Wednesday 7 November 2012

APPI, Menyisakan Tanda Tanya?


Kematian Diego Mendieta seorang pemain kelahiran Paraguay 13 Juni 1980 yang merumput bersama Persis Solo PT. Liga Indonesia menambah catatan kelam persepakbolaan Indonesia sekaligus menyisakan tanda tanya untuk Asosiasi Pemain Profesional Indonesia (APPI), kemana dan dimana peranan APPI? 


Sebagai catatan, kematian Diego Mendieta memang dipengaruhi penyakit yang diderita oleh Diego. Menurut Kepala Bagian Penyakit Dalam RS Dr Moewardi Solo Prof Dr Ahmad Guntur Hermawan di Solo Diego terinfeksi virus Cylomegalo dan jamur Candidiasis dan akhirnya nyawanya tak bisa diselamatkan. Lalu, apakah benar satu-satunya faktor kematian Diego hanya disebabkan oleh virus dan jamur yang menyerangnya? Virus dan jamur jelas secara medis berpengaruh terhadap kematian Diego, namun pembayaran gajinya yang tertunda oleh managemen selama 4 bulan sekitar Rp120 juta jelas menurunkan tingkat harapan hidup seorang Diego Mendieta. 



Setidaknya ada 3 alasan: Pertama, RS RS Dr Moewardi Solo tercatat bukan RS pertama Diego dirawat. Ada 2 RS lainnya yang pernah merawat Diego, pertama kali, ia dirawat di RS Islam Surakarta Yarsis pada awal November selama sepekan. Namun Ia terpaksa keluar dari rumah sakit tersebut karena sudah tak mampu membayar biaya perawatan. Namun empat hari berselang, harus kembali dibawa ke rumah sakit karena kondisinya semakin melemah. Ia dirawat di RS PKU Muhammadiyah Solo selama lima hari, sebelum akhirnya dirujuk dan menghembuskan nafas terakhir di Rumah Sakit Dr Moewardi Solo. 



Kedua, banyak studi hasil penelitian mengatakan bahwa satu dari sekian banyak faktor-faktor yang mampu meningkatnya usia harapan hidup seseorang adalah kondisi keuangan yang baik. Kondisi keuangan yang baik inilah yang dapat membuat seseorang leluasa memilih untuk mendapatkan pelayanan intensif dengan pelayanan perawatan kesehatan terbaik, dokter terbaik, rumah sakit terbaik dan obat terbaik. Nah, uang Rp120 juta yang belum dibayarkan bukanlah nominal yang kecil dan sudah barangtentu dengan uang tersebut Diego Mendieta bisa leluasa memilih perawatan terbaik untuknya. 



Ketiga, ukuran ekonomi/keuangan yang baik memang bukan satu-satunya faktor yang dapat meningkatkan usia harapan hidup seseorang. Ada faktor psikologis yang juga ikut menentukan. Maka, saat ini terkenal adagium bahwa uang tak dapat membeli kebahagiaan atau banyak uang belum tentu bahagia. Dalam konteks kematian Diego, publik dibuat surprise dengan pernyataan Diego yang "terpaksa" hanya ingin tiket pulang ke Paraguay agar dapat bertemu mama, istri dan dua putri belianya. Disinilah, faktor psikologis bermain yang akan membuat Diego mendapat perhatian dari keluarga tercintanya dan merawat Diego dengan kasih sayang jika ia waktu itu bisa kembali ke Paraguay. Hasil berbagai penelitian juga menunjukan bahwa ketika seseorang hidup bahagia maka peluang meningkatnya harapan hidup seseorang menjadi lebih besar. Maka itu saat ini di dunia ada happiness index yang menunjukan kebahagiaan penduduk sebuah negara menggeser ukuran kebahagiaan ukuran PDB an sich. 



Menyisakan Tanda Tanya? 

Kejadian tertundanya gaji pemain sepakbola bukan hanya sekali ini terjadi baik yang menimpa pemain yang ikut PT. LI (KPSI) ataupun PT. LPIS (PSSI), berulangnya kejadian ini menandakan juga beberapa hal, diantaranya. Pertama, bahwa neraca keuangan klub-klub di Indonesia sangat buruk dan inilah mengapa mayoritas klub-klub di Indonesia pada akhirnya hanya berani mengkontrak para pemain hanya dengan jangka waktu satu musim kompetisi. Kedua, klub-klub sepakbola Indonesia saat ini terbiasa mengandalkan dana APBD atau bansos Pemda sehingga ketika penggunaan APBD dilarang banyak klub sepakbola yang hidup segan mati tak mau. Beruntung penggunaan APBD di Indonesia sudah dilarang dengan terbitnya Permendagri Nomor 58 Tahun 2005 Tentang Pengelolaan Keuangan Daerah, yang diperkuat oleh Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah yang akhirnya direvisi menjadi Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 59 Tahun 2007, esensinya adalah pelarangan untuk mengalokasikan dana hibah dan bantuan sosial secara berulang setiap tahunnya kepada penerima yang sama. 



Namun yang masih menyisakan tanda tanya saat ini adalah dimana peranan APPI terhadap terlambatnya pembayaran gaji pemain oleh managemen klub ataupun konsursium? Tercatat terakhir kali APPI melakukan pertemuan dan konfrensi pers pada Senin 28 Mei 2012 dengan tema persepakbola bersatu yang menghasilkan 5 poin tuntutan salahsatunya menuntut klub-klub sepakbola Indonesia untuk melunasi gaji pemain yang tertunda. Namun, pertemuan itu tidak serta merta membuat managemen ataupun konsorsium melunasi kewajibannya. Diego Mendieta hanyalah salahsatu dari sekian banyak pemain sepakbola Indonesia yang tertunda berbulan bulan haknya. 



Tentu sebagian besar suporter Indonesia menginginkan tindakan lebih APPI dari sekedar 5 poin tuntutan pada Mei silam ataupun bantuan kemanusiaan terhadap anggotanya. Publik berharap APPI bisa menjadi seperti serikat pekerja yang menuntut hak-hak buruh dari pengusaha dan mampu mempresure managemen klub ataupun konsorsium, jika perlu hingga ke meja hijau. 



Tentu semua berharap tidak ada masalah seperti ini dan atau menyelesaikan dengan jalur kekeluargaan dirasa memang jauh lebih baik. Namun, pembelajaran hukum jelas menjadi hal alternatif dan penting bagi pemain terlebih klub dimana mereka bernaung. Saat ini, kebanyakan pemain sepakbola berada di posisi yang lemah diantara dua pilihan: menerima dengan senang hati potongan gaji atau tidak dibayar sama sekali. Bahkan para pemain dibawah ancaman tidak akan dikontrak klub kembali dimusim berikutnya. Ini jelas bukan pembelajaran yang baik buat pemain disamping pemain tidak pernah meminta laporan keuangan klub untuk membuktikan benar atau tidaknya klub kesulitan keuangan. Disinilah peranan lebih APPI ditunggu melalui ketuanya Ponaryo Astaman dan wakilnya Bambang Pamungkas. 



APPI sebenarnya pernah mengeluarkan butir tuntutan untuk memperkarakan hukum 28 Mei 2012 silam, namun sampai kini terasa tak berdaya, realisasi itu tak pernah terdengar dimedia. Jelas gerak pemain orang per orang bukanlah langkah baik untuk menyelesaikan masalah keterlambatan gaji pemain oleh klub atau konsorsium karena pemain harus mengeluarkan biaya materil dan immateril seorang diri. Maka dengan itu, gerak-gerak kebersamaan pemain di APPI baik menempuh jalur hukum melalui bidang advokasi yang dimiliki ataupun mogok bermain sangat layak ditunggu lebih-lebih dari sekedar pernyataan RIP ditwitter. []

No comments:

Post a Comment