Monday 9 December 2013

BMT & Pedagang Pasar Tradisional

Ditulis oleh: 
Rizky Febriana (Analis Bisnis, Ekonomi dan Politik)*

Sekitar tahun 2011, Pasar Tradisional Colombo yang berlokasi di Jalan Kaliurang KM 7 Desa Condong Catur, Kecamatan Depok, Kabupaten Sleman, Propinsi Yogyakarta menjadi tempat yang sangat berjasa bagi penulis. Bagaimana tidak, berkumpulnya para pedagang sayur mayur, buah-buahan, bumbu masak, daging, ikan laut, roti (brambang), pakaian, makanan, tape dan lainnya yang berjualan dari pukul 04.00-12.00 WIB di pasar tersebut menjadi jalan bagi penulis dalam menyelesaikan tugas skripsi untuk mendapatkan gelar Sarjana Ekonomi dari salah satu kampus negeri yang kata orang termasuk ternama di negeri ini.
Dimbimbing oleh Dr. Anggito Abimanyu dan Prof. Samsubar Saleh, 35 orang pedagang dengan berbagai jenis dagangan menjadi objek penelitian penulis. Jumlah objek penelitian yang terkesan sedikit namun yang terpenting didasari oleh pendapat dari rule of thumb yang dijelaskan oleh Roescoe dalam Sekaran (2003) yang menyatakan bahwa jumlah sampel antara 30-500 sudah dirasakan memenuhi kebanyakan penelitian sosial yang sering terjadi. Dalam studi pustaka yang lain mengatakan tidak ada batasan yang jelas mengenai jumlah sampel yang kecil dan yang besar (Soeratno dan Arsyad, 2008).
Penelitian yang dijalani waktu itu adalah mencari tahu apakah pembiayaan (kredit) yang diberikan oleh Baitul Mal Wat-Tamwil Surya Amanah yang berlokasi 5 meter di selatan pasar tersebut mampu mempengaruhi omset para pedagang tradisional yang berjualan di Pasar Colombo? Dengan model penelitian modifikasi dari Koivu (2002); Gillman dan Harris (2004a); Rahayu (2008) terkait pengaruh kredit terhadap pertumbuhan, lalu model Coob-Dauglas (Harvey dan Taylor, 1993) terkait pengaruh tenaga kerja terhadap output, dan model penelitian ini secara umum merupakan modifikasi dari model penelitian Kuncoro (2003) dan Narindra (2008) sehingga model yang digunakan waktu itu adalah seperti:
Dimana,
Variabel
Keterangan
Satuan
O
Omset usaha
Variabel kontinyu (rupiah)
Kr
Kredit yang diterima
Variabel kontinyu (rupiah)
Ms
Modal sendiri
Variabel kontinyu (rupiah)
Tk
Jumlah tenaga kerja
Variabel diskrit (jiwa atau orang)
LU
Lama Usaha
Variabel kontinyu (tahun)
IKT
keikutsertaan organisasi bisnis
Variabel kontinyu (buah)
TPTK
Tingkat Pendidikan Tenaga Kerja
0 = Mayoritas tidak lulus SMP
1 = Mayoritas lulus SMP
DEM
Demand terhadap produk
1 = Sangat rendah; 2 = rendah;
3 = Cukup; 4 = Tinggi; 5 = Sangat Tinggi
Dengan menggunakan software Eviews 4 dan alat analisis sederhana OLS (Ordinary Least Square) ditemukan bahwa pembiayaan (kredit) merupakan salah satu faktor yang berpangaruh positif terhadap omset para pedagang dengan nilai koefisien regresi variabel kredit, 0,4976. Hal ini menunjukan bahwa setiap kenaikan kredit sebesar 1% maka akan meningkatkan omset sebesar 0,4976% dengan asumsi ceteris paribus.
Walau model penelitian ini lolos uji signifikansi (uji t, uji F dan uji R2), uji asumsi klasik (uji normalitas, multikoliniearitas dan heteroskedastisitas) dan lolos uji dosen penguji, namun penelitian ini memiliki keterbatasan karena jumlah cakupan penelitian yang tidak begitu luas dan hanya para pedagang yang mendapatkan fasilitas kredit dari Baitul Mal Wat-Tamwil Surya Amanah, sebuah BMT yang terlahir dari rahim warga Muhammadiyah.
Namun demikian, fungsi kredit yang berpengaruh positif juga sejalan dengan beberapa penelitian lainnya. Hasil penelitian Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (2006) tentang pengaruh pembiayaan BMT terhadap pengembangan omset pelaku usaha kecil pasar tradisional dan inpres di Jawa Tengah, Jawa Barat dan Sulawesi Selatan menunjukan bahwa 78% responden di Jawa Tengah, 64,9% di Sulawesi Selatan dan 76,7% di Jawa Barat mengalami peningkatan omset usahanya setelah mendapatkan pembiayaan dari BMT karena adanya tambahan modal kerja yang memang sangat dibutuhkan.
Dalam kategori Bank Indonesia, BMT dikategorikan sebagai lembaga keuangan mikro (LKM) yang bersifat non bank sama halnya dengan koperasi simpan pinjam (KSP), lembaga dana kredit pedesaan (LPKD), dan credit union (Budiantoro, 2003). Pada akhir Oktober 1995 di seluruh Indonesia telah berdiri lebih dari 300 BMT, pada tahun 1998 berdasarkan PINBUK per 12 Februari 1998 jumlah BMT mencapai 2000 unit, tahun 2005 jumlah BMT mencapai angka 3500 unit dengan jumlah asset 266 miliar (Ridwan, 2006). Bahkan sampai bulan Juni 2006, aset BMT di Indonesia mencapai Rp 2 triliun, dengan pertumbuhan 30 persen (Antagia dan Ikhwan, 2007).
Dari beberapa lembaga keuangan syariah yang ada, BMT telah hadir sebagai lembaga keuangan mikro syariah dengan bentuk yang paling sederhana dan paling dekat dengan masyarakat bawah. 64% responden penelitian penulis mengatakan bahwa kedekatan lokasi dan sistem ’jemput bola’ (proses peminjaman dan cicilan) oleh BMT Surya Amanah yang berlokasi persis di selatan Pasar Colombo yang menjadi alasan utama pedagang tertarik mengajukan kredit. Disamping itu, pola pemantauan secara langsung oleh BMT juga terbukti dapat menekan besarnya kredit macet (Non Performing Loan) (LIPI, 2006). Dilihat dari segi likuiditas. LDR BMT mencapai 100%, artinya jumlah dana yang diterima BMT dari masyarakat dengan pembiayaan pembiayaan yang disalurkan untuk masyarakat jumlahnya berimbang. Kebanyakan BMT LDR-nya sekitar 100%, kecuali di Sumatera Utara sampai 293% (Muhammad, 2002).
Menurut Prabowo (2008) BMT sangat berperan penting dalam perkembangan keuangan mikro di Indonesia dengan beberapa alasan, antara lain: Pertama, Indonesia tengah menggalakan pengembangan usaha mikro  sehingga peran LKM termasuk BMT sangat dibutuhkan. Kedua, mayoritas masyarakat Indonesia beragama Islam sehingga lembaga keuangan mikro yang berprinsip syariah seperti ini akan menjadi pilihan pelaku usaha mikro  yang juga beragama Islam. Ketiga, rencana pengembangan jumlah BMT tahun 2010 oleh Asosiasi BMT seluruh Indonesia (ABSINDO) menjadi berjumlah 10.000 BMT yang menjadi tantangan pengembangan kelembagaan BMT itu sendiri.
Sebuah penelitian LIPI (2006) mengatakan bahwa banyak nasabah rentenir beralih ke BMT alasan prosedur yang mudah dan syarat yang ringan. Berdasarkan data Pusat Inkubasi Bisnis Usaha Kecil (Pinbuk) tahun 2004 jumlah BMT di Indonesia mencapai 3.123 unit dimana sebanyak 78,8% nya sudah memiliki kisaran asset antara Rp50 juta sampai dengan Rp500 juta meskipun demikian sebagian kecil (4,8%) telah memiliki asset yang cukup besar yaitu di atas Rp 1 Milyar.  Berdasarkan data Perhimpunan BMT Indonesia sampai dengan akhir tahun 2011 terdapat sekitar 4000 BMT dengan aset Rp6 triliyun dengan 4 juta nasabah dan mempekerjakan sekitar 20.000 pekerja.
Fenomena menjamurnya BMT menjadi berkah tersendiri bagi pelaku usaha mikro  termasuk para pedagang tradisional karena kehadirannya menjadi salah satu solusi di dalam permasalahan pembiayaan para pelaku usaha kecil tersebut. Berdasarkan pengamatan Pusat Konsultasi Pengusaha Kecil UGM, permasalahan permodalan yang dihadapi pelaku usaha kecil adalah bagaimana menyusun proposal dan membuat studi kelayakan untuk memperoleh pinjaman baik dari bank maupun modal ventura, karena kebanyakan pengusaha kecil mengeluh berbelitnya prosedur mendapatkan kredit, agunan tidak memenuhi syarat, dan tingkat bunga dinilai terlalu tinggi (Kuncoro, 1997; Kuncoro, 2006:377). Salah satu solusi penghidupan kembali sekaligus bagian upaya pengembangan pelaku usaha kecil adalah pemberian kredit usaha, sehingga langkah-langkah pemberian pembiayaan (kredit) bagi pelaku usaha kecil dinilai sangat perlu sebagai bagian dari pemberdayaan pelaku usaha kecil. Dan penulis telah membuktikan itu, bahwa pembiayaan (kredit) BMT Surya Amanah mampu meningkatkan omset para pedagang tradisional Pasar Colombo, Sleman Yogyakarta.

3 Langkah Akselerasi
Pertama, libatkan pedagang pasar tradisional. Menurut Kementerian Perdagangan (2012) ada sekitar 13.450 pasar tradisional dengan 12,6 juta pedagang. Keterlibatan pasar tradisional akan menimbulkan kapitalisasi dalam bentuk multiplier effect. Jika kita berasumsi, 12,6 juta pedagang memiliki 3 anggota keluarga lainnya maka ketika kredit mampu meningkatkan omset pedagang, maka akan berdampak terhadap 37,8 juta orang secara ekonomi. Multiplier effect lainnya adalah omset yang meningkat karena pengaruh kredit maka kemungkinan besar pedagang akan meningkatkan kapasitas penjualannya. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan bahwa emakin besar realisasi kredit yang diberikan menyebabkan peningkatan perkembangan industri kecil di Yogyakarta dengan adanya penambahan unit usaha, penyerapan tenaga kerja, nilai investasi, nilai produksi, dan penggunaan bahan baku (Simbolon, 1996; Resnia, 2005). Oleh karena itu, dukungan kredit terhadap para pedagang sama saja menghidupkan bisnis di Indonesia karena business is the heart of economic (Blakley, 1994). 
Kedua, libatkan komunitas wanita dalam setiap penyaluran pembiayaan. Hasil penelitian penulis, 66% pedagang Pasar Colombo adalah wanita. Studi literatur yang menunjukan bahwa kredit efektif disalurkan ke para wanita sudah terlampau banyak. Salah satunya kisahnya datang dari keberhasilan Muhammad Yunus di Bangladesh, bagaimana akhirnya dapat menerima penghargaan internasional karena saluran kredit yang diberikan kepada para wanita (Yunus, 2007). Wanita yang terlibat di dalam komunitas yang dianggap akan berhasil di dalam penggunaan kredit karena wanita lebih dipercaya dalam mengelola keuangan dan mengerti makna komunitas. Community sendiri berasal dari bahasa Latin “munus”, yang bermakna the gift (memberi), cum, dan kebersamaan (togetherness) antara satu sama lain. Secara umum, komunitas (community) adalah sekelompok orang yang hidup bersama pada lokasi yang sama, sehingga mereka telah berkembang menjadi sebuah “kelompok hidup” (group lives) yang diikat oleh kesamaan kepentingan (common interests) (Syahuti, 2005).
Ketiga, kebijakan supply and demand side. Selama ini, kita hanya mengatakan bahwa permasalahan, pedagang tradisional dan usaha mikro hanya terletak pada kurangnya modal (lack of capital). Namun, kita sepertinya terlupa dengan berbagai macam masalah lainnya yang dihadapi oleh usaha mikro seperti sulitnya membuat proposal permohonan dana, masalah sistem administrasi antara kepemilikan pribadi dengan usahanya, masalah sulitnya menyusun perencanaan bisnis, dan hal-hal lainnya yang bersifat teknis. Artinya ke depan, BMT jangan hanya mengurusi aspek permodalan usaha mikro. Sumodiningrat (2004:82) menjelaskan bahwa bagi usaha mikro diperlukan pengembangan kapasitas usaha yang meliputi: production capacityfinancial capacitymanagerial capacitymarketing capacity, dan business development capacity.
BMT dapat lebih besifat universal, tidak hanya sebagai pendukung financial capacity. Kebijakan supply side adalah pengembangan yang difokuskan pada berbagai kebijakan dan program untuk membantu usaha mikro dari segi pembiayaan. Sedangkan demand side diarahkan untuk mendorong agar usaha mikro mampu meningkatkan elijibilitas dan kapabilitasnya dalam kapasitas usahanya dengan menjadi konsultan bagi perencanaan bisnis usaha mikro, memberikan pelatihan kepada usaha mikro terkait pengelolaan bisnis, membantu dalam memberi masukan bagi penyusunan proposal pembiayaan bisnis jika usahanya terus berkembang dan membutuhkan dana pinjaman yang besar yang tak dapat disediakan oleh BMT.
Akselerasi BMT dengan kebijakan supply and demand policy dapat menjadikan BMT sebagai primadona di tengah pelaku usaha mikro di Indonesia yang menderita. BMT sebagai representatif dari sedemikian banyak instrumen ekonomi syariah dapat membuktikan bahwa ekonomi Islam (syariah) menciptakan kemaslahatan umat yang berujung pada keadilan, kasih sayang, kesejahteraan dan kebijaksanaan yang sempurna. Karena, apapun yang menyimpang dari keadilan pada penindasan, dari kasih sayang pada kekerasan, dari kesejahteraan pada kemiskinan, dan dari kebijaksanaan pada kebodohan, adalah sama sekali tidak berkaitan dengan syariah (Ibnu Qayyim, 1955). Semoga!
                                                  
                                                                     DAFTAR PUSTAKA

Antagia, IBP Angga dan M. Reza Ikhwan. 2007. Optimalisasi Peran BMT Menuju Ekonomi Indonesia Yang Lebih Baik; Pendekatan New Institutional Economic (NIE). Yogyakarta: Jurnal Ekonomi Syariah Muamalah Vol 4 17 Januari 2007 FE UGM
Armstrong, Harvey & Jim Taylor. 1993. Regional Economics and PolicySecond Edition. London: Harvester Wheatsheaf
Arsyad, Lincolin. 2008. Lembaga Keuangan Mikro: Institusi, Kinerja, dan Sustanabilitas. Yogyakarta: Penerbit Andi
Blakely, Edward J. 1994. Planning Local Economic Development: Theory and Practice. Second Edition. US: Sage ProductionBoediono. 2008. Ekonomi Mikro. Edisi Kedua. Yogyakarta: BPFE
Dumairy, 2009. Bank Syariah. Slide persentasi kuliah Agama Islam
Gillman, M dan M. Harris (2004a). Inflation. Financial Development and Endogeneous Growth. Working Papers Series, Monash University.
Gujarati, D. 2003. Basic Econometrics. Fourt Edition. New York: Mc-Graw Hill, Inc
Gujarati, D.2010. Dasar-Dasar Ekonmetrika. Buku 1-Edisi 5. Indonesia: Penerbit Salamba Empat
Koivu, Tuuli. 2002. Do Efficient Banking Sectors Accelerate Economic Growth in Transition Caountries? BOFIT (Bank of Finland, Institute for Economies in Transition). Discussin Papers 14.
Kuncoro, Mudrajad. 2006. Ekonomika Pembangunan, Teori, Masalah, dan Kebijakan. Yogyakarta: UPP STIM YKPN.
Kuncoro, Mudrajad. 2008. Pembiayaan Usaha Kecil. Economic Review. No. 211.
LIPI. 2006. Pengaruh BMT Terhadap Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat. Nadjib, Muhammad. Peny. Jakarta
Muhammad. 2002. Manajemen Bank Syariah. Yogayakarta:UPP AMP YKPN.
Perhimpunan Bank Indonesia. 2012. Profil Januari 2012. Jakarta: Perhimpunan BMT Indonesia
Prabowo, Andi. 2008. Baitul Maal wa Tamwilwww.darulfalah.web.id
Rahayu, Srie Haryani. 2008. Analisis Pengaruh Kredit Terhadap Kinerja Usaha Kecil: Studi Kasus Usaha Kecil Kerajinan Hasil Laut di Pantai Teluk Penyu, Kabupaten Cilacap 2008. Skripsi S1. Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada. 
Resnia, Ranni. 2005. Analisis Pengaruh Kredit Terhadap Kinerja UKM di Daerah Istimewa Yogyakarta. Skripsi S1. FE UGM: Yogyakarta
Ridwan, Muhammad. 2006. Sistem dan Prosedur Pendirian Baitul Mal wat-Tamwil (BMT). Yogyakarta: Citra Media
Sekaran, Uma. 2003. Research Methods for Business: A skill Building Approach4th edition. New York: John Wiley and Sons, Inc.
Siebel, Hans Dieter. 2008. Islamic Microfinance in Indonesia: The Challenge of Institutional Diversity, Regulation and Supervision. Journal of Social Issues in Southeast Asia, Vol. 23. No. 1, 2008.
Soeratno dan Lincolin Arsyad. 2008. Metodologi Penelitian untuk Ekonomi dan Bisnis. Edisi Revisi. Yogyakarta: UPP AMP YKPN
Sumodiningrat, Gunawan.2004. Otonomi Daerah Dalam Penanggulangan Kemiskinan: Upaya-Upaya Pengurangan Pengangguran dan Pemberdayaan Usaha mikro di Tingkat Lokal. Jakarta.
Syahuti, 2005. Penerapan Pendekatan Pembangunan Berbasis Komunitas. Jakarta: PSE Litbang Deptan RI
Yunus, Muhammad dan Alan Jonis. 2007. Bank Kaum Miskin. Sepong: Marjin Kiri. Penerjemah: Irfan Nasution


*) Ditulis dalam rangka lomba karya tulis ekonomi syariah GRES! http://gresindonesia.com 

No comments:

Post a Comment