Thursday, 31 October 2013

Sisi Lain Buruh

[1] Kalopun buruh tidak berdemonstrasi, maka emangnya ada yang tahu kalo di beberapa daerah, UMP buruh masih ada yang menerima di bawah KHL? Yang tahu ada UMP di bawah KHL aja msh adem ayem. Di 2006-2012 banyak 37% rata2 buruh dpt upah dibawah upah minimum. Di 2009, bahkan menyentuh angka 44,6%.

[2] Katanya ikut mekanisme pasar, tapi kenapa sewa ormas untuk melarang demonstrasi?

[3] Buruh juga dukung BPJS 2014. Kalo kita cuman tahu buruh minta gaji Rp3,7 sebulan. Dan BPJS bukan produk DPR RI, tp hasil jalan kaki para buruh dari Bandung ke Jakarta [versi buruh]. Sayangnya yg g tau, cuman paham buruh nuntut gaji naik 50% jd Rp3,7 juta untuk bayar cicilan motor. Susah emang kalo dah bermandikan minyak mah...  eh...

[4] Pengusaha pusing bukan cuman karena ada tuntutan buruh. Tapi pungutan2 liar para preman bahkan sampe ruko2 yg kecil2 aja dipungutin. Sayangnya seringkali oknum aparat juga terlibat. Jangankan pengusaha, warga aja dipungutin. Hello aparat? Tapi g cuman oknum aparat, politikus juga butuh dukungan dan dulangan suara. Disatu sisi, pengusaha juga tak jarang order tuk perebutan lahan.

[5] Demo buruh juga memang dikeluhkan para pengusaha dan calon investor. Tapi jgn lupa, masalah perizinan juga lebih sering dikeluhkan mereka, ada itu di doing business WB yang rilis hampir tiap tahun. Bahkan perusahaan2 yg g sanggup bayar upah, mau pergi, butuh waktu satu tahun.

[6] Buruh butuh naik untuk cicilan motor? Harusnya #terimakasihburuh produsen2 otomotif produknya bisa terbeli. Indonesia nih, the big four untuk urusan market. 237 juta penduduk di 2010, naik tiap tahun 1,49%. G cuman naik, penduduk kelas menengah juga naik. Pendapatan per kapita juga naik. Posisi skrg ±USD3ribu.

[7] Di Jawa nih kumpul 60-70% penduduk Indonesia. Awal konsentrasi di JKT. Ketika JKT berubah jadi basis jasa, dan upah di JKT naik, muncul istilah baru Jabodetabek. Jabodetabek naik muncul istilah Jabodetabek-Cirangkarta atau kita kenal The Greater Jakarta. The Greater Jakarta naik, lahir istilah The Greater Semarang dan Surabaya (Gerbangkertosusila). Proses ilmiah. Terus geser. Mudah2an geser juga ke Kawasan Timur Indonesia. Kalo buruh gak demo, gak geser2 tuh konsentrasi dan pemerataan. Apalagi infrastruktur. Biar pemerintah terus berpikir.

[8] Jadi pengusaha harus siap kenaikan gaji buruh/pegawai/karyawan tiap tahun, UMP nominal tiap tahun overall 12% naiknya. Kalo g siap ya g usah jadi pengusaha.  kalo yg usahanya masih mikro, apalagi g berbadan hukum, gaji di bawah standard masih banyak di Indonesia ini. Jadi woles bro. Pusingnya Gak usah melebih-lebihi para pengusaha besar. Heheehe...

[9] Banyak yg g sadar, kalo UMP naik standard yg katanya status dan jenjangnya lebih tinggi dari buruh juga ikut naik. Biasanya 15% di atas upah buruh.

[10] Produktivitas TK rendah? Produktivitas TK di Indonesia 2001-2010 berbagai sektor CAGRnya 5,46%. UMP nominal 2005-2013, 12,8%. Lalu berapakah upah riil buruh? 2,7% per tahun.

Airbus vs Boeing


Wednesday, 30 October 2013

Nasib Parpol Islam 2014


-Memilih berdasarkan agama selalu ada. Parpol beraliran agama juga dijamin UU dan sudah ada sejak pemilu pertama 1955.
-Di 2 pemilu terakhir, kecenderungan parpol yg 'dekat' dg konstituen aliran agama cenderung menurun. PKB (-57%), PPP (-40%), PBB (-37%), PAN (-14%), PKS (-1%), termasuk PDS juga turun (-36%) dan sayangnya PDS gagal lolos PT.
-Di 2 pemilu terakhir, PBB mengalami penurunan suara terparah di 32 provinsi, satu provinsi mengalami peningkatan itupun karena provinsi baru, Sulbar. PPP di 30 provinsi suaranya menurun, PKB 24 provinsi, PAN 18 provinsi, PKS 11 provinsi.
-PBB mengalami penurun tertinggi di Babel -11,8%, padahal sebelumnya di Babel memimpin perolehan suara nasional di 2004 dg 102 ribu suara.
-Sedangkan PPP di Aceh dg -7,66%, PAN juga di Aceh dg -7,44%, PKS di Jakarta -4,57% setelah sebelumnya jadi suara terbanyak di 2004, PKB juga mengalami penurunan tertinggi sekitar -18,8% di Jatim setelah sebelumnya jadi juara tertinggi di pileg DPR RI 2004.
-Kelima partai tersebut, suaranya di 1999, 2004 dan 2009 overall kurang lebih sekitar 34 juta suara, suara parpol Islam lainnya di luar itu kurang lebih konstan sekitar 3 juta suara pada 99, 2004 dan 2008.
-Dengan, jumlah konstentan yang berkurang hampir 70%, ada peluang suara parpol Islam akan naik, walau mungkin masih dikisaran kurang lebih mungkin disekitaran 40 juta suara yang diperebutkan parpol Islam. Suara diluar itu, masih floating mass, ya semua tergantung kerja keras dan doa. Karena partai nasionalispun skrg bawa2 agama... hehehe... jadi ya selamat bertanding aja. 

Monday, 28 October 2013

Adu Kuat Buruh vs Pengusaha

-Inpres No 9/2013 tentang Upah Minimum sudah diteken. 
-Inpres mengatur inflasi plus untuk kenaikan UMP. Besaran “plus” secara umum untuk semua industri dibatasi maksimal 10%. Khusus industri padat karya dan usaha menengah, maksimal 5%.
-dlm inpres survei KHL harus lembaga independen: BPS. Bukan tim serikat buruh atau apindo.
-Buruh mogok nasional pada 28-30 Oktober di 20 provinsi untuk menolak inpres. 3 tuntutan buruh:
Pertama, adanya perundingan ulang kenaikan upah antara pekerja dan pengusaha. Hal ini dibenarkan bagi daerah yang upah minimumnya sudah di atas KHL (komponen hidup layak). Padahal, sesuai konstitusi upah minimum itu hanya ditentukan oleh pemerintah, bukan perundingan bipartite.
Kedua, dalam UU No 13/2003 tentang Ketenagakerjaan disebutkan penetapan upah minimum didasarkan pada survey KHL. Namun, inpres membuat blunder karena penetapan upah minimum di bawah KHL didasarkan pada jenis industri padat karya dan non padat karya.
Ketiga, inpres tersebut melanggar Konvensi International Labour Organization (ILO) No 87 dan No 98 serta bertentangan dengan UU No 21/2000 tentang serikat pekerja. Jika diperlukan akan ada gugatan ke komisi tinggi HAM Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB).
-UMP beberapa provinsi masih ada yang dibawah KHL.
-Beberapa provinsi, selama 2005-2013, CAGR KHL > CAGR UMP
-Jumlah buruh/karyawan/pegawai (2013) sekitar 41.6 juta, jumlah pengusaha 3,7 juta.

Sumber: berbagai sumber, diolah.

Thursday, 24 October 2013

Mendorong Kawasan Industri ke Kawasan Timur Indonesia


Sejauh ini, kontribusi kawasan industri terhadap nilai ekspor, investasi dan penerimaan negara terbilang positif dan menggembirakan. Menurut estimasi Kementerian Perindustrian, kontribusi kawasan industri terhadap penciptaan ekspor mencapai US$52 miliar (41% dari nilai total ekspor non migas tahun 2012), sedangkan terhadap penciptaan investasi sekitar US$10.2 miliar (60% dari total investasi industri manufaktur) dan terhadap penerimaan negara menembus angka US$938 juta yang berasal dari PBB, PPn, PPh.
Kontribusi tersebut diprediksi akan terus meningkat karena dua hal yakni kinerja positif sektor industri manufaktur (industri pengolahan) yang menjadi tenant utama kawasan industri dan adanya dukungan regulasi pemerintah. Berdasarkan data BPS, kinerja positif sektor manufaktur terhadap penciptaan PDB selama kurun waktu 2005-2012 rata-rata mencapai 26,67% setiap tahunnya. Kinerja positif juga tercermin dari realisasi investasi PMA dan PMDN sektor manufaktur selama kurun waktu yang sama. Data BKPM mencatat realisasi PMA sektor manufaktur mengalami pertumbuhan rata-rata setiap tahunnya sebesar 19% sedangkan PMDN sebesar 13%.  
Adanya dukungan regulasi pemerintah juga semakin membuka peluang meningkatnya pertumbuhan kawasan industri baru di Indonesia. Hal ini didasari oleh komitmen kuat pemerintah melalui Perpres No.28/2008 yang ingin menjadikan Indonesia negara tangguh industri dunia pada tahun 2025 dengan menciptakan kawasan industri baru sebagai pusat pertumbuhan dan pemerataan ekonomi. Selain itu, terbitnya PP No.24/2009 diyakini juga akan meningkatkan pertumbuhan kawasan industri karena setiap pabrik industri baru yang berdiri wajib beroperasi di dalam kawasan industri. Pemerintah juga merangsang calon investor untuk membuka lahan kawasan industri dengan menawarkan insentif fiskal dan non fiskal melalui UU No.39/2009 tentang Kawasan Ekonomi Khusus. Namun, peluang tersebut juga harus diikuti dengan kebijakan pemerintah di dalam mendorong pemerataan pembangunan kawasan industri khususnya di Kawasan Timur Indonesia.
                                Sumber:kf19.devianart.com
            Menurut data Himpunan Kawasan Industri Indonesia (HKI), saat ini 95% lahan kawasan industri terpusat di Kawasan Barat Indonesia dengan komposisi 67% di Pulau Jawa dan 28% di Pulau Sumatera, sedangkan sisanya 5% berada di Kawasan Timur Indonesia. Disamping itu, terkonsentrasinya lahan kawasan industri berdampak pada meningkatnya harga lahan disaat supply terbatas dengan demand yang cenderung meningkat. Hal ini sudah tercerminkan dari harga lahan kawasan industri seperti di Jakarta yang sudah mencapai US$191/m2 atau dengan harga sewa lahan US$19,1/m2 per bulan (JETRO, 2012). Upah tenaga kerja DKI Jakarta pada tahun 2013 juga cenderung meningkat menjadi Rp2,2 juta per bulan, meningkat hampir 44% dari tahun sebelumnya. Terjadinya peningkatan harga lahan kawasan industri dan UMR tenaga kerja tentu akan menambah beban pelaku usaha (tenant) yang masih menjadikan lahan dan tenaga kerja sebagai faktor produksi utama. Maka tak heran jika ada wacana hengkangnya beberapa perusahaan dari Jakarta. 
            Saat ini bagi pelaku usaha pilihan bisnisnya semakin terbatas, merelokasi usahanya ke luar negeri atau bergeser ke kawasan industri lainnya di Indonesia? Merelokasi usaha ke luar negeri tentu menjadi pilihan sulit mengingat Indonesia masih memiliki wilayah-wilayah lainnya yang masih kompetitif untuk dijadikan basis produksi. Disamping itu, Indonesia merupakan salah satu the big market potential karena memiliki 237 juta penduduk yang ditopang dengan pendapatan per kapita sebesar US$3.850 setiap tahunnya. Berdasarkan alasan-alasan tersebut, diyakini Indonesia masih merupakan pasar yang sangat menggiurkan bagi para pelaku usaha dari dalam dan luar negeri untuk melakukan aktifitas produksi sekaligus memasarkan produknya (inward-looking strategy).
Maka opsi yang paling rasional bagi pelaku usaha pada jangka pendek adalah menggeser basis produksi, salah satunya ke kawasan industri di KTI. Hal ini dilatarbelakangi oleh tingkat harga lahan dan upah tenaga kerja pada kawasan industri di KTI terbilang paling kompetitif. Namun demikian, berdasarkan catatan Kementerian Perindustrian RI masih ada beberapa hal yang masih menjadi tantangan bagi perkembangan kawasan industri di KTI diantaranya adalah minimnya infrastruktur pendukung seperti transportasi (jalan, bandara, rel kereta api dan pelabuhan), listrik, air bersih, telekomunikasi, gas dan infrastruktur pendukung lainnya; kurangnya minat pihak swasta dalam mengembangkan kawasan industri karena minimnya insentif fiskal dan non fiskal yang ditawarkan oleh pemerintah; belum semua Kabupaten/Kota memiliki rencana peruntukan wilayah bagi kawasan industri yang berdasarkan Peraturan Daerah Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW). Tantangan-tantangan tersebut menjadi faktor utama lambatnya pertumbuhan kawasan industri di KTI yang pada akhirnya menyebabkan regional inequality.

Tentu hal ini harus menjadi perhatian Dewan Pengembangan Kawasan Timur Indonesia yang dibentuk melalui Keppres No.13 Tahun 2000 mengingat ketidakseimbangan ini juga mencerminkan ketidakmerataan pembangunan ekonomi di Indonesia. Di sisi yang lain, perhatian yang sama juga harus diberikan oleh Kementerian Perindustrian agar target 40% konsentrasi industri harus berada di luar Pulau Jawa dapat teralisasi sesuai waktu yang telah ditetapkan. []

Los Chicos Siempre Ganan

“Sport is unifying the world and football is leading the way”—Anonymous

Walaupun Timor Leste belum ditetapkan secara resmi menjadi anggota ASEAN, tahun 2004 menjadi tahun bersejarah bagi Timnas Sepakbola Timor Leste karena untuk pertama kalinya berpartisipasi di turnamen sepakbola negara-negara ASEAN, Tiger Cup (Asean Football Federation Cup). Meski pada kesempatan perdana tersebut Timor Leste harus puas menjadi juru kunci grup B dan harus mengakui kekalahan dari Malaysia (skor 0-5), Thailand (0-8), Filipina (1-2) dan dari Myanmar (1-3).
Sumber Foto: FIFA
Pada tahun-tahun berikutnya, dengan status yang sama, non anggota ASEAN, Timor Leste juga kembali berpartisipasi di AFF Cup 2007 dan 2010. Pada tahun tersebut Timor Leste selalu kandas sejak babak penyisihan. Hal yang sama juga terjadi di AFF Cup 2012, berada satu grup dengan Myanmar, Laos, Brunei Darussalam dan Kamboja pada babak penyisihan, Timor Leste hanya mampu menempati posisi ke-3 klasemen akhir dan kembali gagal lolos ke fase grup.
Partisipasi Timor Leste di AFF Cup setidaknya memiliki beberapa pelajaran penting. Pertama, seperti adagium populer dari Ernesto Che Guevara, “Football It's not just a simple game. It’s a weapon of the revolution!Sepakbola dapat menjadi sarana yang efektif bagi sebuah entitas untuk berpartisipasi aktif agar diakui eksistensinya oleh negara lain, dan catatan sejarah beberapa negara dunia telah membuktikan hal tersebut.  
Kedua, my game is fair play. Di dalam sepakbola, persaudaraan terjalin tanpa membedakan suku, agama, ras dan golongan. Trailer sebuah film Goal Dreams arahan sutradara Maya Sanbar dan Jeffrey Saunders yang diproduksi pada tahun 2004-2005 menggambarkan bagaimana orang-orang yang berbeda suku, agama, ras dan golongan dapat bersatu dalam Timnas Palestina yang dilatih oleh seorang kulit putih dan berbeda agama, Alfred Riedl—yang juga pernah melatih Timnas Indonesia.
Pada level antar negara, my game is fair play juga pernah terjadi. Truce atau gencatan senjata pada perang dunia pertama tahun 1914 diakui oleh sejarawan Inggris, James Taylor dimulai oleh permainan si kulit bundar, walaupun pada saat itu belum mampu melahirkan perdamaian abadi antara sekutu kontra Jerman.[1] Namun perdamaian itu akhirnya terjadi di beberapa ratus tahun kemudian, diantara Timor Leste dengan Indonesia. Beberapa kali Timor Leste menjadi lawan tanding Indonesia dalam friendly match, terakhir 14 November 2012 di Gelora Bung Karno sebelum AFF 2012 bergulir.
Dua pelajaran penting di atas menjadi sedikit bukti bahwa pengakuan eksistensi sebuah entitas dan terjadinya perdamaian pernah dimulai dari lapangan hijau. Karena di dalam sepakbola, los chicos siempre ganan, orang-orang selalu menang!



[1] Wirayudha, Randy. Secarik Kertas Tua Berisi Bukti Sepakbola Membekukan Perang, http://bola.okezone.com/read/2013/06/19/419/824358/secarik-kertas-tua-berisi-bukti-sepakbola-membekukan-perang. diakses tanggal 15 Agustus 2013


Tuesday, 22 October 2013

Potensi Besar Sepakbola ASEAN

Pertama, antusiasme. Sepakbola adalah olahraga terpopuler di ASEAN. Hasil riset AC Nielsen pada tahun 2010 di 10 kota besar (Jakarta, Surabaya, Medan, Semarang, Bandung, Makasar, Yogyakarta, Palembang, Denpasar, dan Banjarmasin) mengungkapkan persentase orang yang menonton (audience share) siaran pertandingan pada laga pertama final AFF Cup 2010 antara Indonesia versus Malaysia tanggal 26 Desember 2010 memperoleh rating 26 dan share 69,9% dan ditonton oleh sekitar 12,8 juta orang berusia 5 tahun ke atas. Sedangkan laga kedua pada 29 Desember 2010 mencapai share 65,7% dengan rating 23,1 yang ditonton oleh lebih dari 11,4 juta orang berusia 5 tahun ke atas. Share ini meningkat dibandingkan dengan semifinal AFF Cup 2008 antara Indonesia melawan Thailand yang hanya mencapai rating 9 dan share 45%.
Supporter yang datang langsung ke stadion juga memberikan banyak gambaran bahwa sepakbola menjadi olahraga terpopuler di Asia Tenggara. Bahkan antusiasme supporter ASEAN terhadap klub sepakbola lokal termasuk ke dalam 50 besar di dunia. Data statistik bola melansir untuk musim kompetisi 2010/2011, rata-rata penonton di Indonesia Super League (20 besar dunia) sebesar 11.566 per pertandingan, V-League, Vietnam (35) dengan penonton 7.298 per pertandingan, Super League Malaysia (37) dengan 6.914 penonton per pertandingan, Thai Premier League, Thailand (48) dengan 6.914 penonton 5.170 per pertandingan.[1]  
Sumber: FDSI
Maka, hampir semua literatur ilmu pengetahuan, termasuk semua ahli pemerintahan, sosial, ekonomi, pembangunan, pertahanan, marketing dan lainnya mengatakan bahwa pentingnya antusiasme masyarakat (supporter) di dalam pembangunan komunitas. Karena masyarakat adalah subjek dan aktor utama dari komunitas sama halnya di dalam demokrasi, masyarakat adalah salah satu pilarnya. Lantas, dapatkah komunitas ASEAN 2015 disambut antusias oleh masyarakat sama seperti antusiasme supporter yang menyaksikan sepakbola langsung di stadion dan seperti antusiasme supporter yang menonton dari layar kaca?
Kedua, sepakbola adalah dunia tanpa batas. Mentalitas dunia tanpa batas (borderless world) sangat diperlukan di dalam menyongsong komunitas ASEAN 2015 dan sepakbola kembali telah mengajarkan itu. Maka tak heran ketika Sinthaweechai ‘Kosin’ Hathairattanakool dan Suchao Nutnum pemain sepakbola asal Thailand yang pernah bermain di Persib Bandung begitu diterima oleh publik sepakbola Indonesia khususnya pecinta Persib Bandung. Hal yang sama juga dirasakan oleh publik Pelita Jaya Karawang yang menyambut antusias kedatangan Safee Sali yang terkenal setelah membawa Malaysia mengalahkan Indonesia di Final AFF Cup 2012. Atau seperti halnya Diogo Santos Rangel, pemain asal Timor Leste yang saat ini mulai menjadi panutan bagi publik Gresik. Hal yang sama pernah dirasakan pemain-pemain asal Indonesia seperti Bambang Pamungkas dan Elie Eiboy selama membela Selangor FC (2005-2007), Ponaryo Astaman bersama Telekom Malaka (2006-2007) atau Irfan Bachdim yang saat ini masih membela Chonburi FC Thailand juga disambut dengan antusias dan dihargai mahal selama bermain di luar Indonesia. Mampukah komunitas ASEAN dibangun dengan mentalitas ini?
Ketiga, sepakbola ASEAN didukung oleh kekuatan pasar (market-driven).  Saat ini, semakin banyak perusahaan-perusahaan dari kawasan ASEAN yang menjadi sponsor klub-klub sepakbola top dunia. Beberapa diantaranya dari Indonesia yakni PT. Garuda Indonesia, Tbk yang menjadi Global Official Airline untuk tur Liverpool di Asia dan Australia, PT. Dua Kelinci untuk Real Madrid, Extra Joss (PT. Bintang Toedjoe) dengan Manchester City, PT. Multistrada Arah Sarana, Tbk dan PT. Bank Danamon Indonesia, Tbk  dengan Manchester United, PT. Indosat, TBK dengan klub raksasa Spanyol Barcelona, terakhir Erick Thohir yang resmi menjadi pembeli saham mayoritas klub sepakbola Italia, Inter Milan. 
            Beberapa negara ASEAN lainnya juga telah melakukan hal yang sama. Perusahaan asal Malaysia, AirAsia bahkan mengakuisisi saham mayoritas klub sepakbola Liga Inggris Queens Park Rangers pada tahun 2011 silam. Perusahaan Malaysia lainnya seperti Telekom, Bhd juga membeli lisensi penggunaan merek Manchester United untuk penjualan produknya di Malaysia. Dari Thailand, Thaksin Sinawatra, mantan Perdana Menteri juga pernah memiliki saham Machester City pada tahun 2007 silam. Perusahaan Thailand lainnya seperti Thailand Chang Beer Thai Beverage Plc menjadi sponsor di Everton, Barcelona dan Real Madrid sedangkan Singha Beer menjadi sponsor untuk Manchester United.
Sedangkan perusahaan asal Vietnam, Vietinbank dan Bank for Investment and Development of Vietnam masing-masing telah menandatangani kerjasama sponsorship dengan Chelsea dan Manchester United. Perusahaan asal Myanmar yang memiliki produk Grand Royal Whiskey juga turut ambil bagian dengan menjadi sponsor Chelsea.
Banyaknya perusahaan-perusahaan ASEAN yang menjadi sponsor klub-klub sepakbola top dunia tentu dengan maksud saling menguntungkan. Bagi perusahaan, diharapkan penjualan produk mereka akan meningkat di pasar ASEAN, Asia-Oceania atau bahkan dunia. Sedangkan bagi sepakbola ASEAN, datangnya beberapa klub top dunia seperti Barcelona, Manchester United, Manchester City, Arsenal, Liverpool, Chelsea, Inter Milan, Valencia, Ac Milan, Timnas Belanda dan beberapa lainnya diprediksi akan berdampak positif bagi perkembangan kualitas Timnas, klub lokal dan minat masyarakat ASEAN akan sepakbola. Termasuk saat ini sudah ada beberapa akademi sepakbola klub-klub tersebut di beberapa negara ASEAN. Pertanyaan sederhana, apakah komunitas ASEAN 2015 akan didukung oleh kekuatan pasar yang saling menguntungkan?
Keempat, football is more than just a game. Sepakbola tidak hanya urusan permainan 11 melawan 11 atau supporter atau bisnis semata, namun juga akan memiliki dampak terhadap perekonomian. Adakah dampak perekonomian dari keberadaan sepakbola? Di beberapa jurnal penelitian, para ekonom telah banyak melakukan kajian terkait peranan sepakbola terhadap perekonomian. Ashton, Gerard dan Hudson (2003) menyatakan ada hubungan yang sangat kuat antara performa klub-klub sepakbola Liga Inggris dengan perubahan indeks FTSE 100 (Financial Times Stock Exchange). Duque dan Ferreira (2005) menemukan bahwa ada hubungan positif antara pendapatan harga saham dan performa Sporting Lisbon di Portugal.
Berument dan Yuncel (2005) juga mengatakan bahwa setiap kemenangan klub Fenerbahce (Turki) dalam kompetisi Eropa akan meningkatkan pertumbuhan industri dalam satu bulan sebesar 0,26%, dimana penelitian ini  dilakukan menggunakan sudut pandang happiness para supporter, ketika Fenerbahce menang di kompetisi Eropa maka happiness supporter mereka meningkat, pada akhirnya meningkatkan produktifitas mereka di dalam bekerja sehingga output produksi ikut meningkat.
Lalu bagaimana dengan sepakbola ASEAN? Dalam beberapa kasus dapat dilihat terdapat dampak positif terhadap perekonomian. Seperti hasil survei lembaga AC Nielsen dimana ketika perhelatan AFF Cup 2010 digelar, belanja iklan sepanjang tahun 2010 naik 23% dengan nilai sebesar Rp60 triliun.[2] Belum lagi nilai-nilai ekonomi yang di dapatkan oleh pemain sepakbola dan perangkat pertandingannya, event organizer termasuk UMKM (Usaha Mikro Kecil Menengah) yang mendapatkan keuntungan ekonomi hasil penjualan pernak-pernik sepakbola, kaos bola dan merchandise. Selain memiliki dampak terhadap perekonomian, sepakbola memiliki multiplier effect non ekonomi seperti dampak terhadap happiness, sosial dan budaya masyarakat. Lantas, apakah komunitas ASEAN 2015 akan memiliki dampak ekonomi dan multiplier effect yang positif bagi setiap anggota komunitasnya?





[1] 50 Liga Sepak Bola Dengan rata-rata Penonton Terbanyak, http://andrictg.mywapblog.com/50-liga-sepak-bola-dengan-rata-rata-peno.xhtml, diakses tanggal 16 Agustus 2013
[2] Piala AFF Dongkrak Belanja Iklan, http://bisnis.news.viva.co.id/news/read/202429-piala-aff-dongkrak-belanja-iklan, diakses 16 Agustus 2013

Friday, 18 October 2013

Membangunkan Potensi Ekonomi Umat


Bank Indonesia mencatat perputaran uang selama Ramadhan dan Idul Fitri terus meningkat setiap tahunnya. Jika pada tahun 2011 perputaran uang hanya sekitar Rp80,3 triliun,  maka pada pada 2012 jumlahnya meningkat menjadi Rp85,6 triliun bahkan di tahun 2013 mencapai Rp103,1 triliun. Perputaran tersebut diperkirakan memiliki efek pengganda (marginal propensity to consume) 0,8 hingga 0,9 sehingga perputaran uang memiliki kalkulasi akhir jauh lebih besar dari angka yang ada. Efek pengganda tersebut berdampak ke beberapa sektor riil diantaranya sektor konsumsi, manufaktur, transportasi dan komunikasi.
Disamping itu, perputaran uang juga terdistribusikan ke daerah, BI memperkirakan selama Ramadhan dan Idul Fitri tahun 2013 Jakarta menyerap Rp31 triliun, sisanya Rp22 triliun untuk Indonesia bagian timur dan Rp50 triliun untuk Indonesia bagian barat. Perputaran dan pendistribusian uang menandakan bahwa bulan suci Ramadhan, lebaran ditambah tradisi mudik mampu menstimulus perekonomian di daerah. Ini adalah salah satu tanda, bahwa umat Islam selama ini merupakan pelaku utama consumption driven growth di Indonesia. Hal tersebut terbilang wajar mengingat umat Islam mencapai 87,18% dari sekitar 237 juta penduduk dan tersebar hampir merata di seluruh Indonesia (BPS, 2010).
Sumber foto: komunitas.yellowpages.co.id
Market potential yang besar dari umat Islam dengan sendirinya menjadi driver utama para pebisnis untuk menawarkan produk-produknya dengan label halal dan syariah. Lahirnya lembaga-lembaga keuangan syariah semisal bank syariah, BPRS dan BMT menjadi contoh sebagian kecil fenomena berkembangnya produk label halal dan syariah di Indonesia. Belum lagi instrumen keuangan yang juga ikut berkembang seperti sukuk, takaful, saham syariah dan lain-lain. Di sektor riil misalnya, berkembang makanan dan minuman berlabel halal, hotel syariah bahkan Indonesia ditenggarai dapat menjadi pusat fashion muslim dunia. Akhirnya, semua pebisnis tak terkecuali non muslim saat ini juga berlomba untuk memproduksi produk yang mendapatkan label halal dan syariah.
Namun sampai kapan umat Islam hanya sebagai mayoritas konsumen dan menduduki posisi kelas 2 di negeri sendiri? Sebuah gerakan patungan usaha coba digagas oleh Ustadz Yusuf Mansur dimana dalam waktu singkat terkumpul dana Rp20 miliar untuk berbisnis riil dengan membangun Hotel Siti di Cengkareng, Banten. Meski demikian gerakan ini perlu disempurnakan dengan mengedepankan prinsip kehati-hatian dan kelembagaan. Namun hal tersebut tidak mengurangi pelajaran bagi kita bahwa umat Islam memiliki potensi ekonomi yang luar biasa untuk melakukan aktifitas bisnis dari bersama, oleh bersama dan untuk bersama seperti halnya ketika Bung Hatta menggagas ekonomi koperasi di Indonesia beberapa dasawarsa silam.
Tidak hanya dari sisi konsumsi dan bisnis, umat Islam juga memiliki potensi di dalam meredistribusi pendapatan mereka untuk mengurangi ketimpangan ekonomi terlebih mayoritas golongan bawah juga umat Islam itu sendiri. Memburuknya indeks rasio gini Indonesia dari 0,34 di tahun 2010 menjadi 0,41 di tahun 2011 (BPS, 2012) setidaknya menjadi cermin ada yang salah dalam pemerataan pendapatan di Indonesia. Hal ini menurut Bappenas (2012) terjadi akibat konsumsi golongan bawah (1-40%) mengalami pertumbuhan lebih rendah dari golongan atas (60% ke atas). Dapatkah umat Islam menjawab tantangan ini? Islam sendiri telah mewariskan instrumen redistribusi pendapatan melalui diantaranya zakat dan wakaf.
Baznas (2013) menyebut potensi zakat di Indonesia bisa mencapai Rp217 triliun. Jika potensi itu terealisasi semuanya maka bisa dipastikan dana tersebut 23 kali lebih besar dari anggaran BLSM yang hanya Rp9,3 triliun atau bahkan dapat menandingi pos anggaran kemiskinan di APBN selama 3 periode berturut-turut dari 2010-2012 yang mencapai Rp206,7 triliun. Namun demikian, realisasi zakat di 2013 hanya sekitar 1% yakni Rp2,73 triliun meskipun setiap tahun realisasi zakat terus mengalami peningkatan. Realisasi zakat di tahun 2011 sebesar Rp1,7 triliun, tahun 2010 Rp1,5 triliun dan tahun 2006 hanya Rp800 miliar. Cerita angka tersebut bisa saja lebih besar karena banyaknya dana zakat yang dikelola oleh lembaga-lembaga zakat non pemerintah apalagi jika pemerintah membuat rules of the game wajibnya zakat diikuti dengan law enforcement bagi umat Islam di Indonesia.
Lain halnya dengan zakat yang diwajibkan di dalam Islam, wakaf masih sebatas sunah meski dengan level sunah mustahab (sangat dianjurkan). Islam yang sangat menghindari aset menganggur dan sangat mendorong kegiatan produktif menjadikan wakaf sebagai salah satu instrumen redistribusi pendapatan yang juga sangat potensial. Wakaf dapat berupa barang tak bergerak, barang bergerak non uang dan bergerak berupa uang.  Wakaf tanah misalnya, data Kementerian Agama (2013) mengungkapkan total tanah wakaf di Indonesia mencapai 4 juta ha yang tersebar di sekitar 428 ribu lokasi. Wakaf uang juga memiliki potensi yang besar, 20 juta umat Islam berwakaf uang setiap orang per bulan Rp100 ribu maka dalam setahun maka akan terkumpul dana wakaf sebesar Rp24 triliun, jika saja 50 juta umat Islam Indonesia berwakaf uang setiap orang perbulan Rp100 ribu maka akan terkumpul Rp69 triliun (Edwin & Harahap, 2011). Sama halnya dengan cerita angka zakat, cerita angka wakaf juga bisa saja lebih besar karena banyaknya dana wakaf yang dikelola oleh lembaga-lembaga wakaf non pemerintah.

Semua di atas hanya sekedar cerita tentang potensi ekonomi umat Islam di Indonesia. Selanjutnya tinggal tugas para umara’ (penguasa), ruasa’ (pemimpin) dan ulama yang ingin membangunkan potensi ekonomi umat ini atau tidak?