Monday, 28 November 2011

Uang & Organisasi

Pernah membayangkan organisasi tanpa uang?  Perlu diakui, uang bukan merupakan satu-satunya faktor input produktifitas sebuah organisasi, namun hanya salah satunya. Bukan ingin mengerdilkan faktor input produktifitas lainnya apalagi sekedar memperbandingkan dengan faktor input lainnya karena memang banyak sekali faktor-faktor input yang membuat sebuah organisasi menjadi produktif. Tentunya bukan hanya uang, dalam terminologi klasik, sebuah output, kuantitas atau produktifitas dipengaruhi setidaknya 2 faktor yakni kapital dan tenaga kerja (SDM).  Uang hanya salah satu jenis kapital, dan kapital itu banyak macamnya seperti aset (tanah, secretariat (bangunan), insfrastruktur sarana dan prasarana), dan yang kita pikir sesuatu yang dianggap penting di dalam menciptakan produktifitas baik yang berwujud (tangible) ataupun yang tidak terwujud (intangible seperti ide, etos kerja, konsistensi, tepat janji dan sejenisnya). Dan sekali lagi uang hanya menjadi salah satu dari sekian banyak faktor-faktor input di dalam menciptakan organisasi yang produktif. Diluar kapital dan tenaga kerja ada juga teknologi, human capital(modal sosial, kekerabatan), dan faktor input lainnya.

Pos-Pos Sumber Strategis
Dalam merencanakan agenda-agenda yang mencerminkan produktifitas, hal pertama yang harus dilakukan oleh setiap organisasi adalah pemetaan pos-pos sumber strategis. Setidaknya ada 4 pos strategis.

Pertama, Dana Alokasi Kemahasiswaan (DAK). Sumber pertama yang biasanya menjadi salah satu sumber penting bagi organisasi menjalankan segala bentuk program kerjanya. DAK biasanya bersumber dari rektorat ataupun dekanat. DAK rektorat atau dekanat juga sebenarnya bersumber dari dana lain seperti hal yang mungkin seringkali tidak disadari adalah dana dari mahasiswa juga, sumber lainnya misalnya hibah diknas. Salah satu kelemahan menggunakan DAK adalah seringkali program-program yang sudah teragendakan melalui raker-raker selama berbulan-bulan harus ‘disesuaikan’ atau bahkan seringkali sengaja diperlambat penurunan DAK. Kadang, ketergantungan yang berlebihan terhadap dana DAK membuat organisasi tidak lagi progresif dan berani menentang ketidakberesan dari rektorat ataupun dekanat.


Kedua, Dana Alokasi Alumni (DAA). Alumni menjadi salah satu sumber dana penting lainnya. Alumni biasanya menjadi andalan ketika setiap penyelenggaraan program kekurangan dana atau defisit. Tidak ada yang salah sebenarnya berusaha mendapatkan dana dari pos DAA. Hanya saja proses dan cara berkomunikasi dengan alumni harus memiliki cara dan strategi tersendiri.  

Ketiga, BUMO (Badan Usaha Milik Organisasi). Sumber dari BUMO tidak sebesar sumber dana dari rektorat atau dekanat karena secara umum, setiap organisasi belum, enggan dan tidak benar-benar mengoptimalkan potensi sumber dana dari BUMO. Jikapun sudah melihat dan mencoba menggali potensi sumber dana ini, masih perlu perbaikan managemen, aturan, eksekusi lapangan, dan marketing. Mungkin memang secara realistis pembelajaran mengejar sumber dana dari BUMO bukan agenda utama dari agenda organisasi mahasiswa disamping itu pemikiran bahwa organisasi mahasiswa bukan perusahaan. Sekiranya memang perlu dibahas lebih mendalam tentang potensi sumber dana ini. Coba bayangkan jika setiap organisasi memiliki unit bisnis yang sebagian dananya bisa digunakan untuk kelancaran roda organisasi. Tidak perlu membuat PT, cukup dibuat social enterprisedengan SOP dan the rules of the game yang setiap pengurus intinya perlu tandatangan di atas materai.   

KeempatSponsorhip. Pos sumber ini yang seringkali menjadi andalan setiap organisasi untuk mendukung kelancaraan proses pelaksanaan agenda-agenda kerja organisasi. Sulit sekali membayangkan setiap harinya berapa proposal sponsorship yang masuk ke meja kepala humas bagian sponsorship dan csr (corporate social responsibility)? Mengoptimalkan dana ini kadang faktor hoki juga seringkali mempengaruhi untuk mendapatkan dana sponsor. Namun ada faktor lainnya yang menjadi poin utama mengoptimalkan untuk mendapatkan dana sponsor.


3 Langkah Strategis
3 langkah strategis ini bukan untuk menurunkan pos Dana Alokasi Kemahasiswaan (DAK) karena DAK akan turun dengan sendirinya hanya perlu mengajukan proposal ke rektorat atau rapat keluarga mahasiswa di fakultas. Tidak terlampau rumit dan setiap organisasi sudah terbiasa menggantungkan kepada pos anggaran ini. Lalu bagaimana dengan mobilisasi sumber strategis dana lainnya seperti DAA (Dana Alokasi Alumni) khususnya pos dana sponsorship. Sedangkan pengoptimalan sumber dana Badan Usaha Milik Organisasi (BUMO) akan dibahas ditulisan lainnya. Lalu langkah strategis apa yang harus dipersiapkan?

Pertama, rapat kerja. Sekarang saatnya agenda rapat kerja bukan lagi menjadi agenda basa-basi tanpa perencanaan dan tanpa agenda evaluasi organisasi tahun sebelumnya. Disinilah sebenarnya proses pembelajaran bagaimana mengevaluasi kepengurusan dan program kerja yang lalu dan mempersiapkan perencanaan untuk agenda mendatang. Belajar membaca LPJ, belajar mengevaluasi, belajar mengambil manfaat dan belajar membuang kemudharatan dari program sebelumnya. Setelah itu, perlu ada pengoptimalan rapat kerja agar tidak terkesan berbasa basi. Rapat kerja harus dilaksanakan dalam satuan waktu tertentu, yang pasti tidak cukup satu hari jika diperlukan waktu 1 bulan rapat kerja akan terasa ideal. Rapat kerja harus bisa menyusun agenda kerja selama satu tahun kepengurusan. Setiap ketua dan pengurus harian harus bisa menyusun agenda kerja satu tahun ke depan, minimalisir menyusun agenda di pertengahan tahun atau diakhir tahun. Kalaupun terpaksa yang terpenting agenda-agenda isidental tidak boleh mendominasi program-program kerja organisasi.

Kedua, penyeleksian program kerja. Untuk mempermudah mendapatkan dana sponsor yang perlu diperhatikan adalah tidak perlu semua program kerja ditawarkan ke pihak sponsor dan harus ada agenda-agenda strategis prioritas katakanlah Top 10 Programs.Top 10 Programs berisi agenda-agenda organisasi yang dapat menguntungkan pihak sponsor di dalam mempromosikan usaha atau jasanya. Karena tidak mungkin sponsor memberikan dana tanpa ada kepentingan di dalamnya, mereka pun membutuhkan kontraprestasi yang setimpal dengan uang yang diberikan kepada organisasi mahasiswa. Keuntungannya dari Top 10 Programs yang ditawarkan setiap organisasi mahasiswa kepada pihak sponsor diantara lain: (a) pihak sponsor akan memiliki keleluasaan di dalam menentukan program kerja pilihan mereka akan danai (b) pihak sponsor tidak akan terlihat bosan dan bertanya dengan banyaknya proposal sponsorship dari organisasi yang sama dimana biasanya setiap organisasi mahasiswa sering mengirimkan banyak proposal berbagai agenda kegiatan ke satu perusahaan yang sama. Bagaimana pihak sponsor tidak bosan?  (c) Beranikah setiap organisasi menawarkan kepada pihak sponsor, jika mereka membiayai salah satu program kegiatan saja yang ada di TOP 10 Programs, maka organisasi mahasiswa tersebut memberikan kontraprestasi kepada sponsor katakanlah memasang logo sponsor di setiap agenda kegiatan organisasi yang sudah disepakati. Artinya, kontraprestasi terhadap sponsor tidak hanya berlaku pada satu agenda kegiatan, namun beberapa agenda kegiatan organisasi. Berani coba? (d) setiap organisasi akan tak akan perlu repot mengirimkan berkali-kali proposal sponsorship.

Ketiga, perbaikan databaseDatabase yang harus diperbaiki minimal database alumni, lembaga mahasiswa, lembaga non mahasiswa (pusat kajian,media dan sejenisnya),  dan sponsor. Ini masalah klasik yang belum bisa diperbaiki dari tahun ke tahun oleh kepengurusan organisasi mahasiwa. Setiap kepengurusan pasti pernah mendapatkan sponsor, lalu setelah berakhirnya agenda, maka seringkali tidak terdatabase dengan baik bukan? Jangankan sponsor, database pembicara misalnya, kepengurusan selanjutnya harus menanyakan contact person kepada kepengurusan sebelumnya. Hanya karena kepengurusan sebelumnya tidak memiliki database yang baik. Hari ini kita harus berpikir meninggalkan database yang baik buat kepengurusan organisasi mahasiswa selanjutnya. Jika butuh nomor kontak si x misalnya, tinggal buka computer maka disitu ada nama lengkap dan gelar, alamat dan nomor handphonenya. Jika butuh memasukan proposal sponsorship ke perusahaan x, maka dalam database sudah ada alamat kantor, alamat email dan nomor kontak jaringan internal perusahaan. Jika ingin mengundang organisasi mahasiswa lainnya, tinggal buka database disana ada alamat lengkap dan kontak organisasi. Semua akan terasa mudah dan tidak perlu membuang waktu hanya untuk sekedar bertanya kepada kepengurusan sebelumnya berapa nomor handphone si x dan perusahaan x.Terakhir kita harusnya berpikir, bahwa jaringan orang dan lembaga penting yang kita miliki saat ini karena organisasi yang membuat kita mendapatkan semuanya. Jadi kerelaan dalam perbaikan database orang-orang seperti ketua, humas dan eksternal di setiap organisasi menjadi orang yang paling bertanggungjawab untuk berpikir dan menyusun database yang baik, harus ada kerelaan untuk berbagi database (jangan dimanfaatkan sendiri) dan kerelaan ikut merawat jaringan yang ada.
            Semoga bermanfaat. 

Thursday, 10 November 2011

Small is Beautiful

Kondisi ekonomi makro yang membaik pada periode 1997-2004, ternyata belum mampu mendorong sektor riil untuk menyerap kembali pengangguran akibat krisis dan tambahan tenaga kerja muda.[1]
Tabel 1. Population and Type of Activity 2001-2005
Type
Of Activity
2001
2002
2003
2004
2005
Population15+
144.033.873
148.729.934
151.406.298
153.923.648
155.549.736
Working
90.807.417
91.647.166
92.810.791
93.722.036
94.948.118
Unemployment
8.005.031
9.132.104
9.820.011
10.251.351
10.854.254
Sumber: www.bps.go.id
Tabel 1 Population and Type of Activity menjelaskan bahwa dari tahun 2001-2005 jumlah angkatan kerja[2] di Indonesia bertambah cukup signifikan sekitar 11 juta jiwa atau sekitar 8%. Jumlah pengangguran pun meningkat dari 8 juta jiwa menjadi sekitar 10,8 juta jiwa di tahun 2005. 
Angka pengangguran yang tinggi merupakan pemborosan-pemborosan sumber daya dan potensi yang ada, menjadi beban keluarga dan masyarakat, sumber utama kemiskinan, dapat mendorong peningkatan keresahan sosial dan kriminal, dan dapat menghambat pembangunan dalam jangka panjang. Secara garis besarnya, pengangguran akan berdampak kepada pendapatan per kapita seseorang, pendapatan negara, menjadi beban psikologis, psikis, dan biaya sosial (Alam S, 2003: 47).
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat adanya penurunan jumlah pengangguran di Indonesia khususnya di tahun 2007 dan Februari 2008. Tahun 2007 pengangguran menurun sekitar 384 ribu jiwa. Jumlah penganggur pada Februari 2008 sebesar 9,43 juta orang, berkurang 584 ribu dibandingkan dengan Agustus 2007 atau berkurang 1,12 juta orang dibanding pada Februari 2007 yang mencapai 10,55 juta orang.
 Lalu bagaimanakah jumlah pengangguran pasca krisis global yang melanda AS dan berefek ke Indonesia? Akibat munculnya krisis global yang berbuntut dengan adanya pemutusan hubungan kerja (PHK) atau dirumahkannya karyawan oleh perusahaan tempat mereka bekerja telah bertambah. "Jumlah pengangguran kini (Februari 2009, pen) bertambah sebanyak 79 ribu orang, sehingga total penduduk Indonesia yang tidak memiliki pekerjaan mencapai hampir 10 juta," kata Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Erman Suparno.[3]
Di dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2004-2009, dijabarkan bahwa ada berbagai permasalahan iklim ketenagakerjaan di Indonesia.  Salahsatunya adalah seperti yang telah diungkapkan di atas bahwa adanya peningkatan jumlah pengangguran terbuka selama 5 tahun terakhir.[4]
            Masalah selanjutnya adalah perbedaan upah yang semakin lebar antara pekerja formal dan informal yang menimbulkan kesenjangan pendapatan. Padahal masalah kesenjangan adalah salahsatu dari tiga parameter berhasil atau tidaknya pembangunan ekonomi menurut Dudley Seers (1973) selain pengurangan jumlah pengangguran dan perbaikan angka kemiskinan.[5]
            Sebelum krisis ekonomi 1998, upah pekerja informal mengikuti pola upah pekerja formal. Apabila upah pekerja formal meningkat maka upah pekerja informal ikut meningkat pula. Para pekerja yang bekerja di industri besar upahnya cenderung meningkat dan sekarang secara riil sudah 20% di atas upah riil[6] sebelum krisis terjadi. Sedangkan upah pekerja informal cenderung tidak meningkat dan hanya sebesar 80% dibandingkan upah riil sebelum krisis.
Todaro dan Smith (2003:235) mengatakan bahwa ketimpangan pendapatan yang ekstrem menyebabkan inefisiensi ekonomi, tingkat tabungan secara keseluruhan di dalam perekonomian cenderung rendah, terjadi alokasi aset yang tidak efisien, disparitas pendapatan yang ekstrem melemahkan stabilitas sosial dan solidaritas karena ketidakadilan.
            Saat ini pertanyaannya adalah kebijakan ekonomi diarahkan kemana: menciptakan lapangan pekerjaan formal atau modern yang seluas-luasnya sesuai arahan kebijakan RPJMN untuk mengurangi ketimpangan pendapatan yang ada? Ataukah tetap memperkuat lapangan kerja informal karena kondisi pasar tenaga kerja Indonesia bersifat dualistik, yaitu sebagian besar (70%) dari angkatan kerja bekerja pada lapangan kerja informal; sebagian besar memiliki keterampilan rendah, yaitu sekitar 55% adalah lulusan sekolah dasar ke bawah?      
Selain pengangguran dan ketimpangan,[7] masalah kemiskinan menjadi parameter keberhasilan pembangunan ekonomi di sebuah negara.[8] Untuk itu, diperlukan langkah nyata untuk menyelesaikan ketiga masalah pokok pembangunan dan untuk meredam gejolak ekonomi akibat krisis global.
Menurut hemat penulis pemerintahan yang baru 2009-2014 perlu mengambil langkah awal untuk menekan gejolak krisis global yang masih terasa hingga saat ini dengan memperkuat lapangan kerja informal (UMKM). Hal ini lebih realistis dalam jangka pendek ketimbang menciptakan lapangan kerja baru yang modern, karena untuk menciptakan lapangan kerja perlu adanya investasi besar (dalam ataupun luar negeri) dan nampaknya untuk kondisi saat ini dimana sebagian besar perusahaan besar terkena dampak krisis masih belum memungkinkan.
Tuntutan untuk memperluas partisipasi masyarakat dalam pembangunan nasional tertumpu pada sektor UMKM, salah satu alasannya adalah karena UMKM banyak menyerap tenaga kerja dan kontribusinya terhadap produksi nasional, jumlah unit usaha dan pengusaha. 
Kontribusi UMKM dalam pendapatan domestik bruto (PDB) pada tahun 2003 adalah sebesar 56,7 persen dari total PDB nasional, terdiri dari kontribusi usaha mikro dan kecil sebesar 41,1 persen dan skala usaha menengah sebesar 15,6 persen. Atas dasar harga konstan tahun 1993, laju pertumbuhan PDB UMKM pada tahun 2003 tercatat sebesar 4,6 persen atau tumbuh lebih cepat daripada PDB nasional yang tercatat sebesar 4,1 persen.
Departemen Koperasi dan Usaha Kecil Menengah melaporkan  bahwa di tahun 2004 UMKM berkontribusi terhadap penciptaan PDB nasional (menurut harga berlaku) tercatat sebesar Rp 1.271.990.100 juta (55,96 persen) dari total PDB nasional, lalu meningkat menjadi Rp 1.480.002.900 juta pada tahun 2005.
Pada tahun 2003, jumlah UMKM adalah sebanyak 42,4 juta unit usaha atau 99,9% dari jumlah seluruh unit usaha dan dapat menyerap lebih dari 7 juta tenaga pekerja atau 99,5% dari jumlah tenaga kerja, meliputi usaha mikro dan kecil sebanyak 70,3 juta tenaga kerja dan usaha menengah sebanyak 8,7 juta tenaga kerja.
 Di tahun 2004, Kementerian Koperasi dan UKM mencatat sektor UMKM dapat menyerap tenaga kerja sekitar 83,2 juta jiwa, naik menjadi 85,4 juta jiwa di tahun 2005. Disisi lain, sektor UMKM juga turut berkontribusi terhadap nilai investasi di Indonesia, rata-rata nilai investasi sektor UMKM dari tahun 2003-2006 berjumlah Rp 267.664 miliar per tahunnya. Nilai ekspor sektor UMKM juga mengalami peningkatan. Tahun 2005, jumlah ekspor sementara sektor UMKM mencapai Rp 110.338 miliar meningkat menjadi Rp 122.200 miliar pada tahun 2006.
Kontribusi UMKM pada tahun 2007 mencapai Rp 2.121,3 triliun atau 53,6% dari total produk domestik bruto (PDB) Indonesia pada 2007 yang mencapai Rp 3.957,4 triliun. PDB Indonesia pada 2007 tumbuh 6,3% terhadap 2006. Bila dirinci menurut skala usaha, pertumbuhan UMKM mencapai 6,4% sedangkan usaha besar tumbuh 6,2%.
Pertumbuhan PDB UMKM 2007 terjadi pada semua sektor ekonomi. Pertumbuhan tertinggi terjadi pada sektor bangunan 9,3%, diikuti sektor perdagangan, hotel dan restoran 8,5%, dan sektor pertambangan dan penggalian 7,8%. Menurut data Menegkop, jumlah populasi UMKM pada 2007 mencapai 49,8 juta unit usaha atau 99,99% terhadap total unit usaha di Indonesia.
Sementara jumlah tenaga kerjanya mencapai 91,8 juta orang atau 97,3% terhadap seluruh tenaga kerja Indonesia. Sedangkan hasil ekspor produksi UMKM selama 2007 mencapai Rp 142,8 triliun atau 20% terhadap ekspor nonmigas nasional sebesar Rp 713,4 triliun. Nilai investasi fisik UMKM yang dinyatakan dengan angka pembentukan modal tetap bruto (PMTB) pada 2007 mencapai Rp 462,01 triliun atau 46,96% terhadap total PMTB Indonesia.
Melihat fakta di atas, pengembangan UMKM sangat relevan dilakukan di Indonesia. Di tengah krisis keuangan global yang sedang mengancam perekonomian tiap negara, mengembangkan UMKM (sektor riil) dapat menjadi salah satu pilihan mengantisipasi krisis keuangan global, membangun kemandirian ekonomi nasional serta memperkuat pasar domestik.
Menurut Masson (1999) dengan kuatnya pasar domestik, ketergantungan terhadap Negara tujuan ekspor utama akan berkurang, sehingga efek contagion dari krisis yang terjadi di negara lain dapat dikurangi. Dengan kuatnya pasar domestik juga memberikan jaminan perekonomian akan tetap dapat tumbuh, meskipun pasar ekspor ke luar negari mengalami kelesuan.[9]
Pengembangan UMKM bukan sekedar untuk mengantisipasi krisis keuangan global yang sedang terjadi di Amerika Serikat dan berimbas kepada seluruh negara di dunia. Lebih dari sekedar alat antisipasi krisis saat ini, pengembangan UMKM harus menjadi jawaban dari pertanyaan seorang ahli ekonomi, Prof Dudley Seers (Kuncoro, 2006). Dudley Seers (1973; Kuncoro, 2006) menegaskan keberhasilan pembangunan ekonomi terlihat dari jawaban atas tiga pertanyaan. What has been happening to proverty? What has been happening to unemployment? What has been to inequality?




[1] Republik Indonesia. 2005. Strategi Nasional Penanggulangan Kemiskinan. Jakarta: Komite Penanggulangan Kemiskinan.
[2]  Angkatan kerja (Ehrenberg dan Smith, 2000:27) adalah all those over 16 years of age are either employed, actively seeking work, or expecting recall from layoff. Standard angkatan kerja di Indonesia agak sedikit berbeda, yaitu menurut Badan Pusat Statistik, tenaga kerja (manpower) adalah seluruh penduduk dalam usia kerja (berusia 15 tahun atau lebih) yang potensial dapat memproduksi barang dan jasa. Lihat, http://www.datastatistik-indonesia.com/content/view/801/801/1/0/ .
[4] Lihat, RPJMN 2004-2009. Jakarta: Sinar Grafika cetakan tahun 2006
[5] Lihat dalam Kuncoro, Mudrajad. 2006. Ekonomika Pembangunan-Teori, Masalah, dan Kebijakan. Edisi Keempat. Yogyakarta: UPP STIM YKPN. Hlm. 11
[6] Upah riil adalah pendapatan nominal yang diterima pekerja dibagi dengan Indeks Harga Konsumen (Ehrenberg dan Smith, 2000)
[7] Tingkat ketimpangan ekonomi menurut Faisal Basri selama tahun 2007 meningkat dari 0,34 persen menjadi 0,37 persen. Lihat, “Rakyat Belum Sejahtera”, Kompas, 29/12/2007
[8] Laporan Badan Pusat Statistik (BPS) 2007 menyebutkan bahwa jumlah orang miskin di Indonesia berkurang dari tahun sebelumnya. Penduduk miskin tinggal 37,17 juta jiwa atau sekitar 16,58% dari jumlah penduduk di Indonesia. Angka kemiskinan ini jauh lebih baik dibandingkan tahun 2006 yang mencapai 39,30 juta jiwa (17,75%), ada penurunan orang miskin sekitar 2,13 juta jiwa.
[9] Dalam jurnal Multiple Equlibria, Contagion, and the Emerging market Crises. Paul R. Masson. International Monetary Fund Working Paper. November 1999

Friday, 4 November 2011

Breakaway League


IPL vs ISL

Breakaway league, istilah baru dalam sepakbola nasional yang mulai populer setelah kehadiran Liga Primer Indonesia (LPI) gagasan Arifin Panigoro sebagai bentuk protes terhadap kepemimpinan Nurdin Halid dan Nugraha Besoes yang dianggap telah melanggar statuta FIFA. LPI bertujuan untuk menciptakan citra sepakbola Indonesia yang bersih, modern, profesional dan mandiri. Pada awalnya, kehadiran LPI sempat mengundang simpati publik karena sebagai liga tanpa APBD. Namun tak sampai seumur jagung, kompetisi LPI terhenti di tengah musim kompetisi, miliaran rupiah dana konsorsium LPI pun kini tak jelas dampaknya bagi klub apalagi bagi para konsorsium? Sehingga secara sederhana dapat disimpulkan bahwa kehadiran LPI belum dapat dijadikanrole model bagi kompetisi sepakbola nasional. Bahkan hanya terkesan sebagai alat untuk meraih simpati publik demi merebut kursi PSSI 1.

Untuk musim kompetisi 2011-2012, istilah breakaway league juga kembali digunakan. Kali ini yang menjadi breakaway league adalah Indonesia Super League (ISL) dengan 14 klub yang diinisiasi oleh elit PSSI era Nurdin Halid sebut saja Nugraha Besoes, Andi Darusalam Tabusala dan Djoko Driyono sebagai bagian sikap protes terhadap kebijakan PSSI 2011-2015 era Arifin Djohar Husein-Farid Rahman yang dikatakan telah melanggar statuta FIFA karena tidak mengakui hasil keputusan kongres PSSI di Bali, memaksakan 24 klub menjadi peserta Liga Prima Indonesia (LPI) dan dugaan ketidakadilan kepemilikian saham antara PSSI dengan klub peserta liga. Lalu pertanyaannya, bukan mencari siapa yang benar siapa yang salah, tetapi mau dibawa kemana sepakbola di negeri ini jika selalu hadir breakaway league?

Setidaknya ada 3 kerugian hadirnya breakaway leaguePertama, jika kisruh ini terus berlanjut bukannya tidak mungkin jika FIFA maupun AFC akan menjatuhkan sanksi larangan tampil kepada klub dan Timnas dalam ajang kompetisi Asia dan Dunia. Kedua, kisruh seperti ini hanya akan memperburuk pengelolaan kompetisi sepakbola nasional dan pembinaan sepakbola usia dini. Ketiga, akan melahirkan gesekan dikalangan supporter sepakbola Indonesia antara yang mendukung LPI dengan pendukung ISL yang tentunya akan mengurangi jumlah pemasukan klub dari tiket dan sponsor disamping itu gesekan antar supporter juga dikhawatirkan akan berdampak buruk terhadap kondisi ekonomi dan politik nasional.

Setelah publik jengah dengan drama Kongres Luar Biasa (KLB) PSSI yang berlarut-larut, Timnas Indonesia yang mengalami kekalahan beruntun di kualifikasi Zona Asia World Cup 2014, kini publik sepakbola Indonesia dibuat bingung dengan istilah breakaway league. Walau begitu, publik sepakbola Indonesia hanya bisa menyimpulkan bahwa sepakbola Indonesia kini hanya dimiliki oleh sekelompok elit politik dan ekonomi yang saling bertarung untuk kepentingan politik dan ekonomi kelompoknya.


Melongok Kembali Sejarah PSSI
Setelah memutuskan keluar dari perusahaan bangunan Belanda “Sizten en Lausada”, Soeratin Sosrosoegondo berkumpul dengan para wakil dari berbagai daerah seperti Sjamsoedin (Voetbalbond Indonesische Jakarta), Gatot (Bandoengsche Indonesische Voetbal Bond (BIVB)), Daslam Hadiwasito, A.Hamid, M. Amir Notopratomo (Persatuan Sepakbola Mataram (PSM) Yogyakarta), Soekarno (Vortenlandsche Voetbal Bond (VVB) Solo), Kartodarmoedjo (Madioensche Voetbal Bond (MVB)), E.A Mangindaan (Indonesische Voetbal Bond Magelang (IVBM)), Pamoedji (Soerabajashe Indonesische Voetbal Bond (SIVB)), dari pertemuan tersebut lahirlah PSSI (Persatoean Sepakraga Seloeroeh Indonesia) pada 19 April 1930. Sebuah komitemen besar dari para pelaku sejarah sepakbola nasional yang menjadikan sepakbola bukan untuk kepentingan politik dan ekonomi kelompok, melainkan kepentingan dan alat perjuangan revolusi politik dan ekonomi seluruh rakyat Indonesia melawan penajajah.

Sekiranya memang para elit sepakbola yang mengaku cinta kepada sepakbola nasional harus melihat kembali sejarah berdirinya PSSI dan sepakbola di negeri ini. Tidak ada dalam catatan sejarah masa lalu PSSI diperebutkan oleh kepentingan politik dan ekonomi sekelompok orang, yang ada hanyalah sepakbola dan PSSI sebagai alat nasionalisme melawan penjajah. Sejarah mengatakan bahwa sepakbola bukan sekedar permainan tetapi sebagai alat revolusi, bukan untuk sekelompok, melainkan seluruh lapisan bangsa Indonesia. Publik sepakbola Indonesia memang menginginkan Timnas Indonesia berlaga di World Cup seperti pada piala dunia tahun 1938 atas nama Dutch East Indies yang diwakili oleh 9 pemain Indonesia. Namun, sebelum terlalu jauh memikirkan World Cup perbaiki dulu mentalitas para elit sepakbola di negeri ini, duduk bersama jauh lebih baik ketimbang hanya untuk sekedar menciptakan breakaway league. []