Tuesday 30 December 2014

Akankah AirAsia Terhempas dari Bursa?



14200108611975513793
Harga saham AIRA dan MAS (Bloomberg, diolah)

Pasca peristiwa QZ8501 Juanda-Surabaya hilang kontak (28/12), harga saham AirAsia (AIRA) yang diperdagangkan di bursa Malaysia sempat mengalami penurunan sekitar 8,5% menjadi menjadi 2.69 RM (29/12). Meski sempat mengalami kenaikan kembali di hari Selasa kemarin (30/12) menjadi 2.74 RM, kenaikan ini masih lebih rendah dibandingkan harga penutupan bursa Jumat (26/12) yang mencapai 2.94 RM sebelum AirAsia QZ8501 hilang kontak.

Sementara itu, selain memuji Basarnas yang berhasil menemukan AirAsia QZ8501 yang hilang kontak kurang dari 3 hari kejadian, publik juga relatif memuji respon para pimpinan AirAsia. Barangkali ini juga yang membantu kenaikan harga saham AirAsia di hari selasa lalu.

Publik menilai respon cepat AirAsia berbeda dengan apa yang dilakukan oleh Malaysia Airlines (MAS) khususnya terkait masih penuh misteri hilangnya MH370 pada Maret lalu, dan kemudian disusul dengan musibah ditembak jatuhnya MH17 empat bulan kemudian. Dua musibah tersebut semakin membuat MAS mengalami kerugian keuangan. Sehingga pada akhirnya memaksa MAS untuk keluar dari bursa Malaysia pada 15 Desember 2014 kemarin. 

Penurunan harga saham seperti ini juga pernah dialami Singapore Airlines (SIA). Singapore Airlines Penerbangan 006sebuah penerbangan terjadwal dari Bandara Changi Singapura ke Los Angeles International Airport mengalami kecelakaan ketika transit di Chiang Kai-Shek Airport (sekarang Bandara Internasional Taoyuan Taiwan) di Taiwan pada 31 Oktober 2000 silam.

Pada waktu itu, SQ006 dengan jenis pesawat Boeing 747-412 mencoba lepas landas dari landasan pacu yang salah di Taipei selama topan, sehingga menghancurkan pesawat dan menewaskan 83 dari 179 penumpang. Kejadian yang dialami oleh SIA ini sempat menghempas harga saham SIA dari 19.3 dollar Singapura di 4 Januari 2000 hingga titik terendah 6.97 dollar singapura pada 21 September 2001. 

Untuk SIA sendiri, kejadian tersebut adalah yang kedua kalinya setelah sebelumnya SilkAir penerbangan 185 (anak perusahaan SIA) juga mengalami nasib naas pada 19 Desember 1997 yang menewaskan 104 orang penumpang yang ada di dalamnya. Berbeda dengan MAS, SIA pada akhirnya mampu melewati momen buruk dalam bisnis penerbangan mereka hingga sekarang SIA menjadi salah satu maksapai terbaik yang dimiliki Singapura. 

Begitu juga halnya dengan AirAsia, diprakirakan nasibnya akan sama dengan Singapore Airline yang berhasil melewati peristiwa yang tidak diinginkan. Sentimen negatif market terhadap harga saham AirAsia ini meski diprediksi masih akan terus terjadi, namun diperkirakan hanya terjadi dalam jangka pendek, tidak sampai membuat AirAsia terhempas dari bursa. Hal ini karena beberapa alasan fundamental menurut penulis. 

Pertama, AirAsia sejak listing di bursa Malaysia pada 22 November 2004 terus menjadi perusahaan yang memiliki kinerja keuangan yang cenderung positif. Hingga Q3 2014, AirAsia masih membukukan pendapatan RM3,93 miliar meningkat 2% jika dibandingkan tahun lalu sampai kuartal yang sama. Dari sisi net income, hingga Oktober 2014 AirAsia juga masih membukukan laba ditengah kondisi keuangan penerbangan dunia yang kurang stabil dengan laba sekitar RM512 juta meningkat 158% dibandingkan kuartal yang sama juga ditahun lalu.


14200112151991051040
Key financial highlights AirAsia hingga Oktober 2014 (Dok. AirAsia)

Sementara itu, seperti dilansir halaman viva.co.id, kerugian akibat peristiwa ini akan ditanggung oleh Allianz Global Corporate & Speciality UK (AGCS) sebagai reaasuransi utama untuk AirAsia.  Allianz sendiri enggan merilis berapa besar klaim yang bakal timbul atas kecelakaan itu. Namun, Reuters mengkalkulasi, angkanya bakal di kisaran US$100 juta. Menurut kesepakatan penerbangan internasional bernama Montreal Convention, perusahaan diwajibkan membayar hingga US$165 ribu per penumpang. Bila jumlah penumpanngya 162 orang, maka klaim yang dibayar ke penumpang sebesar US$27 juta.

Kedua, peristiwa ini merupakan peristiwa pertama yang dialami oleh AirAsia. Seperti dilansir Internasional Business Times, hilang kontaknya pesawat AirAsia QZ8501 merupakan kejadian pertama kalinya sejak Air Asia berdiri 18 tahun lalu. Hal ini juga sejalan dengan apa yang dirilis dirilis dalam website plancrashinfo bahwa Air Asia dalam 20 tahun belakangan belum pernah mengalami kejadian seperti saat ini.

Sementara itu, secara keseluruhan, menurut JACDEC (Jet Airliner Crash Data Evaluation Centre)—sebuah lembaga konsultasi yang menyediakan data dan analisis keamanan penerbangan dunia yang berdiri sejak 1989—Air Asia sendiri mengalami peningkatan dalam AirLine Safety Ranking dari peringkat 31 dengan index sebesar 0,069 29 di tahun 2012 kemudian meningkat di 2013 menjadi peringkat 29 dengan index 0,045. Bahkan AirLine Safety Ranking AirAsia 2013 masih berada di atas Singapore Airlines (30), United Airlines (31) dan Japan Airlines (47).

AirAsia sendiri secara komitmen terus meningkatkan armada barunya dengan rata-rata usia pesawat sekitar 4,2 tahun. Sementara itu, menurut JACDEC QZ8501 berada di atas sedikit rata-rata armada AirAsia yakni 6,3 tahun. Disamping itu, khusus untuk QZ8501 kondisinya relatif baru mengalami pengecekan tanggal 16 November 2014 lalu. 

Ketiga, kehadiran AirAsia dalam bisnis penerbangan menghentak dunia. Bagaimana tidak, AirAsia merupakan pelopor bisnis penerbangan murah (low cost carrier) dengan jaringan rute yang membentang di lebih dari 20 negara. Harga yang relatif murah masih akan membuat AirAsia menjadi pilihan yang menarik. Air Asia juga masih merupakan World’s Best Low Cost Airline 6 tahun berturut-turut hingga kini versi SkyTrax. 

Namun demikian, kedepannya tidak ada seorangpun yang dapat memprediksi apakah AirAsia stay strong atau terhempas dari bursa.  []