930. Sebuah komitemen besar dari para pelaku sejarah sepakbola nasional yang menjadikan sepakbola bukan untuk kepentingan politik dan ekonomi kelompok, melainkan kepentingan dan alat perjuangan revolusi politik dan ekonomi seluruh rakyat Indonesia melawan penajajah.

Sekiranya memang para elit sepakbola yang mengaku cinta kepada sepakbola nasional harus melihat kembali sejarah berdirinya PSSI dan sepakbola di negeri ini. Tidak ada dalam catatan sejarah masa lalu PSSI diperebutkan oleh kepentingan politik dan ekonomi sekelompok orang, yang ada hanyalah sepakbola dan PSSI sebagai alat nasionalisme melawan penjajah. Sejarah mengatakan bahwa sepakbola bukan sekedar permainan tetapi sebagai alat revolusi, bukan untuk sekelompok, melainkan seluruh lapisan bangsa Indonesia. Publik sepakbola Indonesia memang menginginkan Timnas Indonesia berlaga di World Cup seperti pada piala dunia tahun 1938 atas nama Dutch East Indies yang diwakili oleh 9 pemain Indonesia. Namun, sebelum terlalu jauh memikirkan World Cup perbaiki dulu mentalitas para elit sepakbola di negeri ini, duduk bersama jauh lebih baik ketimbang hanya untuk sekedar menciptakan breakaway league. []

Sunday, 23 October 2011

PR Suporter

Hasil riset The Nielsen Company di 10 kota besar (Jakarta, Surabaya, Medan, Semarang, Bandung, Makasar, Yogyakarta, Palembang, Denpasar, dan Banjarmasin) mengungkapkan persentase orang yang menonton (audience share) siaran pertandingan pada laga pertama final Piala Asean Football Federation (AFF) 2010 tanggal 26 Desember 2010 memperoleh rating 26 dan share 69,9% atau ditonton oleh sekitar 12,8 juta orang berusia 5 tahun ke atas, sedangkan laga kedua pada 29 Desember 2010 mencapai share 65,7% dengan rating 23,1 yang artinya ditonton oleh kurang lebih dari 11,4 juta orang berusia 5 tahun ke atas.

Bandingkan misalnya dengan hasil riset lembaga yang sama pada semifinal Piala AFF 2008 antara Indonesia melawan Thailand yang hanya mencapai rating 9 dan share 45%, atau Piala Asia 2007 saat Tim Nasional Sepakbola Indonesia melawan Korea Selatan dimana rating mencapai angka 13 dan share mencapai 53%. Begitu juga dengan pada final Sea Games 1997 yaitu rating hanya mencapai 25, share 73%. Hal ini setidaknya dapat menunjukan bahwa antusiasme masyarakat Indonesia terhadap sepakbola Indonesia meningkat dari tahun ke tahun.

Begitu juga  dengan peningkatan antusiasme suporter sepakbola yang ingin menyaksikan langsung pertandingan di stadion. Antrian panjang hanya untuk menyaksikan laga sepakbola mungkin baru pertama kali ini terjadi sehingga wajar penyelenggaraan piala AFF 2010 menurut panitia lokal (LOC) yang diketuai Djoko Triyono meraih pendapatan sekitar Rp 30 Miliar.

Kini sepakbola Indonesia memiliki daya tarik tersendiri bagi kalangan orang tua, anak anak dan kaum hawa. Hal ini tentunya berbeda dari tahun tahun sebelumnya dimana mereka biasanya lebih baik menyaksikan dari layar kaca ketimbang menyaksikan langsung ke stadion. Perubahan ini tentunya perlu kita syukuri oleh seluruh insan sepakbola Indonesia.

Pekerjaan Rumah Suporter
Sepakbola di Indonesia terkenal dengan basis suporternya yang fanatik dan setiap klub sepakbola memiliki wadah organisasi kelompok suporter sendiri. Sebagai contoh misalnya klub sepakbola Persija Jakarta memiliki kelompok suporter yang bernama The Jak Mania, Arema Indonesia memiliki wadah kelompok suporter yang menamakan dirinya Aremania, Persebaya Surabaya punya kelompok suporter yang terkenal dengan sebutan Bonek (Bondo Nekat), Persib Bandung juga memiliki kelompok suporter Viking. Rata rata tiap kelompok suporter klub sepakbola memiliki puluhan ribu anggota.

Menurut data Jakarta Casual selama liga Indonesia Super League (ISL) 2009/2010 Arema Indonesia disaksikan oleh 26.715 Aremania per pertandingan, Persib Bandung disaksikan sekitar 21.753 penonton, PSPS Pekanbaru disaksikan oleh 17.810 penonton, Persija Jakarta disaksikan oleh sekitar 17.457, sedangkan Persebaya menempati urutan ke lima dengan jumlah suporter rata rata per pertandingan sekitar 14.442 penonton. Tanpa suporter pertandingan sepakbola di Indonesia dirasa kurang atraktif dan menarik untuk disaksikan. Suporter juga menjadi pemain ke 12 bagi tim yang didukung, selain itu keuangan klub juga sangat mengandalkan dari pemasukan tiket yang dibayarkan oleh suporter.

Lalu dimakah pekerjaan rumah yang harus diselesaikan oleh para suporter? PR nya adalah bagaimana kita para suporter tidak melakukan bentrok antar suporter, pembakaran stadion ketika kalah, tidak membunuh suporter lawan, tidak mengeluarkan kata kata rasis, membayar tiket ketika ingin menyaksikan pertandingan, tertib lalu lintas, dan menunjukan sikap yang mencerminkan sebagai seorang suporter sejati. Cukuplah hilangnya nyawa anak bangsa akibat bentrok suporter, rusaknya stadion dan kerugian PT Kereta Api Indonesia sepanjang tahun 2010 senilai Rp 247 juta menjadi alasan untuk menghentikan segala tindakan anarkis suporter. Bravo suporter Indonesia.!

Saturday, 3 September 2011

Lehman Brothers In Memoriam

Sumber foto: crooksandliars.com
Krisis finansial global yang bersumber dari kredit macet perumahan (subprime mortgage) Amerika telah memberikan dampak negatifnya bagi dunia. Krisis yang menurut sebagian pengamat seperti Warren Buffet dan George Soros dampaknya lebih hebat dan kompleks penyelesaianya dibanding great depression selain menyerang sektor keuangan, akhir-akhir ini mulai dirasakan dampaknya pada sektor riil. International Monetary Fund (IMF) pun mengatakan bahwa krisis global saat ini merupakan shock terbesar sejak great depression.[1] 
Krisis global telah menyebabkan terjadinya penciutan nilai aset beberapa lembaga keuangan dunia. Disamping itu, salah satu yang paling ditakuti dari krisis finansial global adalah pemutusan hubungan kerja (PHK) yang dilakukan perusahaan-perusahaan besar. Gelombang PHK semakin meluas, mulai dari sektor perbankan dan keuangan hingga sektor perindustrian, manufaktur, insfrastruktur, jasa, dan sebagainya. Di Amerika Serikat gelombang pengangguran telah mencapai titik tertinggi sejak 5 tahun terakhir, yaitu 6.7%. Akibat krisis ini pula, neraca keuangan Amerika Serikat mengalami defisit sebesar 1,752 milyar dollar. Di Inggris, pengangguran mencapai 1,92 juta jiwa sedangkan di Spanyol naik dari 13% menjadi 16%. PHK besar-besaran terjadi dibeberapa perusahaan besar dunia, diantaranya adalah Citigroup yang mengurangi 52.000 pegawai, Bank of America mengurangi 35.000 pegawainya, Nissan Motor Inggris mengurangi sekitar 1.200 pegawai, Microsoft mengurangi sekitar 5.000 pegawai.
Awalnya, banyak pengamat dan ekonom berpendapat bahwa krisis tersebut hanya akan berdampak pada sektor keuangan saja, namun kenyataannya, kita tidak dapat memisahkan sektor riil dan moneter. Sehingga, apa yang terjadi pada sektor moneter, khususnya sektor keuangan pada saat ini, berdampak pada sektor riil. Hal tersebut mematahkan mitos ekonomi terpisah (decoupling) antara perekonomian Amerika Serikat dengan perekonomian Negara-negara Asia, atau secara spesifik Indonesia. Terlihat dari data menunjukkan bahwa ekspor Non Migas Indonesia (2007) masih didominasi ke Jepang US$13,287 juta, AS US$11,111 juta, Singapura US$8,860 juta dan China US$8,507 juta.
Dapat kita rasakan sendiri, di awal kuartal tahun 2009 ekonomi mengalami perlambatan pertumbuhan. Ditandai pula dengan terus bergeraknya nilai tukar rupiah dengan volatilitas tinggi dan nilai ekspor Indonesia yang  terus menerus mengalami tren penurunan ke Negara-negara tujuan ekspor utama. Sebagai gambaran, nilai ekspor Indonesia hingga November 2008 telah menurun sebesar 9.8%[2] (YoY), kemudian pada bulan Desember ekspor turun sebesar 9,57%, dan pada bulan Januari ekspor Migas dan nonmigas Indonesia mengalami penurunan sebesar 17,70 persen dibanding Desember 2008 yaitu dari US$ 8.691,8 juta menjadi US$ 7.153,3 juta. Sementara bila dibandingkan  dengan Januari 2008, ekspor juga mengalami penurunan sebesar 36,08 persen. Belum lagi fluktuasi nilai rupiah yang sempat menyentuh level Rp. 11.900/$ walaupun akhir-akhir ini kembali ke level aman pada Rp. 10.500/$.[3]
Krisis keuangan global yang diawali oleh subprime mortgage perusahaan Lehman Brothers yang telah berdiri lebih dari 1,5 abad menambah keyakinan akan sebuah kebenaran bahwa krisis ekonomi di dunia selalu diawali oleh krisis di sektor keuangan. Roy Davies dan Glyn Davies (2006) dalam bukunya “a history of money from ancient times to the present daymengatakan bahwa sepanjang abad 20 telah terjadi lebih dari 20 krisis ekonomi yang kesemuanya adalah krisis keuangan. Di mulai sejak tahun 1907 dimana krisis ekonomi berawal dari krisis perbankan di New York, berlanjut di tahun 1930 yang terkenal dengan istilah great depression di Amerika Serikat yang berbarengan dengan the great crash di pasar modal New York sehingga berimplikasi pada net national product AS yang berkurang setengahnya, hingga tahun krisis keungan 1998 dan 2008 yang berimplikasi pada perekonomian dunia.
Krisis keuangan selama ini sekiranya perlu dikoreksi terutama kaitannya dengan kekeliruan memandang fungsi kapital. Kapital selama ini dipandang sesuatu yang berdiri sendiri yang akan menghasilkan kapital kembali (kapitalisasi kapital). Padahal seperti yang diungkapkan oleh Adam Smith di dalam bukunya The Wealth of Nation (1776) kemakmuran suatu bangsa tidak diukur dari banyaknya logam mulia yang dimiliki oleh bangsa tersebut, tetapi dari kemampuan bangsa itu untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhannya secara layak. Fahri Hamzah (2010:329) mengatakan bahwa Adam Smith memperkenalkan tentang konsep ‘kapital’ sebagai bentuk pemanfaatan pendapatan yang menghasilkan nilai tambah dengan menempatkannya pada kegiatan-kegiatan yang produktif dan bukan ditimbun didalam lemari harta atau diperam di bawah alas tidur.
Secara sederhana sebenarnya teori ekonomi Klasik (fungsi produksi Cobb-Dauglass) mengatakan bahwa kesejahteraan suatu bangsa yang tercermin dari tingkat produktifitas dalam menghasilkan produk barang dan jasa (produksi) dipengaruhi paling tidak sedikitnya 2 fungsi produksi yakni kapital (Capital) dan tenaga kerja (Labour). Artinya, kapital yang diidentikan dengan modal atau uang seharusnya bisa dipertemukan dengan tenaga kerja yang mencerminkan sektor riil untuk menghasilkan produktifitas positif .
Jika kapital tidak mampu dipertemukan dengan tenaga kerja maka sama halnya dengan moneter yang berjalan sendiri tanpa dibersamai oleh berkembangnya sektor rill yang pada akhirnya melahirkan istilah bubble economy. Hal ini dengan sederhana dapat dipahami dengan menggunakan persamaan ekonom Irving Fisher dimana MV=PT, votalitas atau kecepatan uang beredar (V) jika tidak bisa diikuti oleh transaksi yang beriringan (T) dalam sektor riil maka akan berakibat semakin tingginya tingkat harga (P) dimana inflasi tinggi sehingga akan menyebabkan menurunnya daya beli masyarakat. Situasi ini akan semakin diperparah ketika para investor yang memiliki modal tersebut menuntut tingkat keuntungan yang lebih tinggi yang secara otomatis akan menaikan tingkat biaya modal disatu sisi akan menurunkan tingkat investasi dimana penurunan investasi akan berdampak akan lesunya sektor riil. 

Monday, 18 July 2011

Kita Lihat Saja Nanti

Kita memang tidak pernah mempunyai jawaban yang pasti
Terhadap semua masalah
Yang sedang kita hadapi
Karena setiap orang berbeda pendapat
dan juga keyakinan

jadi...

jadi ya... kita harus berani mengambil keputusan...
walapun kita tidak punya jawaban yang pasti

atau
kita lihat saja nanti
atau kita akhiri saja,
karena dua-duanya memang tidak ada yang jelas untuk kita

sebenarnya kita masih bisa sama-sama ya

tapi pasti banyak yang terluka
buat apa kita bahagia kalau banyak yang nangis

kamu ingat tidak, kalau aku pernah bilang

jodoh itu Tuhan yang atur
kita tidak akan pernah tahu, siapa jodoh kita
hingga kita hidup dengan seseorang itu
Seseorang yang akan melengkapi dan melengkapkan
setengah agama kita

Begitupula dengan rejeki

kita tidak akan pernah tahu rejeki itu hingga
kita merasakan dan mensyukurinya

Kita lihat saja nanti


sekarang aku setuju dengan kalimat

kita lihat saja nanti
tapi, kita nanti bakal ketemu lagi kan?
mungkin nanti di surga

kita lihat saja nanti 
 (Kita Lihat Saja Nanti, 3 Hati 2 Dunia 1 Cinta)

Wednesday, 8 June 2011

Semakin ke sini semakin diri merasa bodoh,…

Gue buka lagi rapot SMA. Gue liat-liat ternyata gue bukan seorang siswa yang pinter ternyata. di rapot, semester 1 kelas 1 SMA cuma rangking 19 dari 36 siswa, semester 2 malah turun jadi rangking 24. Gambaran kalo gue itu cuma anak medioker, mungkin lebih sering siswa papan bawah. Kelas 2 juga gak jauh beda, sama aja, cuma beruntung aja rangking rapot nya kagak ditulis, wah kalo ditulis, papan bawah lagi. Haha… gue juga inget IQ gue cuma, 119. Entah gimana dulu, pernah suatu saat pas SMA saking pasrahnya, semester 2 akhir, pas uas, gue pasrah cuma corat-coret lembar jawaban fisika soalnya waktu itu sempet ada desas desus gtu, yang mau masuk IPS nilainya 7, eh ternyata gue tetep 6 tuh.  ampe akhirnya gue nyadar diri, kalo gue itu kagak cocok sebagai anak IPA. Fuh..fuh… secara nilai gue gtu, nilai IPA…hmmmmm…. Ampir dibawah rata-rata semua. Hehe.. Pas mahasiswa juga sama. IPK skrg 3,19 dari skala 4. Alhasil ya gtu, medioker lagi, eh papan bawah deng. Apalagi belum lulus. Semakin tambah deh predikat itu. Nilai kuliah ya gtu, standar. Kalo gue dapat nilai A, berarti yang lain nilai A juga. kalo yang lain dapat nilai A, gue nih belum tentu dapet nilai A, kadang-kadang C, E bahkan ada yang gak keluar nilainya…. Ampir semua nilai pernah, kecuali nilai D. hehe…  satu lagi kelemahan gue adalah kelemahan bahasa…

Kesadaran kelemahan itu muncul pas mau naek kelas 3. Gue pikir kalo gue nggak berbuat sesuatu y gue bakal jadi anak yang gtu2 aja. Lurus-lurus doang idup gue, nggak ada rasanya,. Waktu itu gue melakukan sesuatu, bukan berusaha meningkatkan nilai akademis gue, karena itu udah mentok lah ibaratnya. Walaupun ampe sekarang untuk urusan akademis gue punya standar minimal. Minimal kalo yang lain IPK 4 atau cumlaude di atas 3,5, gue cukup minimal 3 masih berharap 3,25 titik aman buat anak soshum. Itu arti penting standar minimal… minimal kalo ada lowongan pekerjaan syarat pertama, administrasi lolos tuh… biasanya sih 3 kan? Dari kelas 2 SMA akhir, gue udah berpikir untuk melakukan hal lain non akademis. Gue inget betul pertama gue start dari menulis. Waktu itu gue belajar dari temen, Anshori lulusan hukum UI. Gue belajar suka sama yang namanya novel, cerpen, tulisan-tulisan fiksi. Gue coba tulis, gue coba ikut lomba cerpen waktu itu, lu tau nggak judul cerpen gue apa? Judulnya innalillahi wa innalillahi ra’jiun. Hihi.. gue sempet ditertawakan… gue pikir lucu juga sih judulnya… tau nggak? Nggak menang tuh waktu itu, salah satu jurinya Novelis terkenal, Pipit Senja. waktu itu. minimal dia baca karya gue (jangan2 gak dibaca ya… haha). Temen gue, dia menang. Hebat! Kayaknya gue nggak bakat ngarang cerita cerita fiksi…

Gue coba lagi, tapi bukan lagi nulis fiksi. Republika dulu masih ada kolom agenda-agenda atau informasi tentang pameran, festival budaya, termasuk ada nyelip info-info lomba. Ceritanya dulu ada lomba menulis artikel yang ngadain Universitas Moestopo Beragama. Gue ikut ama temen gue. Gue nulis, dia nulis. Singkat cerita ada telepon dari panitia. Kita berdua disuruh dateng ke gedung deket Senayan. Gue inget, pake baju sekolah lengkap kita naek bis Kopaja kesana, ampe blok M. lanjut lagi naek metro mini. Turun, ternyata ama panitia diminta biaya pendaftaran. What? Hmmm… gue pikir keluar duit nggak masalah, coz gue pikir gue ama temen gue bakal jadi juara nih. Haha.. Secara udah dipanggil panitia gtu. Eng..ing..eng… pas pengumuman, diumumin tuh juara tiga atas nama..sebut saja bunga…. Pas giliran Juara 2… eh gak ada namanya, juara 1 juga gak ada namanya… loh..loh… juara 2 dan 1 nggak ada nama pemenangnya… bingung tuh gue.. kok bisa? Positif thinkingnya, panitia punya standar minimal nilai juga ternyata… hihihih… nah standar minimal itu, Cuma ada 1 orang yang lolos standar minimal nilai untuk juara 3… Selebihnya… Nothing lah…. Hahaha… tau nggak? Waktu pulang, lewat blok-M. ada anak SMA. Gue dipalak men. Dia minta Rp 1.000,-. Gue jiper (takut) juga waktu itu, biasalah anak anak SMA yang megang Blok M kan gtu… dari ceritanya menakutkan. Tetep aja diminta, walau gue pake jaket Rohis gtu, ada logo palestinanya padahal. Dia tetep nggak takut. Hehe… atau gue nya cemen betul ternyata… Waktu itu kesalahan gue ada 2. Satu, Gue lupa, kalo yang menolong gue itu bukan pakaian atau jaket, tapi seharusnya gue minta ama Allah atas perlindungan. Dua, bodohnya gue. Waktu abis dipalak, gue berdoa dibis sambil berdiri cos penuh, supaya orang yang malak gue td, gak bakalan berkah uang palakannya itu. tapi gue lupa, hey. Cuma Rp 1000 doang, gue bales dg doa ampe sgtunya. Duh..nyesel gue.  

Lanjut. Bro..sist… gue nggak menyerah waktu itu. setiap ada kesempatan, gue ambil. Setiap ada peluang gue ikut. Waktu ntu, masih kelas 2, antar kelas ada namanya olimpiade gtu setiap mata pelajaran. Tentu gue nggak mewakili pelajaran matematika, fisika kimia atau biologi. Gue ikut di bagian ekonomi. Pokoknya ikut dulu, mikirnya bgitu. Akhirnya ampe juga di final, juara 1 antar kelas mewakili kelas 2-1 bersama 2 teman lainnya. Dari situ, perasaan gue merasa, kalo gue sudah mulai dilirik ama guru. Di perpus, gue inget banget. Ada undangan olimpiade ekonomi “Economic Battle” 2005 antar SMA di Unair Surabaya yg ngadain HIMIESPAnya waktu itu. gue diajak, walau itu gue ngerasa malu buat ikut yang lebih besar. Ternyata awalnya ada seleksi regional dulu. diJakarta, di dinas pendidikan digedung C kalo gak salah. Pasangan gue anak pinter banget, skrg dia Akuntansi UI, udah lulus kayaknya. Namanya panggilannya kower, bocahnya item, sama, bedanya cuma di kepinteran aja.  Haha… di regional Jakarta kita lolos ke-2, ke satunya temen dari SMA gue juga, pasangan gila. Dua-duanya pinter banget 11-12 lah. Udah lulus juga dari UI, satunya ODP Mandiri. Satunya lagi nggak tau. Seluruh biaya transportasi ama akomdasi ditanggung sekolah. Disana, gue kalah!

Terus begtu, ada peluang dan tawaran, gue ikut. Terus…. Ampe akhirnya, ada juga yang nyangkut. Lumayan bisa dapat beasiswa langsung ke STIE Pertiwi Group (100% beasiswa 1 semester) dan IPB (lolos langsung, waktu ikut Fourt Economics Contest SMA Se-Bali Jawa Sumatera FEM IPB 2006). Waktu IPB dulu, yang nulis karya tulisnya bukan gue. Tapi temen adek kelas gue di UI dia sekarang. Terus begitu,  ada peluang dan tawaran, gue ikut. Kadang kalah, kadang juara. Fluktuatif. Pas awal kuliah di UGM, gue kembali menekuni dunia tulisan. Karena tulis menulis peluangnya sangat banyak daripada ikut lomba cerdas cermat,olimpiade gtu-gtu. 2006 awal, gue nyebar kuisioner sendiri, gue buat sendiri, gue kirim sendiri, bayar sendiri, kalah. Gue ikut lagi, gue kirim lagi... gak juara terus… hehe

Tulis menulis gue gagap betul. Ampe akhirnya selain gue rajin nulis buat ikut ikut lomba, gue juga belajar dari orang lain, bareng temen2, gue belajar dari Yusuf Maulana, sang editor penerbit Pro U Media. Ilmunya banyak banget. Dari situ gue kira, gue punya temen yang memotivasi secara tidak langsung. Bayangkan temen gue namanya Iwan, anak HI UGM, cuma karena nulis doang gak nyampe 10 halaman dia bisa dapet Honda Tiger, pergi ke Filipina, dan prestasi lainnya.  Namanya pani zaristian, gak nyampe 10 halaman dia dapat 18 juta dari XL Award 2009. Great… mau gak mau gue ikut termotivasi, gue ikut terus, sama polanya. Setiap ada peluang gue ikut. Gak peduli berhubungan dengan ekonomi atau nggak. Gue ikut. Nulis sendiri, bayar pendaftaran sendiri, ke kantor pos sendiri, terus… 2007, pernah cuman dapet binder doang, trus juga baru sekedar jadi finalis-finalis aja, lolos finalis di HIMA Ekonomi Pembangunan FE Undip, peringkat 6 dari seluruh peserta adalah awalan yang bagus bagi mahasiswa baru waktu itu. tapi bukan awalan yang bagus buat kesehatan gue, pulang dari Semarang gue dirawat di PKU Muhammadiyah Yogyakarta, deman berdarah. Keluar uang… Semester pendek terlantar… fuh…fuh..fuh… begitulah, pasti selalu ada yang dikorbankan….

Baru 2008, udah terasa hasil selama 2 tahun mahasiswa, juara harapan 3 di festival ekonomi syariah bank Indonesia, juara 3 Islamic Book Fair (IBF) Jakarta IKAPI sama juara 3 artikel yg diadain ama BI dan LSKE FE Undip, runner up Young Economist Icon competition FEM IPB, dapet Grand Research Competition FEB UGM, puncaknya oktober 2008 juara 1 esai kemenegpora RI salaman ama Adhyaksa Dault di depan SBY, foto bareng Anies Baswedan, norak deh waktu itu… 2009, masih lumayan, fluktuatif tetep, sekali finalis, sekali juara 5, sekali juara 3 sekali juara 1 call for paper BEM FE Unair di penghujung 2009. 2010, beralih profesi jadi lebih ke penulis proyek bisnis plan dan program kemasyarakatan, bisa jadi finalis-finalis aja di event Community Enterpreneurship Challenge British Council (akomodasi, transportasi, uang saku sip banget) dan Business Plan competition (cash 5 juta walau hanya jadi finalis aja), puncak 2010 itu Urban Youth Fund, bareng anak anak Komunitas Ijo Royo dan BKKL pimpinan Pak Bambang Suwerda bank sampah kami dapat uang yang luar biasa $22.000. 2011, masa kegelapan… bener bener gelap…

Akhirnya gue belajar…………..

Tiga Ternyata, kalo standar kita menang itu sama dengan mendapatkan penghargaan uang, piala atau sertifikat maka selamanya kita akan dengan mudahnya kecewa kalo kita ikut tapi tidak menang. Tapi coba, kalo kita menulis atau ikut lomba lainnya, berpikirlah dari awal. Kita menulis itu adalah sebuah kemenangan, berpartisipasi di dalam lomba juga sebuah kemenangan. Berpikirnya simple saja. Anda itu pemenang, karena kawan di dekat Anda yang jauh lebih pintar nilai akademisnya dari Anda tidak ikut menulis atau ikut lomba seperti Anda. Kalo tidak menang, tidak dimuat di Koran, please jangan buang tulisan Anda. simpan tulisan Anda, karena suatu saat yang awalnya Anda pikir tidak bermanfaat. Percaya deh… suatu saat akan membawa manfaat bagi Anda.   

Empat. Kuncinya benar kata Ahmad Fuadi, pengarang Negeri 5 menara, man jada wa jadda, man shabara zhafira, bersungguh-sungguh dan sabar. gue itung, semenjak kuliah lebih dari 60 kali gue ikut event-event. Sekali-dua kali-tiga kali-empat kali dan seterusnya belum juara tapi tetap menulis terus itu baru namanya bersungguh-sungguh. Sekali-dua kali-tiga kali-empat kali  belum juara, tapi kita terus coba terus, Itu namanya sabar. Karena sabar dan sungguh-sungguh itu bedanya tipis. Ia mirip, gak bisa dipisahkan ibarat 2 sisi mata uang menurut gue. Kalo boleh gue tambahin satu lagi selain bersungguh-sunggu dan sabar, coba kita bersyukur. gue selama ini terlalu lupa bagaimana cara bersyukur sama Sang Maha Pemberi. Gue juga lupa, sehingga gue terlalu jumawa, Gue lupa berterimakasih sama doa-doa orang lain, yang skrg gue percaya kalo orang lain memiliki andil dalam setiap apa yang kita anggap sebuah keberhasilan. gue lupa saving, gue terlalu pelit untuk membersihkan harta.

Terasa, semakin ke sini semakin diri gue merasa bodoh,…