Bank
Indonesia mencatat perputaran uang selama Ramadhan dan Idul Fitri terus
meningkat setiap tahunnya. Jika pada tahun 2011 perputaran uang hanya sekitar
Rp80,3 triliun, maka pada pada 2012 jumlahnya
meningkat menjadi Rp85,6 triliun bahkan di tahun 2013 mencapai Rp103,1 triliun.
Perputaran tersebut diperkirakan memiliki efek pengganda (marginal propensity to consume) 0,8 hingga 0,9 sehingga perputaran
uang memiliki kalkulasi akhir jauh lebih besar dari angka yang ada. Efek
pengganda tersebut berdampak ke beberapa sektor riil diantaranya sektor
konsumsi, manufaktur, transportasi dan komunikasi.
Disamping
itu, perputaran uang juga terdistribusikan ke daerah, BI memperkirakan selama
Ramadhan dan Idul Fitri tahun 2013 Jakarta menyerap Rp31 triliun, sisanya Rp22
triliun untuk Indonesia bagian timur dan Rp50 triliun untuk Indonesia bagian
barat. Perputaran dan pendistribusian uang menandakan bahwa bulan suci Ramadhan,
lebaran ditambah tradisi mudik mampu menstimulus perekonomian di daerah. Ini
adalah salah satu tanda, bahwa umat Islam selama ini merupakan pelaku utama consumption driven growth di Indonesia. Hal
tersebut terbilang wajar mengingat umat Islam mencapai 87,18% dari sekitar 237
juta penduduk dan tersebar hampir merata di seluruh Indonesia (BPS, 2010).
Sumber foto: komunitas.yellowpages.co.id |
Namun
sampai kapan umat Islam hanya sebagai mayoritas konsumen dan menduduki posisi
kelas 2 di negeri sendiri? Sebuah gerakan patungan usaha coba digagas oleh
Ustadz Yusuf Mansur dimana dalam waktu singkat terkumpul dana Rp20 miliar untuk
berbisnis riil dengan membangun Hotel Siti di Cengkareng, Banten. Meski
demikian gerakan ini perlu disempurnakan dengan mengedepankan prinsip
kehati-hatian dan kelembagaan. Namun hal tersebut tidak mengurangi pelajaran
bagi kita bahwa umat Islam memiliki potensi ekonomi yang luar biasa untuk
melakukan aktifitas bisnis dari bersama, oleh bersama dan untuk bersama seperti
halnya ketika Bung Hatta menggagas ekonomi koperasi di Indonesia beberapa
dasawarsa silam.
Tidak
hanya dari sisi konsumsi dan bisnis, umat Islam juga memiliki potensi di dalam
meredistribusi pendapatan mereka untuk mengurangi ketimpangan ekonomi terlebih
mayoritas golongan bawah juga umat Islam itu sendiri. Memburuknya indeks rasio
gini Indonesia dari 0,34 di tahun 2010 menjadi 0,41 di tahun 2011 (BPS, 2012)
setidaknya menjadi cermin ada yang salah dalam pemerataan pendapatan di
Indonesia. Hal ini menurut Bappenas (2012) terjadi akibat konsumsi golongan
bawah (1-40%) mengalami pertumbuhan lebih rendah dari golongan atas (60% ke
atas). Dapatkah umat Islam menjawab tantangan ini? Islam sendiri telah
mewariskan instrumen redistribusi pendapatan melalui diantaranya zakat dan
wakaf.
Baznas
(2013) menyebut potensi zakat di Indonesia bisa mencapai Rp217 triliun. Jika
potensi itu terealisasi semuanya maka bisa dipastikan dana tersebut 23 kali lebih
besar dari anggaran BLSM yang hanya Rp9,3 triliun atau bahkan dapat menandingi pos
anggaran kemiskinan di APBN selama 3 periode berturut-turut dari 2010-2012 yang
mencapai Rp206,7 triliun. Namun demikian, realisasi zakat di 2013 hanya sekitar
1% yakni Rp2,73 triliun meskipun setiap tahun realisasi zakat terus mengalami
peningkatan. Realisasi zakat di tahun 2011 sebesar Rp1,7 triliun, tahun 2010
Rp1,5 triliun dan tahun 2006 hanya Rp800 miliar. Cerita angka tersebut bisa
saja lebih besar karena banyaknya dana zakat yang dikelola oleh lembaga-lembaga
zakat non pemerintah apalagi jika pemerintah membuat rules of the game wajibnya zakat diikuti dengan law enforcement bagi umat Islam di
Indonesia.
Lain
halnya dengan zakat yang diwajibkan di dalam Islam, wakaf masih sebatas sunah meski dengan level sunah mustahab (sangat dianjurkan). Islam yang sangat menghindari aset
menganggur dan sangat mendorong kegiatan produktif menjadikan wakaf sebagai
salah satu instrumen redistribusi pendapatan yang juga sangat potensial. Wakaf
dapat berupa barang tak bergerak, barang bergerak non uang dan bergerak berupa
uang. Wakaf tanah misalnya, data
Kementerian Agama (2013) mengungkapkan total tanah wakaf di Indonesia mencapai
4 juta ha yang tersebar di sekitar 428 ribu lokasi. Wakaf uang juga memiliki
potensi yang besar, 20 juta umat Islam berwakaf uang setiap orang per bulan Rp100
ribu maka dalam setahun maka akan terkumpul dana wakaf sebesar Rp24 triliun,
jika saja 50 juta umat Islam Indonesia berwakaf uang setiap orang perbulan Rp100
ribu maka akan terkumpul Rp69 triliun (Edwin & Harahap, 2011). Sama halnya
dengan cerita angka zakat, cerita angka wakaf juga bisa saja lebih besar karena
banyaknya dana wakaf yang dikelola oleh lembaga-lembaga wakaf non pemerintah.
Semua
di atas hanya sekedar cerita tentang potensi ekonomi umat Islam di Indonesia.
Selanjutnya tinggal tugas para umara’ (penguasa), ruasa’ (pemimpin) dan ulama
yang ingin membangunkan potensi ekonomi umat ini atau tidak?
No comments:
Post a Comment