Sebuah cerita dari tahun 2010. Dalam sebuah hasil riset The Nielsen Company di 10 kota besar (Jakarta, Surabaya, Medan, Semarang, Bandung, Makasar, Yogyakarta, Palembang, Denpasar, dan Banjarmasin) mengungkapkan persentase orang yang menonton (audience share) siaran pertandingan pada laga pertama final Piala Asean Football Federation (AFF) 2010 tanggal 26 Desember 2010 memperoleh rating 26 dan share 69,9% atau ditonton oleh sekitar 12,8 juta orang berusia 5 tahun ke atas, sedangkan laga kedua pada 29 Desember 2010 mencapai share 65,7% dengan rating 23,1 yang artinya ditonton oleh kurang lebih dari 11,4 juta orang berusia 5 tahun ke atas.
Bandingkan misalnya dengan hasil riset lembaga yang sama pada semifinal Piala AFF 2008 antara Indonesia melawan Thailand yang hanya mencapai rating 9 dan share 45%, atau Piala Asia 2007 saat Tim Nasional Sepakbola Indonesia melawan Korea Selatan dimana rating mencapai angka 13 dan share mencapai 53%. Hal ini setidaknya dapat menunjukan bahwa antusiasme masyarakat Indonesia terhadap sepakbola Indonesia meningkat dari tahun ke tahun.
Begitu juga dengan peningkatan antusiasme suporter sepakbola yang ingin menyaksikan langsung pertandingan di stadion. Antrian panjang hanya untuk menyaksikan laga sepakbola mungkin baru pertama kali ini terjadi sehingga wajar penyelenggaraan piala AFF 2010 menurut panitia lokal (LOC) yang diketuai Djoko Triyono meraih pendapatan sekitar Rp30 Miliar.
Merdeka.com |
Tahun 2010 bisa dikatakan adalah era ketika semangat revolusi sepakbola selalu digelorakan hingga kini, ketika para pengurus sepakbola dinegeri ini pada waktu itu tidak pernah menorehkan tinta emas hanya tinta merah dalam catatan sejarah persepakbolaan tanah air. Bagaimana mungkin federasi dikendalikan dari balik jeruji besi? Seperti membangkitkan macan dari tidurnya, pecinta sepakbola marah, selain menentang kepemimpinan waktu itu, mungkin kita ingat betul AFF 2010 ketika kita terpaksa kalah dari Malaysia di final bagaimana pecinta sepakbola meneriakan "Nurdin turun, Nurdin turun!" Bukan hanya dipartai final, namun selama perhelatan AFF digelar semangat itu sudah terus digelorakan. Ada satu sikap yang tersembunyi dari para ksatria, para pecinta sepakbola, para penggagas revolusi sepakbola dinegeri ini yang seolah-olah berkata dan bercerita "Anda boleh benci Nurdin Halid!", "Anda boleh benci Nugraha Besoes!", "Anda boleh benci pemimpin-pemimpin PSSI!" Anda boleh benci pemimpin parpol yang merasa paling berjasa dan memasang spanduk2 di Bukit Jalil Malaysia!" Namun, ketika Timnas Indonesia yang bermain, anak-anak bangsa dari seluruh penjuru negeri, hitam kulit keriting rambut, putih kulit dengan bahasa daerah berbeda, satu kata satu Timnas Indonesia harus didukung penuh dengan doa, keringat dan air mata langsung berdesakan di stadion ataupun dibalik layar kaca.
Kini semangat itu meredup. Sebagian mencela tertawa dan merendahkan skuad yang ada, sebagian lagi bertaruh Timnas Indonesia tidak akan sukses di AFF 2012. Semangat membela dengan doa, keringat dan air mata sudah tidak seperti dulu lagi, ketika pecinta sepakbola hadir untuk Timnas bukan untuk Nurdin Halid dan partainya. Namun, KPSI yang diamini pengikutnya tidak belajar dari era AFF 2010 itu, kalo era AFF terlalu jauh tengoklah event akbar U-23 Pra Piala Asia 2012 di Riau, belajarlah dari Riau, ketika masyarakat Riau mendukung penuh distadion walau Indonesia akhirnya kalah bersaing dengan Jepang dan Australia. Sadar dan tidak sadar KPSI telah menghilangkan semangat itu. Mempresure pemerintah agar tidak mencairkan dana PSSI dan TimNas AFF 2012 yang telah dianggarkan lantas apakah ini yang dinamakan penyelamat? Tidak mengizinkan pemainnya untuk membela Timnas apakah ini maksud One Nation One Team? Mengajarkan primordialisme berlebihan kepada klub ketimbang Timnas, memberitakan habis-habisan kejelekan2 Timnas Indonesia melalui dua corong media televisinya, sebaliknya The Real Garuda diagungkan padahal hanya sekedar berlatih namun tidak bertanding di AFF 2012, dan sebenarnya TRG hanya gelar yang digelari sendiri. Lucu.
Kini, komite yang katanya penyelamat itu tidak lebih berharga dari seorang Johnny Van Beukering, Tony Cusell dan Raphael Maitimo meski para pemain naturalisasi itu tidak mendapatkan gaji sampai sebesar USD 4.000 per pekan seperti yang mereka dapatkan dari klub mereka, mereka jauh lebih berharga karena mereka yang hanya punya garis keturunan Indonesia ternyata mengerti apa itu kata Soekarno tentang apa arti nasionalisme yang tidak dapat tumbuh subur, kalau tidak hidup dalam taman sarinya Internasionlisme.
Salam satu doa Indonesia juara. Salam satu hati lupakan KPSI. Salam satu jiwa saatnya dukung TimNas Indonesia berlaga. (RA)
No comments:
Post a Comment