Friday 18 October 2013

Membangunkan Potensi Ekonomi Umat


Bank Indonesia mencatat perputaran uang selama Ramadhan dan Idul Fitri terus meningkat setiap tahunnya. Jika pada tahun 2011 perputaran uang hanya sekitar Rp80,3 triliun,  maka pada pada 2012 jumlahnya meningkat menjadi Rp85,6 triliun bahkan di tahun 2013 mencapai Rp103,1 triliun. Perputaran tersebut diperkirakan memiliki efek pengganda (marginal propensity to consume) 0,8 hingga 0,9 sehingga perputaran uang memiliki kalkulasi akhir jauh lebih besar dari angka yang ada. Efek pengganda tersebut berdampak ke beberapa sektor riil diantaranya sektor konsumsi, manufaktur, transportasi dan komunikasi.
Disamping itu, perputaran uang juga terdistribusikan ke daerah, BI memperkirakan selama Ramadhan dan Idul Fitri tahun 2013 Jakarta menyerap Rp31 triliun, sisanya Rp22 triliun untuk Indonesia bagian timur dan Rp50 triliun untuk Indonesia bagian barat. Perputaran dan pendistribusian uang menandakan bahwa bulan suci Ramadhan, lebaran ditambah tradisi mudik mampu menstimulus perekonomian di daerah. Ini adalah salah satu tanda, bahwa umat Islam selama ini merupakan pelaku utama consumption driven growth di Indonesia. Hal tersebut terbilang wajar mengingat umat Islam mencapai 87,18% dari sekitar 237 juta penduduk dan tersebar hampir merata di seluruh Indonesia (BPS, 2010).
Sumber foto: komunitas.yellowpages.co.id
Market potential yang besar dari umat Islam dengan sendirinya menjadi driver utama para pebisnis untuk menawarkan produk-produknya dengan label halal dan syariah. Lahirnya lembaga-lembaga keuangan syariah semisal bank syariah, BPRS dan BMT menjadi contoh sebagian kecil fenomena berkembangnya produk label halal dan syariah di Indonesia. Belum lagi instrumen keuangan yang juga ikut berkembang seperti sukuk, takaful, saham syariah dan lain-lain. Di sektor riil misalnya, berkembang makanan dan minuman berlabel halal, hotel syariah bahkan Indonesia ditenggarai dapat menjadi pusat fashion muslim dunia. Akhirnya, semua pebisnis tak terkecuali non muslim saat ini juga berlomba untuk memproduksi produk yang mendapatkan label halal dan syariah.
Namun sampai kapan umat Islam hanya sebagai mayoritas konsumen dan menduduki posisi kelas 2 di negeri sendiri? Sebuah gerakan patungan usaha coba digagas oleh Ustadz Yusuf Mansur dimana dalam waktu singkat terkumpul dana Rp20 miliar untuk berbisnis riil dengan membangun Hotel Siti di Cengkareng, Banten. Meski demikian gerakan ini perlu disempurnakan dengan mengedepankan prinsip kehati-hatian dan kelembagaan. Namun hal tersebut tidak mengurangi pelajaran bagi kita bahwa umat Islam memiliki potensi ekonomi yang luar biasa untuk melakukan aktifitas bisnis dari bersama, oleh bersama dan untuk bersama seperti halnya ketika Bung Hatta menggagas ekonomi koperasi di Indonesia beberapa dasawarsa silam.
Tidak hanya dari sisi konsumsi dan bisnis, umat Islam juga memiliki potensi di dalam meredistribusi pendapatan mereka untuk mengurangi ketimpangan ekonomi terlebih mayoritas golongan bawah juga umat Islam itu sendiri. Memburuknya indeks rasio gini Indonesia dari 0,34 di tahun 2010 menjadi 0,41 di tahun 2011 (BPS, 2012) setidaknya menjadi cermin ada yang salah dalam pemerataan pendapatan di Indonesia. Hal ini menurut Bappenas (2012) terjadi akibat konsumsi golongan bawah (1-40%) mengalami pertumbuhan lebih rendah dari golongan atas (60% ke atas). Dapatkah umat Islam menjawab tantangan ini? Islam sendiri telah mewariskan instrumen redistribusi pendapatan melalui diantaranya zakat dan wakaf.
Baznas (2013) menyebut potensi zakat di Indonesia bisa mencapai Rp217 triliun. Jika potensi itu terealisasi semuanya maka bisa dipastikan dana tersebut 23 kali lebih besar dari anggaran BLSM yang hanya Rp9,3 triliun atau bahkan dapat menandingi pos anggaran kemiskinan di APBN selama 3 periode berturut-turut dari 2010-2012 yang mencapai Rp206,7 triliun. Namun demikian, realisasi zakat di 2013 hanya sekitar 1% yakni Rp2,73 triliun meskipun setiap tahun realisasi zakat terus mengalami peningkatan. Realisasi zakat di tahun 2011 sebesar Rp1,7 triliun, tahun 2010 Rp1,5 triliun dan tahun 2006 hanya Rp800 miliar. Cerita angka tersebut bisa saja lebih besar karena banyaknya dana zakat yang dikelola oleh lembaga-lembaga zakat non pemerintah apalagi jika pemerintah membuat rules of the game wajibnya zakat diikuti dengan law enforcement bagi umat Islam di Indonesia.
Lain halnya dengan zakat yang diwajibkan di dalam Islam, wakaf masih sebatas sunah meski dengan level sunah mustahab (sangat dianjurkan). Islam yang sangat menghindari aset menganggur dan sangat mendorong kegiatan produktif menjadikan wakaf sebagai salah satu instrumen redistribusi pendapatan yang juga sangat potensial. Wakaf dapat berupa barang tak bergerak, barang bergerak non uang dan bergerak berupa uang.  Wakaf tanah misalnya, data Kementerian Agama (2013) mengungkapkan total tanah wakaf di Indonesia mencapai 4 juta ha yang tersebar di sekitar 428 ribu lokasi. Wakaf uang juga memiliki potensi yang besar, 20 juta umat Islam berwakaf uang setiap orang per bulan Rp100 ribu maka dalam setahun maka akan terkumpul dana wakaf sebesar Rp24 triliun, jika saja 50 juta umat Islam Indonesia berwakaf uang setiap orang perbulan Rp100 ribu maka akan terkumpul Rp69 triliun (Edwin & Harahap, 2011). Sama halnya dengan cerita angka zakat, cerita angka wakaf juga bisa saja lebih besar karena banyaknya dana wakaf yang dikelola oleh lembaga-lembaga wakaf non pemerintah.

Semua di atas hanya sekedar cerita tentang potensi ekonomi umat Islam di Indonesia. Selanjutnya tinggal tugas para umara’ (penguasa), ruasa’ (pemimpin) dan ulama yang ingin membangunkan potensi ekonomi umat ini atau tidak?

No comments:

Post a Comment